Menyesap Pelesir ke Gili Air

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
8 min readNov 16, 2020
Pemandangan dari laut Gili Air

Menangkap penerbangan terakhir di akhir pekan pertama bulan Maret 2013, aku dan Alfons berencana menjadi pelancong yang siap mental untuk tersesat. Bermodalkan info backpacker dari internet, kami berpindah dari satu kendaraan umum ke kendaraan umum lainnya dan diakhiri telapak kaki sendiri.

***

Mendarat di Bandara Internasional Lombok menjelang tengah malam, kami awalnya berencana menghabiskan waktu di bandara. Kami menanti subuh tiba untuk mengejar kendaraan umum menuju pelabuhan Bangsal. Apa daya, ternyata bandara itu tidak begitu ramah untuk dijadikan tempat bermalam ala backpacker. Setelah dilihat-lihat, kami merasa tidak aman untuk selonjoran di sana.

Kami pun langsung memilih naik bus Damri menuju Mandalika. Kami menikmati perjalanan yang cukup panjang sembari memandangi Lombok di malam hari yang ternyata masih nampak cukup gersang.

Tiba di pool Mandalika, tujuan utama kami adalah makan. Perut ini sudah keroncongan sedari masih berada di Jakarta. Kami pun berkeliling seperti anak hilang di gelapnya malam. Sunyi dan dingin ditemani ransel di punggung dan jaket tipis.

Kami menikmati setiap tapak kami yang rasanya berjumlah ratusan hingga akhirnya tiba di depan sebuah ruko tutup. Kami tertarik untuk menyantap sate dan sop kambing di kaki lima yang bernaung di sana. Sayangnya rasa hambar dan kurang hangatnya kuliner malam itu ternyata tidak sebanding dengan harganya yang cukup mahal. Tapi tak mengapa. Toh yang penting makan!

Seusai makan, kami kembali berkeliling seperti anak hilang. Rencana tidur di pool bis juga turut kami urungkan karena ternyata kami kurang merasa cocok untuk berada di sana. Jadilah kami mondar-mandir ditemani bulan dan suara langkah kaki , untuk mencari penginapan terdekat. Setelah bertanya dengan beberapa penduduk lokal, akhirnya kami bertemu dengan sebuah penginapan bernama Orindo.

Kami beristirahat sekiranya tiga jam di penginapan sederhana dengan tarif Rp100.000/malam itu. Saat kami check in, pengelola penginapan sempat menjanjikan akan mengantar kami ke jalur lewatnya engkel tujuan Pelabuhan Bangsal. Engkel adalah sejenis bemo namun bentuknya lebih mirip oplet dengan pintu terbuka dari belakang dan bagasi di atap.

Tapi dasar memang kekuatan kantuk. Sang pengelola penginapan ternyata memupuskan janjinya. Pukul lima pagi kami menghampiri beliau yang sedang tidur di depan pintu penginapan, untuk menagih janji. Dengan mata ngicir kelelahan, beliau hanya menjelaskan rute jalan ke tempat yang dimaksud. Kata bapak itu, jaraknya dekat sehingga bisa diakses dengan berjalan kaki. Kalau tidak salah hanya melewati dua lampu merah pun sudah sampai.

Berbekal informasi tersebut, kami kembali mengandalkan tapak kaki yang memang selalu lebih romantis. Kami kembali menikmati Lombok yang masih gelap dan segarnya aroma udara subuh. Kami berjalan, mengobrol, bercanda, sembari tetap memperhatikan tanda-tanda. Beberapa kali dua orang tukang ojek yang sama menghampiri kami dan menawarkan jasanya. Kami tetap menolak tanpa memberitahukan tujuan karena kami pikir benarlah jaraknya dekat.

Subuh itu benar-benar kami nyasar. Bolak-bolak ke sana kemari, bertemu engkel dan ternyata berbeda rute. Kami sampai menyempatkan diri berfoto di depan palang petunjuk arah ke RSJ — Lombok. Tapi, kami menikmati terdampar di kota itu dengan senang dan sama sekali tidak khawatir hilang. Yang kami khawatirkan hanya kehabisan waktu.

