Menikmati Musik Tanpa Sok Asyik?

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
4 min readNov 13, 2020
Foto oleh Eric Nopanen di Unsplash

Katanya, musik adalah bahasa universal. Musik bisa menjadi instrumen yang menyatukan orang dari berbagai latar belakang. Di mana ada musik, di situ persatuan dan perdamaian terjadi.

Tapi kalau berbicara kenyataan, hal sebaliknya juga bisa terjadi. Beberapa kerusuhan terjadi saat konser musik. Keasyikan goyang, tidak sengaja senggol-senggolan, jadi bacok-bacokan.

Mana yang katanya musik bahasa universal? Padahal kalau nonton konser, toh lagu yang didengarkan pasti sama. Penontonnya pun setidaknya berasal dari kalangan fans musik yang sama. Ya kalau tidak, untuk apa dia menonton konser itu? Betul kan?

***

Semua orang pasti punya selera. Hal itu termasuk dalam hal musik. Musik yang memiliki banyak genre, menyediakan banyak pilihan untuk orang-orang. Ada jazz, blues, folk, pop, rock, metal, alternatif, eksperimental, indie, dangdut, keroncong, dan masih banyak lagi. Dari masing-masing genre, musik terbagi lagi menjadi lebih variatif hingga ke siapa yang membawakannya (penyanyinya).

Nah, variatifnya musik seharusnya menjadi warna bagi penikmat musik itu sendiri. Kenyataannya (lagi), orang-orang kemudian terjebak mengotak-ngotakkan diri berdasarkan selera musiknya. Penikmat musik A memandang rendah penikmat musik B. Penikmat musik C memandang dirinya paling hebat daripada yang lain. Begitu seterusnya.

Contoh paling faktual adalah skena musik Indie. Beberapa tahun belakangan ini, skena musik Indie di Tanah Air sedang meroket. Skena ini bahkan begitu aktif dan menjadi salah satu yang paling menakjubkan di dunia. Perkembangan musik indie kemudian menghadirkan tren baru. Tren yang kembali memopulerkan istilah “Anak Indie”.

Lucunya, sejumlah “anak indie” ini (jangan sampai mengatakan semua), kemudian dipandang sebagai “anak songong” oleh penikmat musik lain. Sebabnya, anak indie banyak yang pada akhirnya meremehkan penikmat musik lainnya. Mereka menganggap musik indie yang paling bagus, paling bersuara, paling berjuang, paling benar, dan paling beda. Musik lain selain indie adalah musik populer, musik yang mengikuti selera pasar saja, tidak ada perlawanannya sama sekali. Penurut! Manut! Abal-abal!

Membicarakan ini, aku jadi teringat dengan jagat maya yang sempat ramai dengan perseteruan para penikmat musik Indie .Feast (dengan pentolannya Baskara Putra) dengan penikmat musik lainnya. Di mana-mana aku melihat lagu Peradaban disebut-sebut. Sejumlah penggemar musik ini pun cukup berani bersuara dan merendahkan orang yang tidak pernah mendengar atau tidak menyukai musik .Feast.

Belum selesai masalah kesongongan ini, Baskara sebagai vokalis .Feast dan Hindia pun sempat mendapat masalah dengan penikmat dan pegiat musik metal beberapa bulan lalu. Semua karena potongan wawancara lama di mana Baskara sempat menyenggol musik metal dengan menyebut lagu Peradaban lebih keras dari lagu metal mana pun yang pernah mereka dengar.

Padahal, jika dipikir lagi, pernyataan itu sah-sah saja dan tidak menjatuhkan musik metal sama sekali. Kan ada kata-kata “dari lagu metal mana pun yang pernah mereka dengar”. Ya mungkin seperti kata Soleh Solihun dalam video Youtubenya saat sedang mengulas album baru Hindia, bahwa anak-anak .Feast ini mungkin pengetahuan musik metalnya hanya segitu. Bahwa mungkin anak .Feast tidak paham atau tidak mendengarkan musik metal yang benar-benar bagus.

***

Mentertawakan selera musik orang (Foto oleh Mikael Kristenson di Unsplash)

Jika boleh mengakui, aku sendiri pun pernah berada di fase suka mengejek selera musik orang lain. Akui saja bahwa semua orang juga pasti pernah melewati fase tersebut. Fase di mana kita merasa musik yang kita dengarkan lebih baik dari orang lain. Orang yang mendengarkan musik tertentu, aduh payah lah!

Mereka yang dulu paling sering kuremehkan adalah para penggemar musik K-Pop. Bagiku, mereka terlalu militan dan norak. Padahal, musiknya tidak menarik. Aku juga suka mengejek mereka yang mendengarkan lagu-lagu top 40 dan lagu pop.

Aku juga paling sebal dengan penyanyi yang lagunya diputar di mana-mana (belum lagi dengan penggemar yang menggila noraknya jika menonton konser penyanyi itu). Chainsmokers misalnya. Dalam sehari, aku bisa mendengarkan lagunya berputar pada lebih dari 10 tempat. Mulai dari taksi, angkot, restoran, kafe, bar, mal 1, mal 2, bioskop, tempat bermain keluarga, sampai salon!

Padahal, kalau aku menyempatkan becermin, selera musikku pun tidak ada yang istimewa. Katakanlah aku suka Queen, the Beatles, dan Bee Gees. Pada masanya, mereka juga masuk Top 40 dan lagunya ada di mana-mana. Pada masanya, mereka juga adalah bintang populer yang dituhankan penggemarnya.

Berbicara soal kesebalanku dengan musik populer atau mainstream, diam-diam aku juga mendengarkan banyak musik itu di saat senggang kok. Aku masih bisa menikmati Justin Bieber, Ariana Grande, Steve Aoki, Billie Eilish, Katy Perry, One Direction, termasuk Rain, Super Junior, Wonder Girls, Girls’ Generation, Black Pink, dan G-Dragon. Aku bahkan menghafal beberapa lagu mereka dan bisa berjoget asyik saat sedang menikmati lagu tersebut.

Ya pada dasarnya, jika benar-benar mau mencoba menikmati, musik pop dan K-Pop (dan musik lain yang kita sebalkan), sebenarnya sama-sama ada sisi menariknya tersendiri.

***

Akhirnya pun aku sampai pada fase ini. Fase yang mempertanyakan “kenapa sih sulit menikmati musik tanpa jadi sok asyik?”. Sok asyik dengan selera sendiri dan menjatuhkan selera orang lain. Kalau pun mau dijawab, sebenarnya ya kita bisa menikmati musik tanpa sok asyik (dan menjadi asyik betulan), tapi sulit.

Soalnya, sampai hari ini pun aku masih sering meledek orang karena selera musiknya. Aku bahkan punya kawan khusus untuk melakukan hal ini. Bedanya, kawanku itu layak menghakimi selera musik orang karena dia sangat jago bermusik. Sementara aku, bersendawa saja sumbang.

Tapi ya, lagi-lagi. Siapa sih kamu bisa menghakimi selera orang? Atau kamu memang pada dasarnya suka cari masalah saja (seperti aku)?.

--

--