Korona Berakhir, Bumi Krisis Apa Lagi?

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
5 min readOct 23, 2020
Foto oleh Jusdevoyage di Unsplash

Waktu-waktu seperti ini memang sah-sah saja bagi kita ikut arus membicarakan soal yang sedang naik daun. Sayangnya, bukan selebritis, bukan tokoh masyarakat, bukan pula tren mode. Satu hal yang naik daun kali ini kok ya malah penyakit.

Ikut-ikutan bicara pandemi. Bumi saat ini sedang tertimpa kemalangan, setelah sebelumnya bersedih karena rentetan masalah, bencana, bahkan kematian tokoh-tokoh besar (entah ada masalah apa tahun 2020 ini dengan kita semua). Kali ini, seperti yang mungkin pernah kita tonton di film-film, bumi sedang dilanda pandemi. Pandemi itu bernama virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19 atau yang juga populer sebagai Korona.

Penyakit Korona menyerang saluran pernafasan. Gejala umumnya adalah demam, batuk kering, dan kesulitan bernafas. Apabila sudah memburuk atau menyerang orang yang telah memiliki riwayat penyakit tertentu, Korona bisa menyebabkan pneumonia, kegagalan multiorgan dan kematian.

Saat ini, dunia sudah mencatat ada lebih dari 41 juta kasus positif korona. Angka kematiannya per tanggal 22 Oktober 2020 mencapai 1.131.339 jiwa. Ada pun angka kesembuhannya sudah tercatat lebih dari 28,1 juta jiwa.

Seperti yang kita ketahui, penyakit Korona ini utamanya menular melalui percikan air liur (droplet) yang keluar ketika kita bernafas, berbicara, batuk, maupun bersin. WHO menyarankan kita untuk memakai masker saat berada di luar rumah atau saat bersosialisasi, demi meminimalkan kemungkinan mengontaminasi droplet ke orang lain atau terkontaminasi droplet dari orang lain. Kalau perlu, gunakan pelindung wajah yang bentuknya seperti kaca helm.

Selain penggunaan masker, WHO juga memberikan beberapa saran pencegahan penularan lainnya. Saran tersebut adalah tidak menyentuh wajah saat tangan kotor, rajin mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak dari orang lain. Mengingat virus Korona juga konon dapat bertahan hidup selama beberapa waktu di permukaan benda, sejumlah penelitian juga menganjurkan orang untuk menghindari menyentuh permukaan benda yang sekiranya rentan terkontaminasi. Cara lainnya dengan mencuci tangan sesering mungkin setelah memegang benda-benda tersebut.

Foto oleh Sophie Cane untuk United Nations Global Call Out To Creatives di Unsplash.

***

Sejak wabah Korona menggila, aku pun rasanya jadi ikut gila. Aku yang awalnya memang agak “berlebihan” dalam hal menjaga kebersihan, kini semakin berlebihan. Belum lagi ibuku yang lebih mudah panik. Sejak Korona masuk ke Indonesia, beliau jadi terlampau rajin bersih-bersih.

Dulu, jika habis memegang gagang pintu atau menyentuh anjing peliharaan, aku tidak selalu cuci tangan. Aku pikir, sesekali kotor itu bagus untuk memberi makan sel darah putih sehingga antibodi bisa lebih kuat.

Foto oleh Olga Svitelska untuk United Nations Global Call Out To Creatives di Unsplash.

Sekarang, hampir setiap kali habis menyentuh barang, kami selalu cuci tangan. Buka pintu sebentar, cuci tangan. Gendong anjing sebentar, cuci tangan. Tidak sengaja menyentuh keran air, cuci tangan. Pegang ponsel sebentar, cuci tangan. Sebelum masuk toilet, cuci tangan. Keluar dari toilet, juga cuci tangan lagi. Bahkan tersentuh bantal sebentar, kami bisa langsung cuci tangan.

Selain cuci tangan, rumah kami juga jadi memberlakukan protokol kebersihan baru. Jika dulu selepas seharian berkeliling Jakarta kami bisa langsung masuk ke rumah dan duduk di sofa, sekarang boro-boro. Baru masuk pagar, kami harus cuci tangan dengan sabun. Kemudian, kami akan disemprot desinfektan, berikut barang-barang yang kami bawa. Setelahnya, kami harus langsung segera mandi. Itu semua kami lakukan, bahkan ketika kami hanya perlu pergi ke Indomaret di dalam komplek perumahan kami.

