Pandemi Datang, Cemas Menyerang

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
3 min readDec 10, 2020
Foto oleh engin akyurt di Unsplash

Pandemi Covid-19 sudah genap 10 bulan menetap di Indonesia. Pandemi yang belum jelas kapan akan berakhir ini membuat perasaan kita menjadi campur aduk. Ada yang cemas dengan ketidakpastian, bosan karena terlalu lama di rumah saja, sedih karena ada kerabat yang terjangkit Covid-19, ada pula yang marah karena pandemi ini tidak juga menghilang dari muka bumi.

Selain bosan yang mendominasi perasaan orang kebanyakan, aku rasa kecemasan juga menjadi salah satu yang kini semakin kita rasakan. Aku pun termasuk salah satu orang yang menghadapi serangan kecemasan cukup tinggi akibat pandemi Covid-19 ini.

Kecemasan itu datang dalam beragam bentuk. Salah satu yang paling terasa tentunya cemas kalau-kalau diri sendiri maupun kerabat terkena korona. Kecemasan satu ini membuatku selalu was-was jika terpaksa keluar rumah. Masker jadi tak pernah lepas dari wajah setiap kali bertemu orang selain kerabat serumah. Aku pun jadi resik berlebihan terhadap segala sesuatunya. Cuci tangan menjadi kewajiban setiap habis menyentuh sesuatu yang banyak disentuh orang lain. Belanja apa pun pasti dicuci dulu sebelum dibawa masuk ke rumah.

Akibat menjaga kebersihan lebih dari biasanya, akhirnya aku mencemaskan soal keuangan. Sebab, aku jadi harus menambah pengeluaran produk-produk sanitasi. Pengeluaran bulananku jadi berlebih untuk urusan membeli disinfektan, hand sanitizer, sabun, masker, dan antiseptik. Itu belum termasuk pengeluaran tambahan untuk kebutuhan binatu akibat semua pakaian sekarang hanya bisa sekali pakai lalu langsung dimasukkan ke cucian.

Pandemi Covid-19 menghadapkan orang pada ketidakpastian. Aktivitas manusia terbatasi, termasuk untuk urusan bekerja, berbisnis, dan berbelanja. Akibatnya, perputaran ekonomi menurun, urusan mencari uang menjadi semakin sulit karena banyaknya pemecatan karyawan dan penutupan usaha baik secara temporer maupun permanen.

Menghadapi soal satu itu, aku sempat cemas pendapatan berkurang, bahkan hilang. Apalagi pekerjaanku hanya seorang penulis lepas yang mengandalkan order dari berbagai klien, tanpa ikatan kerja. Benar saja, baru memasuki bulan awal pandemi, klien utamaku terdampak. Alhasil, aku pun kehilangan pekerjaan.

Lengkap sudah ya? Pengeluaran bertambah di saat pendapatan malah menghilang. Mau cari cara untuk mendapatkan pemasukan lain, masih kebanyakan pertimbangan. Pertimbangan itu juga muncul karena kecemasan lain yang muncul di masa pandemi begini.

***

Foto oleh Max Kleinen di Unsplash

Mengingat semua orang semakin sulit mencari nafkah, tak heran jika tindak kejahatan kemudian meningkat. Beberapa orang (tidak menyebut semua), ada yang berani menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang makan untuk diri sendiri maupun keluarganya. Orang-orang seperti ini biasanya akan melakukan tindak kriminal saat terdesak, seperti pada masa pandemi seperti sekarang ini.

Menghadapi kemungkinan tersebut, ditambah mengonsumsi berita kriminal dari beragam media, tentunya aku juga sempat terserang kecemasan tambahan. Kecemasan itu adalah kekhawatiran menjadi korban tindak kriminal.

Kecemasan satu ini membuatku sempat paranoia selama di rumah, terutama di malam hari. Setiap mendengar suara asing, aku akan langsung merasa cemas dan berpikir yang tidak-tidak. Aku langsung mengira bahwa akan ada orang jahat yang akan masuk ke rumah. Semua orang yang lewat depan rumah kucurigai. Aku pun jadi kerap bermimpi rumah kerampokan.

Tak cuma mencemaskan apa yang ada di luar, tentunya aku juga mencemaskan apa yang ada di dalam rumah. Selama 10 bulan ini, aku selalu memperhatikan rumahku dengan berlebihan. Aku pantau setiap sudutnya memastikan tidak ada yang rusak. Sebab, aku cemas kalau-kalau ada yang rusak dari rumah ini. Itu tandanya, aku harus memanggil orang asing ke rumah untuk melakukan perbaikan yang mungkin juga memakan waktu tak sebentar.

Sebelum memasuki usia tiga puluh, aku tidak pernah secemas ini dalam hidup. Kalaupun ada kekhawatiran, dulu malah kunikmati dan kadang kubayangkan sampai hal terburuknya, tanpa merasa takut sama sekali. Semua kujalani dengan tenang-tenang saja. Apa yang terjadi hari ini ya terjadilah, yang terjadi besok ya besok saja dipikirkannya.

Sekarang semua membuatku cemas. Entah itu karena usia, karena pandemi, atau karena memang sudah waktunya saja ya.

--

--