Kesenjangan dan Kekhawatiran Si Koplak

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
4 min readDec 14, 2020

Buatku, mengisi waktu dengan membaca buku tidak pernah mengecewakan. Buku apa pun yang kubaca, meskipun halaman pertamanya begitu membosankan atau membuatku mengernyitkan dahi, bagiku tetap memberikan perenungan.

Perenungan kali ini disponsori oleh Oka Rusmini. Penulis perempuan asal Bali tersebut kali ini membantuku merenungkan soal kesenjangan dan kekhawatiran dalam kehidupan melalui novel berjudul Koplak. Novel ini sebenarnya merupakan kumpulan kolom yang dimuat di situs Tatkala.co (aku juga beberapa kali menulis esai dan cerpen di sana). Beberapa bagian dari serial Koplak ini juga pernah dimuat di harian Bali Post.

Koplak yang menjadi judul, adalah tokoh sentral dalam novel ini. Koplak merupakan seorang pria paruh baya yang menjabat sebagai Perbekel (Kepala Desa dalam bahasa Bali), di Desa Sawut. Pria ini berstatus duda beranak satu. Anaknya perempuan bernama Ni Luh Putu Kemitir.

Bedanya bahagia dulu dan sekarang

Kisah Koplak menyentil kesenjangan kehidupan. Cerita yang dibuka dengan persoalan ketombe di kepala Koplak yang muncul karena semir rambut ini menggambarkan dengan jenaka bagaimana kesenjangan generasi dulu dengan sekarang terjadi. Koplak yang mewakili generasi dulu dipandang kuno oleh Kemitir, sementara Kemitir yang mewakili generasi sekarang dianggap terlalu peduli pada citra (penampilan).

Ni Luh Putu Kemitir menyemir rambut ayahnya dengan alasan agar penampilan ayahnya itu menjadi lebih trendi, penuh gaya, dan kelihatan muda. Sementara itu, persoalan sesederhana semir rambut ini ternyata cukup mengganggu Koplak, terutama karena semir rambut tersebut baunya menyengat dan mendatangkan ketombe.

Kesenjangan generasi tua dan muda ini digambarkan oleh Oka Rusmini melalui percakapan menggelitik yang terjalin antara Koplak dengan Kemitir. Hampir setiap bab, ada saja pertentangan yang terjadi di antara keduanya. Meski disebut pertentangan, pada akhirnya Koplak yang mengalah dan mengiyakan semua ucapan Ni Luh Putu Kemitir. Koplak melakukan itu karena tidak ingin menyakiti hari putri semata wayangnya itu.

Omelan Kemitir pada Koplak

Sosok Kemitir digambarkan begitu cerewet, senang mengomentari dan mengatur kehidupan ayahnya. Koplak disuruh ngopi pakai cangkir, sarapan pakai roti gandum, mengurangi makan nasi, menyemir rambut, belajar table manner, hingga mengubah penampilan menjadi modern. Kemitir bahkan menjadi tokoh penting yang terus menasehati ayahnya untuk tetap relevan dengan perkembangan zaman demi menghadapi pemilihan Perbekel. Kemitir jugalah yang menyarankan agar ayahnya membentuk tim sukses untuk memenangkan pemilihan kepala desa tersebut.

Dalam novel setebal 185 halaman ini, Oka Rusmini tidak hanya menggambarkan kesenjangan antara generasi tua dan muda. Novel ini juga menggambarkan dengan jelas kesenjangan antara kehidupan di desa dengan di kota. Kesenjangan ini terlukiskan melalui percakapan para tokoh. Di dalamnya juga ada muatan politik yang tersampaikan dengan sangat sederhana, menyegarkan, dan mudah diikuti.

Menurutku, titik pusat cerita ini adalah soal kekhawatiran Koplak terhadap dunia yang semakin rusak. Mulai dari kekhawatiran Koplak soal kehidupan putrinya (bagaimana pekerjaannya di kota, siapa pasangannya, dan kapan akan menikah), soal politik pemilihan pemimpin di desanya, soal kriminalitas yang semakin menjadi-jadi dan membawa-bawa agama (Oka Rusmini menyuratkannya melalui kisah bom bunuh diri di gereja di Jawa Timur tahun 2018), hingga soal bagaimana ia mengikuti perkembangan zaman.

Kekhawatiran Koplak terhadap dunia yang semakin rusak

Novel Koplak mengambil latar utama di sebuah desa yang damai di Bali. Kedamaian di desa tersebut mulai terusik ketika akan diadakan pemilihan kepala desa. Pada pemilihan ini, Koplak bersaing dengan calon dari kota. Satunya guru, satunya lagi pernah jadi kepala sekolah. Dari sinilah suasana, konflik, dan pandangan politik secara perlahan dibangun melalui percakapan antar tokoh dan isi hati Koplak sendiri.

Meski lebih merupakan novel soal kehidupan secara umum, topik politik terasa cukup kental di dalamnya. Terdapat percakapan yang kental membahas politik, terutama soal politik citra yang begitu diagung-agungkan para pejabat masa kini di kota-kota besar. Politik yang mengutamakan penggambaran citra positif alih-alih pemenuhan atas janji-janji palsu dalam kampanye. Bahasa umumnya “lebih mengutamakan tampilan luar daripada isi”.

Politik citra

Ada sejumlah fakta-fakta yang juga Oka Rusmini selipkan dalam ceritanya. Misalnya soal penyebaran dana desa, penyerapan dana desa, serta peristiwa bom bunuh diri di Jawa Timur tahun 2018 lalu. Fakta dipaparkan secara sederhana dan merasuk dalam cerita sehingga tidak terkesan berat seperti sebuah penelitian ataupun berita di media massa.

Menariknya, Oka Rusmini juga tetap memasukkan nilai feminisme di dalam novel kali ini. Salah satunya terlihat dari tokoh Ni Luh Kemitir yang begitu dominan, mandiri, dan sukses membangun usaha kafe di kota.

Kewajiban memiliki anak laki-laki?

Sayangnya, meski demikian hebatnya seorang Ni Luh Kemitir, tetap saja pandangan bahwa orang tua harus memiliki anak laki-laki, hidup langgeng di masyarakat. Dalam salah satu bab, ada percakapan antara Koplak dengan kawannya yang menyuruh Koplak untuk menikah lagi agar punya anak laki-laki. Dalam diri Koplak pun diam-diam mengidamkan punya anak laki-laki. Sebuah budaya patriarki yang (masih) menyedihkan.

***

Koplak berhasil menceritakan kehidupan, kekhawatiran, bahkan politik yang begitu membosankannya, dengan sangat sederhana, menyentil, dan mengena. Meski beberapa kejadian dan pandangan di dalamnya ada yang miris, novel ini tetap berhasil membuatku terhibur.

--

--