Dua hal itu belum apa-apa. Protokol kebersihan di rumah kami juga berlaku dalam hal belanja. Jika dulu habis dari pasar kami bisa tinggal melenggang masuk ke rumah bersama belanjaan, sekarang jelas tidak lagi. Kini kami sama sekali tidak ke pasar. Sudah 8 bulan ini kami keluar rumah hanya ke Indomaret terdekat. Sisanya belanjaan kami beli dari tukang sayur keliling yang masuk komplek atau secara daring.

Semua benda yang berasal dari luar rumah, bahkan dari tetangga sebelah sekalipun, kini harus melalui proses skrining berlapis. Proses itu artinya, disemprot desinfektan, dilap desinfektan, atau dicuci sekalian dengan sabun. Mulai dari buku, alat dapur, bahan masakan kemasan, camilan, bahkan permen dan bungkusan pakaian dari binatu pun kami bersihkan. Terbayangkan betapa melelahkannya kebiasaan tersebut ketika kami harus belanja hingga berkantong-kantong.

Sejak pandemi Korona, rumah kami selalu stok sabun cuci piring yang bisa sekalian untuk cuci buah dan sayur. Kami selalu cuci semua buah dan sayur (bahkan daging) satu per satu di garasi rumah, lalu kami jemur sejenak sampai kering, sebelum akhirnya bisa kami bawa masuk ke dapur. Saking rajinnya dan ingin bebas Korona, galon air minum, telur, bahkan gas LPG yang kami beli dari pedagang panggilan bahkan kini kami cuci bersih dengan sabun dulu di garasi.

Jika aku pikir-pikir, kebiasaan ini sebenarnya bukan hal baru. Sebab, kuman dan bakteri sudah ada sejak dulu. Seharusnya, kita membiasakan untuk membersihkan barang-barang dari luar rumah sebelum dibawa masuk. Apalagi barang dari toko swalayan yang sudah pasti banyak yang pegang-pegang.

(Tapi ya tidak sampai segitunya juga kali?)

Sejak Korona, semua kebiasaan ini menjadi berlebihan. Hal paling terasa tentu dari penggunaan air. Cuci tangan pakai air, cuci barang pakai air, mandi pun pakai air. Semua itu kini kita lakukan jauh lebih sering. Bahkan ,tangan belum kering pun, sudah kita cuci lagi. Rambut masih lembab pun, kita sudah mandi lagi. Bayangkan saja berapa liter air kita konsumsi setiap harinya.

Hal seperti ini membuat saya berpikir, higienitas (sebagai akibat dari Korona) mungkin sulit untuk bisa berjalan beriringan dengan gaya hidup hijau yang mengutamakan kesehatan bumi. Gerakan hemat air mungkin kini akan semakin menantang untuk dapat didengar karena konsumsi air bersih jadi berlebihan. Kita bahkan jadi gila desinfektan yang mungkin jika dipakai jangka panjang, bisa mencederai diri sendiri dan lingkungan.

Pada waktu bersamaan, sampah menjadi semakin menggunung karena banyak alasan. Kita menghadapi penumpukan sampah dari penggunaan APD sekali pakai. Plastik atau kemasan lain yang dulu harus diguna ulang, kini langsung kita masukkan tempat sampah karena takut kotor. Ketika ingin makanan di luar rumah pun, kita tak lagi bisa makan di tempat. Lantas, otomatis kita harus pesan online atau bungkus. Bungkus-bungkus makanan itu, tentu takdir akhirnya menjadi sampah yang menumpuk (lagi).

Foto oleh Etienne Girardet di Unsplash

Hal yang sama juga terjadi pada barang-barang yang kini lebih sering kita beli secara online. Barang tersebut membutuhkan kemasan tambahan, yang mana tentu (lagi-lagi) berujung menjadi sampah. Sampah, sampah, dan sampah lagi.

Jika sudah begini, selepas korona, mungkinkah bumi harus krisis kehidupan?

Tulisan ini bukan aku tujukan untuk menghakimi atau menyalahkan kebiasaan hidup higienis. Aku sendiri adalah seorang yang cukup mengutamakan kebersihan dalam hidup. Satu-satunya yang sedang kutunjuk adalah pandemi Korona yang membuat manusia menjadi paranoia dan terpaksa higienis berlebihan.

Bagaimanapun tulisan ini, simpulannya adalah tetaplah waspada dan jalankan kebiasaan cuci tangan, jaga jarak, serta diam di rumah untuk menjaga dirimu, orang terdekatmu serta menghargai usaha dan jasa para tenaga medis.

*catatan penulis yang sudah hampir 9 bulan tidak keluar rumah, tapi masih betah dan senang-senang saja.

Foto oleh Ileana Da Rin untuk United Nations Global Call Out To Creatives di Unsplash.

--

--