Kereta Itu

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
4 min readSep 11, 2021
Foto oleh Leon Skibitzki di Unsplash

Kereta itu hitam warnanya. Bagai lokomotif tua yang sering kulihat di museum, lis-lis besi berwarna merah tampak menghubungkan antaroda dan membuatnya bisa berjalan. Dengan tambahan aksen warna emas di ujung kepalanya, tampilan kereta itu menjadi begitu indah dan gagah. Persis lokomotif wisata yang di dalamnya penuh orang-orang Eropa kaya raya.

Kereta itu tebal asapnya dan berisik sekali suaranya. Kereta itu sungguh adalah kereta api yang melaju karena bakaran batu bara yang setiap menit disaup dan dilempar menuju tungku. Bukan KRL yang berjalan karena tenaga listrik, tapi masih kita sebut kereta api sampai hari ini.

Ada satu orang di sana. Setiap beberapa menit sekali menyaup batu bara dan menuangkannya ke tungku agar asap kereta benar-benar terus mengepul. Jika dibandingkan, kalah-kalah asap rokok kakekku yang setiap hari bisa habis berselop-selop sekali hisap.

Kereta itu awalnya diam di depan peron, sampai akhirnya mulai berbunyi.

Jess..jess..jess.

Peluitnya pun ikut bersahut.

Tut..tut..tut.

Tanpa adanya rel, kereta itu tetap bisa berjalan, namun bagaikan anak kecil belum paham arah. Sebentar pelan, sebentar kencang. Sebentar berarah lurus, sebentar berkelok, lalu akhirnya berputar-putar. Kadang bisa bergulung dan naik turun. Benar-benar ngaco dan menakjubkan.

Kereta ini jalan terus tak tentu arahnya. Aku bahkan tak tahu kereta ini jurusannya dari mana ke mana. Tanpa rel, tapi anehnya bisa jalan terus. Suaranya jess….jess…jess… tut…tut..tut..

Berisik minta ampun!

Awalnya kukira kereta itu kosong. Ternyata eh ternyata, banyak sekali manusia di dalamnya. Gerbongnya yang panjang seperti tulang ular itu pun penuhnya minta ampun.

Gerbong kereta itu panjang tak berpulang. Tak berujung dan tak berpintu. Tapi, jendela keretanya terbuka semua. Penumpang kereta itu penuh minta ampun. Luar biasanya banyaknya. Gila betul banyaknya penumpang dalam kereta yang hanya satu-satunya ini. Wah, banyak sekali lah pokoknya! Dalam gerbong, di atas gerbong, di bawah gerbong, di jendela gerbong, di sambungan gerbong, bahkan di celah roda gerbong.

Entah penumpang datang dari mana, kereta itu penuh sesak tidak karuan.. Warna-warni tubuhnya, luar biasa ributnya. Sudah ribut suara kereta, ribut pula semua penumpangnya. Mereka ngobrol, mereka bercerita. Mereka berdebat, diskusi, lalu ada yang berakhir kelahi. Ada yang ngomel, ada yang ngoceh. Separuhnya ngorok sambil duduk, sambil jongkok, sambil berdiri, dan sambil tiduran. Ada yang main musik, main kartu, main bekel, beberapa bahkan main gila. Sebagian ada yang makan. Mereka makin bikin ribut karena suara piring kena sendok.. “trang tring trang tring!”. Belum lagi ketemu suara mengecap, sendawa, menelan, muntah, kentut, berak, dan mencret.

“BERISIK!”, teriakku tak tahan lagi.

Saking ributnya kereta itu, tak satu pun yang ada di dalam sana dapat mendengar teriakanku. Mereka semua terus saja sibuk dengan suara-suara yang ada. Penumpangnya, gerbongnya, rodanya, sampai peluitnya, semua terus ribut tanpa permisi.

“BERISIK! DIAM! DIAM!”, sekali lagi kucoba peruntungan dengan berteriak lebih keras dan lebih banyak.

……

“Tenanglah”, seseorang dengan pakaian putih dari atas sampai ke bawah memegang pundakku pelan-pelan. Ia berusaha menenangkan aku dari ribut dan sibuknya kereta itu. Anehnya, suara pelan itu bisa kudengar dengan sangat jelas dan jernih. Suaranya bahkan terdengar begitu lembut dan menenangkan. Melihat penampilannya, aku pun memanggilnya si dokter tanpa sama sekali menanyakan siapa dia sesungguhnya.

Sekilas kutangkap, wajah dan suaranya sangatlah tidak asing. Baru bertemu saat itu, aku sudah merasa nyaman. Sejak itu, aku pun menyelamatkan diriku dari suara bising kereta dengan mengobrol dengan dokter ini. Kami duduk di satu-satunya bangku kosong yang tersisa. Entah mengapa, bangku itu terasa empuk sekali dan kereta itu tiba-tiba terasa begitu sejuk dan terang.

Aku dan si dokter berbicara terus. Kami bicara tanpa henti tentang banyak hal. Dokter itu sepertinya sangat tertarik padaku. Dia menanyakan kabarku dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar basa-basi. Dia menanyakan bagaimana hariku beberapa waktu belakangan ini. Apa yang kulakukan, dengan siapa aku melakukannya. Dia juga menanyakan apa yang kumakan serta bagaimana aku memakannya.

Begitu perhatiannya si dokter sampai-sampai ia juga menanyakan soal keluargaku. Baru kenal, lagaknya sudah seperti ingin melamar. Dia bertanya siapa ayah dan ibuku, berapa saudaraku, bagaimana kebiasaan kami dalam keluarga, dan bagaimana mereka memperlakukanku selama ini. Ia bahkan menanyakan bagaimana suasana rumahku akhir-akhir ini. Apakah rumahku nyaman, apakah aku betah di sana, dan apakah aku menyukai rumah itu. Aku berpikir, jika kujawab tidak, apa mungkin dokter ini akan mengajakku kawin dan tinggal bersamanya di rumah mewah.

Suara dokter itu begitu lembut. Beberapa kali aku berusaha bertanya balik soal dirinya, dia malah tetap teguh membahas soal aku. Herannya, aku sama sekali tidak keberatan menjawab setiap pertanyaannya dan mendengarkan semua tanggapannya.

Berbicara dengan si dokter membuatku hilang kesadaran. Aku seperti dibawa ke dunia lain, keluar dari ribut dan berantakannya kereta itu. Aku terhanyut dengan penuh keikhlasan pada satu-satunya suara yang bisa kudengar dengan jernih di tengah keributan kereta gila itu. Aku bahkan merasa tidak lagi mendengar keributan kereta dengan sesak penumpangnya.

Saking hanyutnya dengan pembicaraan bersama si dokter, aku tidak menyadari laju kereta itu semakin ngaco tanpa tujuan. Aku bahkan tidak sadar bahwa kereta itu akhirnya…

“BRAAAAAAAKKKK!!!”

“ARGGGHHHHH!!!”, kereta itu berhenti dan aku berteriak histeris, merasa nyaris mati karena kepalaku sakit bukan main.

……..

“Akhir-akhir ini kamu tidak minum obat ya?”, tanya dokter itu dengan tatapan paling lembutnya.

--

--