Nostalgia Manga

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
11 min readFeb 22, 2023
Foto oleh Martijn Baudoin di Unsplash

Aku selalu suka dengan cara Jepang menarasikan sebuah pikiran. Aku rasa, segala pikiran (mau itu baik atau jahat, normal atau nyeleneh) begitu dipelihara di Jepang dan diberikan ruang ekplorasi. Hal itu membuat kita bisa melihat banyak sekali bentuk kesenian asal Jepang yang mengesankan dan inspiratif.

Aku anak yang sangat senang dimanjakan dengan visual. Gambar yang bisa “bercerita” dan tulisan yang mengugah menjadi dua hal yang amat bisa menghiburku. Jadi, ketika keduanya bergabung, tentu aku akan sangat menggandrunginya.

Untuk itulah aku suka sekali dengan manga.

Manga secara sederhana kita pahami sebagai komik atau novel grafis ala Jepang. Kekhasan dari Manga, menurutku, ada pada kekuatan eksplorasi ceritanya. Ide pikiran penulis bisa dijelaskan dengan gamblang dan lebih mudah dipahami. Visualnya pun sangat mendukung.

Bisa dibilang, perkenalanku dengan manga dijembatani oleh kakak-kakakku. Aku termasuk jarang membeli manga. Manga di rumah kebanyakan dibeli oleh kakak-kakakku, terutama kakakku yang kedua. Biasanya aku mulai dari ikut-ikutan membaca, lalu nantinya jadi suka. Setelah SMP barulah aku mulai rajin beli komik pakai uang jajan sendiri.

Aku ingat pertama kali mengenal manga melalui Doraemon. Doraemon mengenalkanku pada konsep fantasi, harapan, persahabatan, dan kehidupan anak sekolahan. Manga ini menyuapi makan enak ke imajinasiku. Kantong Ajaib Doraemon, Mesin Waktu, Pintu Kemana Saja, dan Baling-Baling Bambu menjadi hal-hal yang kuharap bisa sungguh-sungguh eksis di dunia ini. Kurasa semua anak, pada masanya, sangat ingin bisa bertemu Doraemon.

Sumber gambar: Mangabat.

Selagi asyik dengan Doraemon, tentu anak-anak di masa itu juga akan bersentuhan dengan Dragon Ball. Aku ikutan tercerahkan dengan Dragon Ball, walaupun jujur saja sekarang aku sudah lupa ceritanya apa.

Hal yang masih kuingat betul adalah Bola Semangat. Meskipun tidak lagi terlalu mengikuti ceritanya, bagiku Dragon Ball sangat berhasil menjadi sepuh untuk sejumlah manga bergenre aksi (action). Penokohannya begitu kuat, dipadu fantasi sentuhan mitos dan kehidupan antar planet.

Semakin besar, aku mulai menemukan preferensiku dalam membaca manga. Aku mulai mengetahui bahwa aku memiliki ketertarikan lebih pada hal-hal yang keras, menyeramkan, dan misterius. Karena itu, mulailah aku rajin membeli manga one-shot (satuan) yang bertema horor. Buku Harian Maki adalah salah satu yang paling kusuka ketika itu.

Masa-masa sekolah dasar, aku berkenalan dengan Detektif Conan. Manga ini membuat pembacanya jatuh cinta dengan sosok anak muda tampan yang amat cerdas melalui tokoh utama Shinichi Kudo (yang akhirnya jadi Conan karena menelan pil APTX). Berpadu dengan teknologi canggih dari Profesor Agasa, ketololan Kogoro Mouri, dan sejumlah kasus yang seru, tentu Detektif Conan cepat menjadi bacaan sejuta umat.

Sumber gambar: Mangabat dan Batoto.

Di sela-sela menggandrungi Detektif Conan, kakak sulungku membawa pulang manga berjudul Detektif Kindaichi (Kindaichi Shounen No Jikenbo). Dari wajah buku, jujur saja visualnya tidak menarik. Saat membuka isi dalamnya secara sekilas pun, visual manga ini terkesan lebih konyol.

Tapi untungnya hal tersebut tak kemudian membuatku berhenti penasaran untuk membaca. Aku mulai iseng membaca komik seri pertama. Kasus pembunuhan di gedung opera menjadi cerita perdananya. Ceritanya begitu intens dan terasa lebih sadis dibandingkan Detektif Conan.

Tak menunggu waktu lama, aku malah jadi lebih menggemari Detektif Kindaichi. Aku pun lanjut mengikuti serial manga tersebut sampai tamat. Aku ingat sekali dulu aku punya semua serinya lengkap sampai tamat. Aku membelinya dari mulai harga cuma Rp6.500 sampai jadi Rp12.500 per eksemplar.

