Paranoia Media Sosial, 5 Hal yang Kuhindari dalam Bermain Media Sosial

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
5 min readOct 28, 2020
Foto oleh Glen Carrie di Unsplash

Internet adalah salah satu produk pengembangan teknologi yang paling bermanfaat di dunia. Perkembangan internet di dunia membangun peradaban baru bagi masyarakat, yakni peradaban digital. Adanya internet membuat kita bisa menemukan, bahkan tenggelam dalam dunia baru, DUNIA MAYA.

Internet masuk ke Indonesia sejak lama. Rasanya usia internet masuk ke Indonesia hampir sama tuanya dengan usiaku sendiri. Tak seperti aku yang semakin menua malah semakin tertinggal, internet malah semakin canggih dan menguasai hajat hidup manusia dengan begitu hebatnya.

Perkembangan internet jelas sangat membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Aku pun merasakan manfaat tersebut dari banyak sisi. Mulai dari sekadar untuk berburu informasi, berbagi pesan, menuntaskan pekerjaan, belajar daring, hingga bersosialisasi.

Dulu, aku termasuk orang yang sangat melek internet. Aku juga pengguna internet aktif. Apalagi sejak ramai media sosial (aku mengawalinya dengan Friendster), aku pun semakin rajin main internet.

Masa awal-awal mengenal internet merupakan fase bulan madu. Aku ke warnet hampir setiap hari, dengan alasan mengerjakan tugas sekolah. Padahal, sebenarnya aku lebih banyak bermain media sosial dan mencari film biru. Sekali main media sosial, aku bisa berjam-jam berada di warnet. Di situ aku sibuk memperbarui status, berbalas komen, berbalas pesan pribadi, mengunggah foto dan video, hingga membagikan puisi-puisi gombal.

Selama sekian tahun, aku sangat rajin memperbarui laman media sosialku. Semua info tentang diriku, aku bagikan selengkap-lengkapnya di sana. Setiap ada foto baru, aku selalu membagikannya di situ, lengkap dengan takarir (caption) yang menarik. Pokoknya aku ingin semua orang tahu tentang diriku!

Semakin tua, aku akhirnya menyadari bahwa media sosial itu bukan sekadar soal bersosialisasi dengan kawan sendiri. Media sosial, terutama yang tidak diprivat, pada dasarnya memang tidak hanya dilihat oleh kenalan, tetapi juga orang asing yang tidak kita kenali. Di sana, orang yang tidak mengenal kita bisa mendapatkan banyak informasi penting tentang kita. Lebih gilanya lagi, aktivitas di media sosial ini juga bisa saja (dan cukup banyak yang) berakhir pada kasus penipuan, pemerasan, dan penculikan.

Sejak menyadari hal tersebut, aku rasa aku mengalami paranoia media sosial. Setiap kali akan membagikan informasi pribadi, aku akan berpikir berkali-kali sebelumnya. Bahkan untuk berkomentar tentang sesuatu pun, aku merasa perlu berpikir panjang.

Aku merasa sudah ada seseorang yang menunggu untuk mencuri data-data yang kita bagikan. Bahkan sekalipun informasi itu tidak dibagikan dengan gamblang, aku merasa akan ada seseorang yang bisa saja mengumpulkan pecahan-pecahan informasi yang kubagikan hingga akhirnya ia bisa mendapatkan informasi penuh yang bermanfaat bagi mereka.

Sehubungan dengan komentar, aku juga semakin membatasi diri untuk berkomentar mengenai dan terhadap sesuatu. Sebab, sekarang orang semakin mudah tersinggung. Orang juga semakin suka ribut. Sementara aku paling malas terjebak keributan, apalagi untuk hal yang tidak layak.

Alhasil, aku semakin mengurangi kebiasaan membagikan informasi pribadi ke dunia maya. Saat ini, kira-kira 5 hal berikut kini kuhindari sebagai akibat dari paranoia media sosial.

1. memasang nama lengkap

Membagikan nama lengkap secara terbuka di dunia nyata saja sudah cukup berbahaya, apalagi di dunia maya. Dengan bermodal nama lengkap, orang bisa dengan mudah menemukan kita. Bahkan termasuk orang yang kita hindari atau kita tak ingin dia tahu tentang kita. Selain itu, orang jahat bisa saja menggunakan nama lengkap untuk mengakses data-data penting seperti data kartu kredit. Bukan hanya nama lengkap sendiri, membagikan nama lengkap anggota keluarga pun sama berbahayanya.

Aku semakin sangat menghindari hal satu ini karena nama lengkapku mungkin bisa dibilang sebagai satu-satunya di dunia. Sekali mereka tahu nama lengkapku dan ejaan yang benarnya, sudah pasti orang itu menemukan aku.

2. menggunakan email utama

Aku mulai membiasakan diri untuk tidak menggunakan email utama ketika membuat akun di media sosial. Sebab, bisa dibilang, media sosial memiliki sistem keamanan yang paling sering dibobol para hacker.