Akhirnya setelah sekitar setengah jam menjadi bocah hilang, kami dihampiri lagi oleh si tukang ojek. Kami pun memutuskan untuk sedikit terbuka padanya. Kami mengatakan tujuan kami dan mereka tertawa. Mereka menjelaskan bahwa jalur lewatnya engkel menuju Bangsal itu masih jauh dari sini dan akan memakan waktu lama jika ditempuh dengan berjalan kaki.

Setelah menawar harga, jadilah kami naik ojek. Selama perjalanan di punggung motor tukang ojek, memang aku dapati bahwa jaraknya jauh bukan main kalau ditempuh dengan berjalan kaki. Di perjalanan itu, aku dinasehati tukang ojek dengan tawa dan logat khas Lomboknya yang mirip dengan logat Bali, “Dari awal saya tawarin nolak terus sih.. Kalau mbak kasih tahu dari tadi kan enggak perlu muter-muter begitu.”

Sampai di tujuan, akhirnya kami berhasil naik engkel setelah menunggu sebentar. Suasana di dalam engkel begitu akrab dan menarik karena sepertinya penumpang rata-rata adalah langganan yang juga kenalan. Para penduduk berbagi kisah dengan bahasa daerah.

Aku selalu senang mendengarkan orang bercakap-cakap dengan bahasa daerah, sekalipun mungkin aku tidak paham. Sekalipun mungkin mereka menggosipkan aku dan Alfons. Mereka sempat juga mengajak kami ngobrol. Mereka pun tahu, tampang-tampang turis hilang seperti kami tujuannya pasti ke pulau Gili.

Karena perjalanan cukup jauh dan melingkar-lingkar, aku sempat mual. Tapi sungguh, melemparkan pandangan dan menikmati desir angin alam memang lebih mujarab dari sebutir pil anti mabuk. Pagi itu, kami menjadi saksi pergantian gelap menjadi terang di langit Lombok selama perjalanan dari Mandalika ke pelabuhan Bangsal.

Dari pintu pelabuhan, masih ada hampir satu kilo perjalanan menuju pinggir pantai yang menyediakan kapal boat untuk menyeberang ke gugus pulau Gili. Kami memilih meneruskan jalan kaki, meski tampak cidomo di sana. Jujur aku yang memilih untuk tidak naik cidomo karena terlalu sedih melihat kuda menjadi buruh angkut. Jadilah kami berjalan kaki yang lagi-lagi, memang selalu lebih efektif mempertebal rekam jejak pengalaman berkelana.

Perahu berbaris di Pelabuhan Bangsal

Menapakkan kaki di Pulau Gili Air, sensasinya penuh warna. Bagaimana tidak, sejauh mata melepas tatapan, paduan warna biru, hijau, putih, dan cokelat milik alam ini begitu penuh goda. Cantiknya luar biasa. Apalagi desir angin bagai bisikan centil yang memanggil-manggil.

Kami langsung berjalan kaki menuju penginapan Omah Gili yang sudah kami booking dari jauh-jauh hari. Pemiliknya seorang alumni UI (Universitas Indonesia), tapi hari itu dia sedang tidak ada sehingga kami (tak sengaja) dijemput pamannya (Pak Edi) di pelabuhan.

Pondok kami di Omah Gili

Ditemani welcome drink jus jeruk alami dan handuk dingin, kami mengorek-ngorek keindahan Gili Air dari para staf penginapan. Staf yang begitu ramah melengkapi kesempurnaan penginapan dengan desain arsitektur paduan Jawa, Bali, dan Lombok itu. Paduan struktur kayu asli hutan Indonesia tampak sangat terawat dan otentik!

Meninggalkan penginapan sejenak, kami langsung menjadi bocah yang begitu girang menyerang lautan di sekeliling pulau. Bagai binatang spesies pekerja yang baru lepas dari kandang bernama “ruwetnya ibukota”, kami berlari dan melompat kesana-kemari menikmati segarnya air laut Gili Air. Pulau yang mungil itu kami susuri dan kami cicipi setiap spot pantainya. Semuanya cantik, semuanya menarik.

