Menjadi Tua

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
2 min readDec 2, 2020
Foto oleh Tiago Muraro di Unsplash

Hampir sepenuh harinya beliau habiskan di depan televisi. Menyaksikan tontonan yang sama sekali tidak beliau mengerti. Apa yang muncul di layar TV hanya dapat beliau lihat seadanya, tak lagi sejernih saat muda. Lantas, bagaimana beliau kemudian mampu mengambil intisari dari apa yang terjadi di dalam layar datar itu?

Tontonan yang paling beliau sukai adalah semua yang berisi kekerasan. Pukul-pukulan, tusuk-tusukan, hingga bunuh-bunuhan. Selera itu aku maknai sebagai sebuah katarsis. Mungkin jiwanya memang keras dan ingin memberontak. Tetapi karena tubuh tak berdaya akibat termakan usia, maka tontonan di televisi menjadi pelampiasan.

Toh menonton tontonan kekerasan juga tidak membutuhkan pemahaman, yang penting aksinya kelihatan. Dibanding menonton drama yang harus bermodal pemahaman pada cerita, tentu tontonan kekerasan lebih bersahabat bagi matanya yang semakin renta.

Jika mulai bosan dengan tontonan di televisi atau bila pinggangnya mulai ngilu karena terlalu lama duduk, beliau akan beranjak dan pergi ke kamarnya sendiri. Di dalam kamar, beliau biasanya akan tiduran sampai akhirnya nyenyak dan mendengkur.

Pikirannya selalu menerawang ke mana-mana. Banyak hal yang terjadi di dalam kepala yang sudah mulai bosan dengan kehidupan yang begitu-begitu saja itu. Karena hal tersebut, beliau selalu bermimpi dalam tidurnya.

Tak sekadar mimpi biasa, beliau bisa bermimpi begitu hebatnya sampai terpancar melalui igauannya setiap hari. Selain mengoceh dan mengomel, kadang kala igauan beliau bisa begitu mengerikan sampai berteriak dan melempar barang.

***

Rutinitas beliau setiap hari hanya tidur, bangun, makan, berjemur, nonton TV, ngemil, dan tidur lagi. Setiap kali memandangnya, aku bisa merasakan adanya kejenuhan yang tak dapat diusir dan kekosongan yang tidak bisa dipenuhi lagi. Sering aku mendengar beliau berceloteh

“Duh, sepi amat sih”

“Bosen nonton itu-itu aja”

“Makan begini lagi, begini lagi”

“Mau mati kok nggak mati-mati ya.”

Menjalani kehidupan dalam usia yang sudah hampir mencapai satu abad, banyak hal yang tak lagi terkejar oleh beliau. Kondisi tubuh yang tak lagi prima, dengan kaki yang tak lagi kuat berjalan tanpa tongkat, tentu membuat ruang geraknya menjadi sangat terbata-bata. Bahkan untuk melepas penat dengan jalan santai berkeliling rumah atau olahraga kecil saja, beliau sudah angkat tangan.

Belum lagi telinganya kini sudah semakin sayu. Mendengar pembicaraan apa saja terasa sayup-sayup. Berbicara dengan beliau kini harus dengan volume tinggi dan diulang-ulang. Tetangga yang mendengar mungkin akan mengira seisi rumah ini suka memarahi orang tua sendiri.

Seumur hidupnya, beliau tidak pernah menggunakan teknologi canggih bernama ponsel. Karenanya, beliau juga sangat tidak tahu menahu soal internet. Akibat dari hal tersebut, beliau tentu tidak bisa mengusir kebosanannya dengan main ponsel, seperti yang kita-kita lakukan di zaman sekarang.

Menjadi tua mungkin adalah harapan banyak orang. Namun, orang yang pada kenyataannya menjadi terlalu tua, akhirnya merasa kosong. Menemani mereka yang sudah menjadi tua mungkin bisa menjadi obat untuk mereka.

Mungkin…

--

--