Detektif Kindaichi menjadi sebuah serial detektif terfavoritku karena penokohannya sangat menarik. Sosok Kindaichi digambarkan sebagai anak SMA yang benar-benar bodoh, sok keren, bandel, dan bisa dibilang kurang bisa diandalkan. Secara penampilan, Kindaichi bahkan tidak ada ganteng-gantengnya.

Sumber gambar: Mangabat.

Di balik karakter itu, ternyata Kindaichi memiliki kecerdasan luar biasa. IQnya 180 dan dia bisa menjadi seorang detektif hebat ketika berhadapan dengan kasus-kasus di sekitarnya. Perpaduan tolol dan cerdas ini membuat Kindaichi bisa terlihat sangat konyol, pun sangat keren.

Selain Kindaichi, tokoh-tokoh pendukung di manga ini juga sangat ikonik. Inspektur Kenmochi yang sembrono, Detektif Akechi yang tampan dan misterius, Miyuki yang pintar, cantik, tapi sering kali merepotkan. Semuanya membuat cerita di manga Detektif Kindaichi tidak pernah membosankan.

Di samping tokoh, ide cerita Detektif Kindaichi juga bagiku terasa lebih variatif dan bagus. Kasus-kasusnya terasa sangat nyata dan menegangkan. Pemaparan kasus juga dibuat sederhana tetapi tetap misterius. Beda dengan Detektif Conan yang beberapa kali terasa menjelimet.

Sumber foto: Batoto.

Memasuki usia SMP, aku mulai suka membaca manga samurai. Rurouni Kenshin dan Samurai Deeper Kyo menjadi bacaan andalanku di masa itu. Aku suka dengan manga tersebut karena bisa menceritakan sejarah dan budaya Jepang dengan sangat menggugah. Tokoh-tokoh di dalamnya, dengan masing-masing prinsip dan jalan hidupnya, terasa menjadi sebuah inspirasi tersendiri.

Panel aksi di manga samurai sangat seru untuk disimak. Sumber gambar: Batoto.

Tak sekadar mendapatkan inspirasi nilai-nilai kehidupan, membaca manga samurai juga terasa begitu seru. Begitu banyak tokoh dengan perawakan yang menarik, ditambah jurus-jurus dan pertarungan ditampilkan dengan visual yang amat indah. Wah, seru sekali lah rasanya menikmati hiburan semacam itu.

Era SMP juga menjadi masa di mana aku kegandrungan berburu hentai. Hahaha! Dulu, di sebelah SMPku ada sebuah mal kecil. Di lantai dasarnya terdapat toko buku (si toko buku besar itu lho!) Pada bagian tengahnya, ada area khusus dengan etalase kaca, yang di mana jika kita ingin membeli barang yang ada di situ, kita harus meminta izin penjaga tokonya.

Nah, di etalase kaca itu biasanya dipajang manga 17+ bergenre seks (iya, HENTAI maksudku). Lucunya adalah, aku juga bingung kenapa ketika itu kok aku dan temanku bisa beli hentai di situ. Padahal kan kami masih kecil ya. Kok bisa diizinkan sama penjaganya untuk beli?

Masa sih kalian tidak tahu manga ini? Sumber gambar: Batoto.

Jadi, sejumlah anak SMPku biasanya ngumpet-ngumpet akan pamer hentai dan saling bertukar baca. Golden Boy menjadi hentai yang paling terkenal di kala itu. Aku sempat membacanya di kelas dan di situlah aku mengenal Air Kogane. HAHAHAHAHA!

Tapi memang, ketika itu rasanya aku tidak terlalu peduli dengan jalan ceritanya. Aku cuma ingat soal Air Kogane dan tidak engeh lagi soal keutuhan kisah Golden Boy. Bagiku, Golden Boy (dulu) terlalu vulgar dan gambarnya kurang kusuka.

Tahun kemarin aku sempat coba membaca ulang di internet. Tetap saja sih, aku masih belum ingin lanjut baca sampai habis. Premisnya sebenarnya bagus kok!

Guru Nube, paduan kisah horor dan cabul sekolahan. Sumber gambar: Batoto.

Kalau mau cari yang visualnya agak cabul, aku mendingan baca Nube, Guru Ahli Roh (Jigoku Sensei Nube). Manga itu memadukan dua kesukaanku: cerita setan dan lihat orang telanjang. Ibuku pernah mendapatiku membaca itu dan ketika lihat isinya, bukunya disobek-sobek. Sedih deh, padahal baru beli sehari.

Masa SMP dan SMA kemudian membawaku berkenalan dengan Naruto. Manga seputar kehidupan Ninja itu sangat menyenangkan untukku. Aku bisa melihat banyak tokoh, banyak jurus, banyak pertarungan, dan pastinya, banyak perjuangan.

Naruto sempat menjadi manga aksi favorit zaman sekolah menengah. Sumber gambar: Batoto.

