Lumpiang dan Rasa Rindu

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
3 min readOct 26, 2020
Foto oleh Alfons

Dari sekian banyak jajanan khas Bali yang kurindukan, lumpiang menempati urutan nomor 1. Jajanan pinggiran itu menemaniku dari kecil hingga menua. Setiap kali pulang kampung, aku pasti menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa lokasi tempat aku biasa membeli lumpiang.

Lumpiang adalah salah satu jajanan pinggiran khas Bali. Panganan ini sejenis dengan lumpia, namun isinya adalah sayuran wortel dan tauge.

Lumpiang diolah dengan cara digoreng kering. Tak seperti lumpia Semarang, lumpiang disajikan dengan kuah tauco dan potongan cabai rawit.

Biasanya, pedagang lumpiang menjajakan lumpiang dalam kotak kaca dan dijunjung di kepala. Ada tempe dan tahu goreng sebagai pelengkap.

Lumpiang di Bali biasanya tersebar di taman kota, pantai, pasar, dan sekolahan. Di tempat-tempat itu juga aku menikmati lumpiangku. Lumpiang yang disiram dengan kuah tauco panas dan ditaburi potongan cabai rawit yang banyak, yang menjadi favoritku.

Lumpiang pertama yang kumakan adalah lumpiang di Lapangan Puputan. Cukup sulit untukku bisa mendapatkan lumpiang itu karena ibuku cukup galak soal jajanan pinggir jalan. Kalau kami ketahuan makan makanan pinggir jalan, pasti omelan tanpa akhiran sudah menanti.

Hari itu adalah akhir pekan. Ayah mengajak kami sekeluarga untuk main ke alun-alun bernama Lapangan Puputan di pusat Kota Denpasar. Aku ingat ayah agak sembunyi-sembunyi memberikan lumpiang kepadaku dan kakak-kakakku. Beliau menyuruh kita buru-buru makan sebelum ketahuan ibu.

Setelah itu, aku tidak banyak makan lumpiang lagi karena memang bersembunyi dari ibu juga cukup sulit. Aku akhirnya dapat makan lumpiang lagi setelah masuk SMA. Sebab, saat itu memang ada pedagang lumpiang yang berjualan di samping kantin sekolah. Pedagang itu bernama Pak Gede dan langsung menjadi langgananku.

Betapa senangnya aku bisa menemukan dagang lumpiang di dalam sekolah sendiri. Keadaan itu kumanfaatkan dengan hampir tiap hari jajan lumpiang. Jika kupikir lagi, lumpiang Pak Gede ini merupakan lumpiang terenak yang pernah kumakan. Rasa gorengannya pas, kuahnya nikmat dan hangat, harganya pun murah. Saking seringnya aku jajan lumpiang, rasanya saat SMA aku juga jadi sering batuk.

Dari sekian banyak tempat, pantai adalah salah satu tempat terbaik untukku makan lumpiang. Di sana aku bisa duduk di tepi pantai menikmati potongan-potongan lumpiang sembari duduk di pasir yang empuk dan memandangi cakrawala.

Pantai Sanur biasanya menjadi tempat yang paling sering kudatangi jika ingin makan lumpiang di tepi laut. Pantai satu ini cukup ramai namun juga tenang. Pemandangan lautnya syahdu, begitu pula dengan pemandangan aktivitas orang lokal berjualan dan turis yang berlalu lalang.

Biasanya, aku tiba di Pantai Sanur selepas tengah hari. Setelah itu, tentu dagang lumpiang adalah yang paling pertama kucari. Setelah membeli lumpiang, aku akan segera menuju tepi laut untuk duduk santai bersama Alfons. Sembari menikmati lumpiang dan menatap laut dan langit yang bercengkrama, kami ngobrol apa saja.

Selain Sanur, pantai yang juga menjadi tempat makan lumpiang favoritku adalah Pantai Petitenget. Hanya saja, dari sekian kali aku ke pantai itu, baru dua kali aku berhasil menemukan dagang lumpiang. Tapi, meski hanya dua kali, pengalaman makan lumpiang di sana amat berkesan. Sebab, pemandangan pantai berpasir agak gelap ini begitu menawan hati. Lumpiangnya juga lebih enak daripada yang ada di Pantai Sanur.

Makan lumpiang membuatku senang. Kini lumpiang membuatku rindu. Rindu masa lalu, rindu duduk di tepi pantai bersamamu. Semoga pandemi lekas berakhir agar aku bisa menikmati lumpiang lagi.

--

--