Saat mereka berhasil menjebol media sosial, otomatis dia berpeluang sekalian menjebol email kita. Jika data email sudah terakses oleh hacker, mereka bisa dengan mudah menyusupi laman kotak masuk.

Apabila kita memakai email utama, pastinya kotak masuk berisi banyak informasi penting. Seperti misalnya tagihan kartu kredit, laporan keuangan, informasi finansial lainnya, informasi asuransi, dan data pekerjaan.

3. mengunggah foto diri dan keluarga dengan wajah terlihat jelas

Rasanya sudah cukup lama aku tidak mengunggah foto keluargaku di media sosial. Jika ada foto lama, biasanya aku hapus atau kubiarkan tapi jumlahnya tidak banyak (dan foto ini sudah pasti adanya di akun media sosial yang sudah aku set “privat”). Khusus akun yang tidak privat, paling banter aku memasang foto dengan wajah yang tidak terlihat jelas. Kalaupun fotonya jelas, mungkin namanya kubuat alias.

Foto diri adalah hal yang sangat sensitif. Banyak sekali kejadian orang tak dikenal mencuri foto orang lain dari media sosial. Foto tersebut lalu digunakan untuk membuat akun baru. Si orang jahat ini kemudian menggunakan identitas palsu tersebut untuk menipu orang atau melakukan aktivitas tidak bertanggung jawab lainnya. Jika sudah begitu, si empunya wajah di foto lah yang kena getahnya.

Selain itu, soal foto ini juga bisa digunakan untuk pemerasan. Ada pula yang mengumpulkan foto curian untuk (misalnya) dijual sebagai bahan aktivitas seksual. Mengerikan sekali bukan?

Apa yang kulakukan saat ini, di Instagram misalnya, lebih banyak mengunggah foto barang-barang hobi, aktivitas publik, foto lucu-lucuan, dan ulasan buku. Mengingat Instagram sudah kuprivat, aku masih membiarkan ada satu atau dua foto lama keluarga dan foto wajah. Tapi aku sudah mengurangi kebiasaan mengunggah yang baru.

4. mengunggah foto berisi penampakan ranah pribadi (rumah dan kamar)

Sejak dulu, aku paling ngeri jika harus membagikan foto atau video yang memuat penampakan rumah dan kamar pribadiku. Sebab, itu seperti membiarkan banyak orang asing masuk ke rumah kita dan mengetahui seluk beluknya.

Dalam satu foto yang menampakkan kamar atau rumah, orang bisa mendapatkan banyak sekali informasi tentang diri kita. Misalnya saja, barang-barang pribadi, tata letak, bahkan alamat rumah. Bayangkan kalau kita punya penguntit?

Beberapa kesempatan, masih ada lah aku mengunggah foto dengan latar belakang kamar. Namun, biasanya dengan fokus yang tidak jelas, detail tertutupi, atau warnanya kuubah menjadi monokrom.

5. mencantumkan alamat dan nomor telepon

Hal ini merupakan salah satu yang menurutku paling berbahaya. Memasang alamat lengkap seperti memberi tahu satu dunia di mana kita tinggal. Memasang nomor telepon? Ya jangan kaget jika tiba-tiba banyak orang tak dikenal menghubungi kita. Apalagi sekarang banyak sekali penipuan melalui telepon. Sama telemarketer saja aku menghindar, apalagi sama penipu.

Sekarang-sekarang ini, aku hanya membagikan nomor telepon utama untuk urusan pekerjaan dan perbankan. Kalau alamat lengkap, aku hanya bagikan untuk kebutuhan pengiriman barang.

Selain 5 hal di atas, aku juga mulai tidak pernah lagi membagikan foto berikut di media sosial: foto boarding pass, foto kendaraan dengan nomor platnya, foto isi tas, dan foto kartu tanda pengenal (sekalipun disensor).

Bersosialisasi di media sosial pada akhirnya malah membuatku semakin tidak sosial. Aku malah semakin cemas berbagi.

Seorang teman dulu pernah bilang aku terlalu berlagak ngartis dengan privasi yang dilindungi berlebihan. Katanya untuk apa aku memprivat akun Instagramku, padahal aku bukan artis. Aku juga bukan orang penting, apa yang mau kujaga?

Pada akhirnya, masalahku bukan di situ. Aku hanya terbiasa menjaga kehidupanku tidak semuanya menjadi santapan orang lain. Apalagi urusan rumah tangga dan kamar tidur. Ngeri lah kalau jadi bumerang!

Foto oleh Nahel Abdul Hadi di Unsplash

Mau tak mau, sepertinya aku pun menyadari bahwa di dunia ini, manusia yang licik dan jahat sudah semakin banyak. Jadi, buat jaga-jaga, lebih baik pasang kunci ganda saja. Namanya juga paranoia.

--

--