Nilai kekeluargaan dan setia kawan sebenarnya menjadi yang paling menonjol di manga ini. Karakter yang dibangun juga keren-keren. Aku sangat mengagumi Kakashi dan Shikamaru, Ssosok yang kelihatannya konyol, namun sebenarnya sangat cerdas dan hebat. Ketika bertarung dengan serius, mereka menjadi sangat kuat dan menakutkan.

Sayangnya sekarang aku memang tidak lagi mengikuti cerita Naruto karena lama-lama bosan juga. Seingatku, aku hanya membaca sampai dengan Itachi menggila deh!

Guna menyeimbangkan pikiran dan perasaan agar tidak melulu membaca kekerasan dan kecabulan, aku pun membaca manga yang bikin ketawa. Dua judul yang paling berkesan tentu saja Crayon Shinchan dan Hai, Miiko! Sungguh sebuah pilihan yang berlawanan ya? Satu soal bocah yang sangat nakal, satu lagi soal bocah yang sangat baik.

Ingat nggak kalau komik Sinchan ini sempat kontroversial dianggap membawa pengaruh buruk untuk anak? Sumber gambar: Batoto.

Crayon Shinchan menjadi sebuah bacaan hiburan yang menggelitik. Manga ini menceritakan kehidupan bocah taman kanak-kanak dengan segala kenakalannya. Bicara soal kenakalan, tokoh Shinchan ini menjadi ikonik karena memang nakalnya di luar batas normal. Pun penggambaran tokoh-tokoh lain sama ngaconya. Untungnya selama membaca ini, aku tidak terpengaruh jadi bengal seperti Sinchan. Hahaha!

Hai, Miiko! sepertinya menjadi satu-satunya komik unyu-unyu yang dulu kukoleksi. Sumber gambar: Batoto.

Di sisi sebaliknya, Hai, Miiko! mengenalkan pembaca pada sosok bocah perempuan yang penuh semangat dan baik hati. Bisa dibilang, Miiko ini tokoh anak kecil polos yang punya hati lembut. Banyak sekali cerita di Hai, Miiko! yang menyadarkan pembaca bahwa pikiran dan perasaan anak-anak itu sering kali menginspirasi.

Baru-baru ini, aku lihat media sosial cukup ramai membicarakan Hai, Miiko! volume 35 yang ternyata banyak disensor di Indonesia karena mengangkat kisah LGBT.

Dalam edisi tersebut, Miiko diceritakan sebagai anak yang menghargai orientasi gender salah satu kawan sekolahnya. Ia bahkan menjadi sosok yang menerima kawannya untuk tetap menjalani kehidupan senyamannya.

Miiko turut membantu kawan itu untuk berani terbuka dan tidak khawatir dengan kondisinya, karena pada akhirnya, orientasi tersebut tidak mengurangi nilainya sebagai manusia.

Saat menjadi anak kuliahan, preferensiku pada manga bergeser lagi. Kali ini aku lebih tertarik untuk membaca komik kedokteran dan kisah perjuangan hidup. Aku membaca Say Hello To Black Jack (tentang kehidupan dokter muda di rumah sakit besar) dan Team Medical Dragon (tentang dokter jenius yang nyentrik yang ditarik untuk kembali bekerja di rumah sakit ternama).

Manga ini mampu menggambarkan konflik dunia medis di Jepang (yang pastinya terjadi juga di seluruh dunia). Sumber gambar: Batoto.

Keduanya menggambarkan betapa problematiknya profesi dokter. Mereka dituntut untuk bisa berkelindan dengan kecerdasan, hati nurani, etika profesi, dan politik rumah sakit. Kasus-kasus medis yang ditampilkan juga terasa begitu menarik untuk dipahami. Setidaknya, membaca manga tema ini membuatku tahu harus setinggi apa menggantungkan ekspektasi dan harapan hidup pada dokter dan rumah sakit.

Kiri-Death Note, Kanan-Death Notice (Ikigami). Sumber gambar: Batoto.

Manga yang menonjolkan soal kematian juga mulai masuk ke radar membacaku saat itu. Death Note dan Death Notice (Ikigami) mulai ada dalam daftar bacaan. Aku suka mengikuit cerita keduanya karena membahas soal bagaimana jadinya dunia jika manusia punya kuasa menentukan kematian orang lain. Death Note lebih menekankan soal itu dari sisi horor dan fantasi, sementara Death Notice menekankan dari segi politik dan kemanusiaan.

Memasuki usia di atas 20, aku mulai menggandrungi cerita yang dekat dengan persoalan konflik mental seseorang. Biasanya aku akan mencari manga yang bercerita soal tokoh utama yang bermasalah, untuk kemudian menggali sumber masalah yang berhubungan dengan kondisi mentalnya yang terganggu itu. Akan lebih seru lagi jika kondisi mental yang terganggu ini ternyata disebabkan oleh keluarga sendiri.

