Rahasia Kutang-kutang

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
4 min readAug 25, 2021
Foto oleh Pablo Heimplatz di Unsplash

Kutang-kutang telanjang di ember penuh air. Setiap pagi kutang-kutang itu telentang begitu saja dalam ember bulat berwarna biru. Detergen dengan wangi bunga dituangkan ke air bersih yang merendam kutang-kutang bekas pakai. Tangan seorang perempuan mengaduk-aduk air tersebut dan mendatangkan buih-buih sabun dengan wewangian yang semerbak menyebar menyapa hidung.

Saat yang sama, kutang-kutang turut bergerak mengikuti gelombang air. Mereka saling menabrak dan menindih satu sama lain. Meski pelan, tetap saja kutang-kutang merasa pusing.

“Aduh! Selalu begini nasib kita setiap pagi. Direndam di air, dikocok-kocok bersama sabun. Sekarang tenggelam bersama busa-busa yang baunya menyengat ini!”, ucap kutang putih brokat.

“Iya nih! Mana baunya bunga pula. Aneh sekali sih manusia. Masa kutang seperti kita disiram harum bunga. Memangnya kenapa payudara harus harum bunga? Toh yang hinggap bukan lebah, tapi mulut bau lelaki atau burungnya!”, si kutang biru muda bermotif garis menimpali.

“Sudah.. Sudah.. Jangan ribut. Ini kita sudah pusing saling bertumbukan, kalian berdua menambah pusing dengan mengoceh. Nikmati saja kita dicuci oleh tangan lembut ini. Daripada mulut kalian kemasukan air. Toh setiap habis dicuci juga kita bersih dan segar kan? Contoh kutang yang lain, mereka menikmati saja nasibnya”, kutang merah yang berukuran paling besar akhirnya angkat bicara.

Kutang-kutang akhirnya memilih untuk kompak kalem. Mereka menikmati tangan perempuan muda itu menyentuh mereka, mengelus, mengucek, dan mencelup-celupkan mereka bolak-balik. Beberapa kutang tampak meringis ketika perempuan muda itu membilas dan memeras mereka.

***

Amini adalah nama perempuan muda itu. Pekerjaannya adalah mencuci kutang. Apa yang Amini cuci setiap hari hanyalah kutang, bukan jenis pakaian lain, tidak pula celana dalam yang biasanya menjadi teman karib kutang.

Amini perempuan yang amat ayu. Wajahnya menawan, senyumannya menghentikan setiap detak jantung siapa saja yang memandang. Rambutnya sedada dan selalu dikepang dua, dengan segelintir rambut menjuntai di depan wajah yang menambah keelokannya. Hanya tangannya saja yang agak kering dan kasar akibat terlalu sering terkena detergen saat mencuci terlalu banyak kutang. Sisanya, Amini wujud dari ciptaan minim cacat cela.

Setiap hari, Amini berangkat pukul lima subuh dari gubuknya di ujung gang, pada tepian anak sungai. Ia berangkat dengan menjinjing tas kecil yang menjadi kantongnya menampung upah mencuci kutang. Dalam tas kecil tersebut juga ada minyak zaitun dalam botol kecil. Minyak itu Amini gunakan untuk menggosok tangannya setiap kali selesai mencuci kutang. Dia berharap dengan minyak itu, tangannya bisa tetap lembut. Harapan Amini memang terwujud, tapi tidak sepenuhnya.

Tempat pertama yang Amini selalu datangi adalah rumah Encik Lihe. Rumah itu menjadi salah satu tempat yang ditakuti Amini. Sebab, kutang-kutang di sana berukuran terlalu besar dan bau minyak angin. Tangan Amini selalu terasa sangat pegal dan pedas setelah mencuci kutang di rumah Encik Lihe.

Setelah selesai mencuci kutang di rumah Encik Lihe, Amini akan melanjutkan pekerjaannya di rumah Mpok Comel. Rumah Mpok Comel begitu besarnya sampai-sampai kamarnya adalah 20. Kamar-kamar itu dijadikan tempat kost khusus putri. Jadilah di rumah ini Amini mencuci banyak sekali kutang. Kutang-kutang berbagai warna, motif, dan ukuran. Kutang-kutang yang baunya sudah tercampur aduk. Tak sekadar bau parfum dan bau keringat. Ada juga bau nasi bungkus, bau teh manis, bau kopi susu, bau es jeruk, bau asem, bau ingus, bau air mata, sampai bau lendir kelamin.

Mengingat dua rumah pertama yang Amini datangi sudah memberikan banyak sekali kerjaan, biasanya Amini akan istirahat sejenak selepas dari rumah Mpok Comel. Tempat istirahat favoritnya adalah warung Bang Romli. Warung itu nyaman dan cukup luas, lengkap dengan kipas angin yang menyejukkan. Setiap kali ke sana, Bang Romli akan menyuguhkan es jeruk nipis gratis serta nasi pecel untuk Amini. Semua diberikan gratis karena Bang Romli sangat sayang pada Amini yang sudah terasa seperti anaknya sendiri.

Biasanya, Amini akan beristirahat di warung Bang Romli selama kurang lebih 1 jam. Selain makan dan minum, kadang Amini mengistirahatkan kedua matanya barang 20 menit di salah satu area lesehan di situ. Kadang kala Amini juga menumpang menonton TV. Sebelum waktu makan siang datang, Amini pasti sudah pergi untuk lanjut berpindah dari rumah ke rumah, lagi-lagi dan tentu saja, mencuci kutang-kutang yang telanjang.

Pernah suatu kali, Amini terlambat berangkat dari warung Bang Romli. Jam makan siang sudah tiba, para supir angkot, tukang ojek, dan kuli toko kelontong keburu memenuhi warung itu. Melihat keelokan Amini, tentu saja beberapa orang tersebut mulai menggoda Amini. Begitu sayangnya Bang Romli kepada Amini, lelaki penggoda tersebut malah dapat bogem mentah sampai gusinya berdarah-darah. Amini ketakutan, gemetaran, dan tak lagi-lagi ingin berada di warung Bang Romli sampai di atas jam 12 siang.

Ada sekitar empat rumah lagi yang harus Amini sambangi sebelum akhirnya dia pulang melepas ikatannya dengan kutang-kutang. Salah satunya adalah rumah Dek Jami. Rumah itu adalah rumah kesukaan Amini karena di sana kutangnya cantik-cantik, lembut, dan banyak bicara. Beberapa kutang bahkan begitu menggemaskan karena suka marah-marah sendiri setiap kali dicuci.

Ketika mereka bicara, Amini menyimak saja tanpa menyahut. Ia membiarkan kutang-kutang itu bicara tanpa tahu Amini bisa mendengarkannya. Amini takut jika kutang-kutang itu tahu, mereka akan berhenti bicara karena menganggap Amini akan mengetahui rahasia mereka.

***

Siapapun punya rahasia. Begitu juga kutang-kutang di ember cucian Amini. Rahasia itu hanya mereka yang tahu. Kamu pun tak perlu tahu apa rahasia kutang-kutang itu. Biarkan saja mereka mengomel atau bergembira setiap kali dicuci Amini. Biarlah Amini saja yang menyimak dan mengetahui rahasia kutang-kutang.

Tentunya, karena Amini anak yang baik, dia tidak akan membocorkan rahasia itu untukmu. Sama sekali tidak.

--

--