Menyesap dan Memaknai Kopi

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
3 min readJan 4, 2021
Foto oleh Annie Spratt di Unsplash

Aku tidak tahu persisnya manakah yang lebih dulu. Ngopi untuk kebutuhan menghilangkan rasa kantuk atau ngopi sebagai budaya kongko-kongko. Aku sedang malas mencari kebenarannya di dunia maya.

Rasanya sudah sejak dulu orang minum kopi. Biasanya, kopi diminum di pagi hari untuk memberikan energi tambahan. Kopi menjadi sarapan yang terhidang di meja di rumah. Jika tidak sempat ngopi di rumah, orang akan pergi ke warung untuk ngopi, entah itu sendiri maupun sekalian nongkrong bersama peminum lain.

Selain di rumah, budaya ngopi dulunya ditemukan di warung atau kedai kopi kecil. Umumnya, para lelaki akan berkumpul di warung kopi (warkop) untuk menyeruput minuman berwarna hitam itu sembari bergosip ria. Berbagai informasi, dari yang penting sampai yang sepele, dari yang benar sampai sekadar kabar burung, semuanya terbagikan dari mulut-mulut yang asyik menyesap kopi di warkop tersebut.

Kalau aku tidak salah memahami, kebiasaan minum kopi ini dulu identik dengan orang dewasa. Hanya orang dewasa dan bahkan cenderung tua yang menikmati kopi. Tak sedikit orang yang juga menyebut kopi sebagai minuman maskulin karena mereka menganggap peminum kopi lebih banyak dari kalangan laki-laki.

Hari ini, sebagian besar orang masih ngopi untuk kebutuhan melek seharian. Sebagian lainnya menjadikan ngopi sebagai bagian dari pergaulan hidup. Sebagian lagi menjadikan kopi sebagai minat yang diperdalam sebegitunya.

Hari ini juga, orang minum kopi untuk gaya. Kafe kopi ternama mulai semakin banyak buka cabang, menampilkan suasana modern nan mewah yang begitu memanjakan mata. Entah campuran kopi apa saja yang mereka buat, urusan rasa nomor dua, yang penting tampilan menawan duluan. Orang mulai rajin minum kopi dengan dandanan perlente. Gawai di tangan kanan, kopi di tangan kiri.

Untungnya, semakin maju zaman, semakin maju juga pengetahuan. Banyak orang yang semakin haus akan pemahaman terhadap kopi. Orang-orang ini mempelajari cara menghargai rasa kopi dan budaya ngopi itu sendiri. Kopi-kopi lokal juga kembali populer.

Hal ini membuat kedai kopi lokal lahir. Kedai yang tak sekadar mementingkan wajah kedainya tetapi juga variasi dan rasa kopinya. Kedai-kedai lokal ini kemudian menjadi pesaing berat kafe kopi global yang sempat memenuhi berbagai sudut kota di Tanah Air. Jujur saja, aku menyukai fenomena ini karena membuatku bisa mendapatkan tempat santai gratis ditemani kopi yang enak dan layak. Apalagi jika kedai tersebut menyediakan kopi tubruk.

***

Penikmat kopi. Itu kata-kata yang biasanya kucantumkan dalam profilku. Aku menyebut diriku “penikmat kopi” dan bukan “pemerhati kopi”. Sebab jelas sekali, aku tahunya cuma menikmati, tidak sampai memperhatikan seluk beluk kopi dari sana sini.

Aku lupa kapan persisnya kali pertama aku meminum kopi. Satu hal yang kusadari adalah aku menyukai kopiku hitam pekat dan tanpa gula. Aku suka kopi yang ditubruk saja, tidak usah diaduk pakai mesin. Cukup tuang air panas dari teko atau dispenser, lalu aduk dengan sendok hingga terdengar bunyi tring! tring!

Sejak dulu, aku minum kopi karena aku suka aromanya dan aku suka rasa getirnya. Saat muda, aku minum kopi untuk memanjakan lidah dan hidung, bukan untuk menghilangkan kantuk. Sayangnya, memasuki kepala tiga, aku mulai membutuhkan kopi demi energi tambahan untuk tetap bisa melek di siang hari.

Tapi, sampai detik ini, buatku sendiri ngopi selalu merupakan bentuk memanjakan diri. Meski lambung dan pankreas kadang ngambek dihajar kopi, ngopi tetap jalan terus. Hitam pekat dan pahit, itu dia kesayanganku.

--

--