Manga The Trail of Blood terbilang cukup menantang untuk dibaca. Sedih dan pahit jadi satu. Sumber gambar: Batoto.

Untuk tema itu, salah satu yang sedang kuikuti adalah The Trail of Blood (Chi No Wadachi). Ceritanya fokus pada kehidupan seorang lelaki yang nasibnya begitu berantakan karena harus berhadapan dengan ibunya yang overprotektif dan (ternyata) memiliki gangguan jiwa. Manga ini menguatkan hubungan antara trauma anak dengan kesakitan ibu.

Bisa dibilang, manga Arigatou menjadi kritik bagi orang tua atas kenakalan anak. Sumber gambar: Batoto.

Ada pula Arigatou karya Yamamoto Naoki yang sangat meresahkan. Manga yang berpusat pada kehidupan seorang remaja perempuan dalam keluarga disfungsional ini mungkin tidak cocok untuk semua pembaca. Kisahnya problematik, penuh dengan vulgaritas dan kekerasan. Secara garis besar, manga ini menekankan bagaimana perilaku orang tua berpengaruh pada kenakalan atau pemberontakan yang dilakukan anak.

Tak hanya itu, aku juga sedang suka sekali membaca manga yang bercerita soal kematian. Salah satu yang sedang kugandrungi beberapa bulan belakangan ini adalah Route End dan Death Sweeper. Keduanya mengangkat cerita kehidupan para trauma cleaner atau petugas pembersih TKP (Tempat Kejadian Perkara). Banyak sekali perdebatan soal makna kematian dan pentingnya hidup di kedua manga itu.

Mencoba memahami kematian dari dua manga ini. Sumber gambar: Batoto.

Berbicara soal manga, tentu berdosa rasanya jika aku tidak membahas karya mangaka favoritku sepanjang masa. Beliau adalah Junji Ito-san! Mangaka horor kelas kakap yang sampai detik ini, aku masih penasaran apa isi otaknya. Kok bisa-bisanya membuat manga dengan cerita yang kacau dan visual yang begitu intimidatif.

Aku pertama kali mengenal karya Junji Ito saat bermain di rumah salah satu teman baikku di masa SMA. Aku menemukan manga Uzumaki tergeletak di rak bukunya. Dengan wajah buku yang mengerikan menampilkan spiral yang tak ada ujungnya, aku merasa terhipnotis.

Begitu kubaca, ASTAGA KOMIK APA INI!!!!! Kok ada cerita komik begini anehnya, tapi bikin penasaran? Kok ada komik gambarnya menakutkan, tapi begitu indahnya?

Sejumlah karya Junji Ito. Sumber foto: Viz.com.

Ketika akhirnya punya penghasilan sendiri, aku mulai rajin mengulik manga Junji Ito lainnya. Selain Uzumaki, sejumlah judul yang sudah kubaca adalah Tomie, Black Paradox, Gyo, No Longer Human, Frankenstein, Fragments of Horror, Twisted Visions, Venus in the Blind Spot, Smashed, Shiver, dan Deserter. Jujur saja kalau mau beli manga fisiknya, harganya selangit!

Selain Junji Ito, mangaka nyeleneh lain yang juga amat kukagumi karyanya adalah Shintaro Kago (spesialis guro), Suehiro Maruo, Kazuo Umezu (bisa dibilang beliau adalah panutan Junji Ito), Masaya Hokazono, dan Nakayama Masaaki.

Terlepas dari berubah-ubahnya preferensiku terhadap manga, hobi membaca hentai masih jalan terus sampai sekarang. Kurasa itu penting untuk membuatku tetap waras.

Terima kasih Tachiyomi, sumber kebahagiaanku selama setahun belakangan. :)))

*dulu aku punya banyak sekali manga (koleksiku dan kakak-kakakku). Kurasa ratusan jumlahnya jika dikumpulkan sampai sekarang. Ibuku punya kebiasaan, setiap anaknya dirasa sudah masuk fase usia lebih tua, mainan dan komiknya harus disumbangkan. Apalagi kami punya kebiasaan (aneh) untuk pindah rumah minimal 2 tahun sekali. Tentu memelihara banyak buku hanya akan membuat encok pindahan.

Jadilah manga koleksi sudah lenyap semua. Foto kenangannya pun tidak ada karena semua manga sudah disumbangkan sejak era kamera di ponsel belum kinclong seperti sekarang.

Satu yang kuingat, kami menyumbang koleksi komik terakhir pada saat aku mulai kuliah. Ketika itu, beberapa manga sudah ada yang bertema dewasa, nyeleneh, dan jorok. Satu kotak besar itu ibuku sumbangkan ke gereja adiknya (kalau tidak salah). Semoga penerimanya tidak syok saat menyortirnya ya. Maap!

--

--