Pulau yang habis dijelajahi tapak kaki hanya dalam waktu sejam ini begitu kaya dengan harta bernama pantai. Pasirnya halus berwarna putih, pepohonannya rindang menari-nari, dan nyanyian alamnya begitu harmoni. Menikmati pemandangan alam bawah laut Gili Air juga sangat menyenangkan (meski beberapa spot terlihat karang dan tanaman lautnya nampak rusak terinjak-injak). Menonton aneka ikan mungil bercanda di antara batu karang dan rumput laut bisa bikin kami lupa waktu!

Makan pizza ekstra besar di Gili Air

Malam hari begitu sunyi menenangkan. Hanya ada beberapa kafe yang mengadakan hiburan musik, bahkan pesta hanya diadakan beberapa hari (kalau tak salah seminggu) sekali di salah satu kafe. Sisanya begitu syahdu dan akrab. Itulah yang membuat aku mencintai Gili Air. Dia tidak semegah dan seramai Gili Trawangan.

Gili Air cocok menjadi tempat pelarian rutinitas yang mencekik. Dia menawarkan relaksasi dengan harmoni orkestra dari pohon, laut, dan tanahnya. Makanan di sana begitu segar dan enak. Harganya juga tidak terlalu mahal. Plecing kangkung adalah salah satu yang harus dicicip. Segar dan nagih! Selain itu, tentu seafood di sini juga sangat segar. Beberapa hari di sana, bobotku naik cukup banyak.

Makan udang dan plecing kangkung khas Lombok

Penduduk lokalnya pun sangat ramah dan terbuka. Meskipun saat itu hanya kami turis lokal (Gili Air lebih banyak disinggahi bule), mereka sangat ramah terhadap kami. Senyum, tawa, dan sapa berbaris rapi di sepanjang pulau. Tidak seperti banyak penduduk di tempat wisata lain yang lebih menyambut baik turis asing dan menomorduakan turis domestik.

Suasana pulau

Beberapa kali memang kami disapa selalu dengan bahasa Inggris. Lucunya, ketika kami mengunjungi art shop kecil di sana, penjaganya terus mengajak kami ngobrol bahasa Inggris bahkan sampai menyanyikan sebuah lagu untuk kami. Setelah kami malah terbata-bata menjawab, akhirnya dia sadar kami juga asli Indonesia. Wajahnya sempat tersirat kecewa, tapi ujung-ujungnya kami malah jadi akrab. Dia menjanjikan camilan gratis jika kami singgah lagi ke Gili Air di lain waktu.

Syahdunya panorama pulau Gili Air terasa begitu ramah dan manis untuk terus dinikmati. Terlebih banyaknya kelakuan bule-bule yang terkadang tidak jelas juntrungannya.

Beberapa kali kami melihat bule mabuk dan bertingkah lucu. Ada yang mengompol dan malah dipamerkan pada temannya. Ada satu keluarga dengan tampilan hippies bermain bongo dan bernyanyi teriak-teriak di malam hari. Ada yang sibuk bercengkrama di laut bersama pasangan.

Kami tertawa dan sangat terhibur. Bule-bule itu, sekalipun sering sembarangan, tetap ramah dan akrab, baik dengan penduduk lokal maupun dengan kami.

Selain penginapan yang banyak dan unik-unik, kegiatan yang dapat dilakukan di Gili Air juga begitu memanjakan saya. Bersepeda, berkeliling dengan cidomo, menyelam, snorkeling (yang jujur semuanya berharga cukup mahal) dapat dilakukan seluas pulau.

Kami yang begitu mencintai air (dan jujur sudah lama puasa nyebur karena kota tempat kami mengais rejeki begitu krisis wisata air bersih) memang memilih lebih banyak berenang-renang dan berjalan kaki berkeliling pulau.

Gili Air, aku merindukanmu. Merindukan semuanya termasuk ke pizza seafood luar biasa gurih yang ukurannya sangat besar, kopi beralkohol di tengah malam, dan bulu babi yang sempat mengejutkan kami di tengah laut. Pulau yang sibuk namun sama sekali tidak membuat aku merasa sesak dan macet.

*tulisan ini merupakan tulisan lama yang kubuat tahun 2013.

--

--