Muncul Sendiri

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
2 min readNov 30, 2020
Foto oleh USGS di Unsplash

Kepalanya spaning, inginnya marah-marah. Pundaknya tegang, otot lehernya keras dan kaku seperti lap Kanebo kering. Dalam hatinya, ia sudah mengomel ke sana kemari. Debar jantungnya bahkan gedebak-gedebuk, gombrang-gombreng seperti suami istri ribut banting-banting barang di pagi hari.

Entah kenapa bisa begitu, suasana hati Gandi hari ini sedang tidak baik. Kupingnya panas sendiri padahal tidak mendengar apa-apa dari siapa-siapa. Tanpa alasan ia ingin ngamuk. Ia ingin menggebuk semua yang ada di depannya, di sampingnya, di belakangnya, di atasnya, maupun di bawahnya.

Galaunya Gandi hari ini persis seperti ibu-ibu pusing memikirkan uang belanja kurang. Persis seperti bapak-bapak kurang jatah malam dari bininya sendiri. Persis seperti perempuan yang beberapa hari lagi datang bulan. Persis seperti anak kostan belum dapat kiriman uang sangu.

Tok! Tok! Tok!

Suara pintu diketok dari luar.

“Gan, lu di kostan?”

“Anjing! Kaga ada!”

“Lah, itu lu nyaut, Gan. Buka pintunya dong!”

“Tai lah! Kaga mau!”

“Lah, nih anak ngapa dah kok bentak-bentak. Ini gue, Restu!”

“Bangsat lu, Res! Ngapain ke mari”, Gandi masih misuh-misuh dari dalam kostnya dan tidak mau membuka pintu sama sekali.

“Woi, lu kenapa sih! Biasa juga gue dateng langsung disuruh masuk aja. Pakai nanya ngapain gue kemari. Buka lah, Gan!”

“Brengsek, kaga mau! Pergi lu, Res. Gue gebuk lu ntar!”

“Gan, ada apa sih? Lu lagi ada masalah? Sini gue bantu. Ayo buka pintunya!”

“Nggak usah sok pahlawan lu! Udah pergi aja sana!”

“Gue ada salah sama elu? Kenapa lu marah-marah ke gue begini amat?!”

“Pergi aja udah, gue nggak mau diganggu!

“Oke, oke! Gue pergi! Lu tenangin diri dulu! Nanti gimana-gimana, kabarin gue. Jangan gila lu, Gan!”

“Cuih! Tai kucing!”

Restu pun beranjak meninggalkan kamar kostan Gandi. Dalam hati ia bingung sendiri kenapa kawan baiknya mengamuk tanpa alasan dan bahkan sampai tidak mau menjelaskan.

“Wah, nggak beres nih anak. Kenapa dia ya?”

Dalam kamar, Gandi duduk diam. Mulutnya tidak berhenti komat-kamit. Ia terus memegang kepala dan merem melek cepat sekali. Tangannya menggenggam begitu kencang, membentuk bogem yang siap menghajar apa saja. Kakinya bergetar cepat dan tegang seperti menahan pipis.

“Bangsat lah ini. Bangsat semua, bangsat!!!”

Sampai detik ini, Gandi juga tidak tahu kenapa dia begitu spaning. Mungkin kepalanya korslet. Mungkin darahnya mendidih. Mungkin hatinya meletup-letup.

Aku pun tidak tahu kenapa Gandi spaning. Semuanya begitu tiba-tiba.

Jangan-jangan……

--

--