Mengapresiasi (Mencintai) Puisi dengan Sederhana ala Sapardi Djoko Damono

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
3 min readDec 16, 2020

Sapardi Djoko Damono telah berpulang bulan Juli 2020 lalu. Sepanjang hidupnya, sastrawan senior ini telah menuliskan banyak sekali buku, baik itu sajak, novel, maupun kumpulan cerpen. Masyarakat Indonesia lebih mengenalnya sebagai seorang penyair. Penyair yang bagiku menyiramkan kisah kehidupan yang dilingkungi oleh manis, pahit, pedih, hingga rasa cinta dan kebencian.

Sebagai seorang penyair, tentu beliau telah menelan asam garam soal puisi. Jelas tak terhitung jumlah puisi yang telah beliau baca dan apresiasi. Dengan begitu, maka kita tak perlu meragukan kemampuan beliau dalam mengapresiasi puisi.

Tak hanya sendiri, Sapardi turut mengajak kita untuk mengapresiasi puisi bersamanya melalui buku yang beliau tulis sendiri. Bertajuk “Bilang Begini, Maksudnya Begitu”, buku ini menyuratkan begitu rinci namun sederhana mengenai bagaimana apresiasi terhadap puisi itu bisa terjadi dan bagaimana kita sebagai penikmat puisi, bisa memaknai puisi yang mungkin “bilangnya begini” tapi kok “maksudnya malah begitu” (beda tersirat dari tersurat).

Dalam buku ini, puisi digambarkan begitu mesra dengan bahasa. Membicarakan perkembangan puisi sama dengan membicarakan perkembangan bahasa. Menurut Sapardi, puisi adalah mahkota bahasa karena merupakan cara pemanfaatan bahasa yang setinggi-tingginya. Menulis puisi merupakan sebuah usaha untuk menunjukkan bahwa bahasa harus terus-menerus disegarkan agar bisa mengungkapkan makna hidup yang selalu baru.

Bagi Sapardi Djoko Damono, menjadi penyair berarti menjadi seseorang yang telah jatuh cinta pada bahasa. Ia bisa bermesraan sekaligus bertengkar dengan bahasa itu sendiri. Penyair pun sering dikatakan bisa menciptakan bahasa baru karena memiliki licentia poetica atau hak khusus dalam menulis sastra untuk memanipulasi kata. Bahasa baru di sini dimaksudkan sebagai bahasa yang belum pernah dipikirkan oleh penyair atau pengarang sebelumnya.

Buku setebal 138 halaman ini memberikan pemaknaan sederhana dalam mengapresiasi puisi. Sapardi membuat kita menyadari bahwa mengapresiasi puisi tak cukup dengan sering membacanya atau melisankannya dengan suara lantang. Kita perlu untuk memahami dan menghayatinya terlebih dahulu sehingga terjalin suatu hubungan antara karya sastra dengan pembacanya. Menurut beliau, kita tidak bisa mengapresiasi seorang penyair tanpa pernah membaca dan memahami puisinya terlebih dulu.

Bagian pertama buku ini mempersoalkan perbedaan antara wujud berita dengan wujud puisi sebagai cerita. Dikatakan bahwa puisi tidak terikat pada tanda baca, tersusun dalam bentuk larik atau baris, mengandung cerita yang tidak cepat basi, membangkitkan perasaan tertentu bagi pembacanya, dan memiliki wujud visual. Wujud visual puisi ini memaknai huruf sebagai gambar yang mengambil peran penting dalam penyusunan ruang dan maknanya.

Tak cukup sebagai sebuah sastra (tradisi lisan), puisi dapat berperan sebagai bunyi. Dalam bagian kedua, pembaca diperkenalkan pada tradisi melisankan puisi. Menyampaikan puisi secara lisan menampilkan nilai yang lebih lengkap dan meningkatkan apresiasi. Puisi sebagai bunyi ini membimbing, menentukan, dan menegaskan makna serta membangun suasana.

Dalam konsep ini, puisi tidak lagi mengenal larik (ikatan lariknya telah luruh), huruf besar, maupun tanda baca. Sebaliknya, puisi menjadikan persamaan dengan pengulangan kata atau bunyi sebagai unsur utamanya.

Ketika melisankan puisi, kita tidak boleh terjebak pada pembacaan saja. Kita tetap perlu untuk terlebih dahulu membongkar makna dan membentuk gambaran dari keseluruhan isi puisi. Sesuatu yang kuakui masih sangat jarang kulakukan. Sebab, aku masih terbiasa membaca puisi lebih untuk menikmati untaian kata-katanya saja.

Lebih jauh, sebagai seorang guru dalam hal berpuisi, Sapardi juga memaparkan jenis-jenis puisi dalam bukunya. Aku jadi seperti sedang kembali ke sekolah untuk mengenali bentuk-bentuk puisi beserta cirinya. Ada soneta yang terdiri dari 14 larik, balada yang singkat-singkat, puisi naratif yang bercerita, pasemon yang identik dengan sindiran, dan parabel yang memberikan nasehat untuk kehidupan.

Buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama ini juga membantuku kembali mengingat beberapa istilah umum dalam puisi. Sebut saja rima, aliterasi, asonansi, metafora, simile, personifikasi, klise, dan ironi. Sapardi juga membantu kita memahami cara mengapresiasi puisi dengan memberikan contoh bagaimana ia membongkar makna dari berbagai puisi populer karya Rendra, Taufiq Ismail, Sanusi Pane, Armijn Pane, Hamzah Fansuri, Hartojo Andangdjaja, dan masih banyak lagi.

“Bilang Begini, Maksudnya Begitu” menggambarkan puisi sebagai sebuah karya yang memiliki makna jamak. Makna itu ada yang tersurat (harfiah atau lugas, apa adanya) dan ada yang tersirat (kiasan, makna di balik kata-kata). Sebagai orang yang mengaku menikmati puisi, kita perlu memahami cara mengapresiasi puisi dengan mengejar makna dan maksud dari puisi tersebut.

Buku ini semakin membuatku sayang pada puisi. Semakin membuatku penasaran untuk melakukan pemaknaan sepanjang hayat dan menemukan kosakata baru setiap harinya.

Terima kasih, Eyang.

Selamat beristirahat dengan tenang setenang-tenangnya.

--

--