“Siksa Kubur”membuka perenungan yang semakin kabur

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
5 min readMay 24, 2024
Foto oleh Roma Kaiuk🇺🇦 di Unsplash

*tulisan ini dibuat tanggal 15 April 2024, tapi baru dipublikasikan hari ini.

Setahun belakangan aku kesulitan berpikir dengan baik, jadi tidak ada karya sama sekali yang kubuat. Berpikir tidak dibiasakan lagi, bagaimana mana menulis, bukan?

Kemarin di hari Lebaran kedua (11 April), aku pergi ke bioskop untuk menonton film Siksa Kubur selagi (mungkin) masih sepi dan masih segar. Sebagai orang yang suka menemukan rasa terhibur saat melihat hal-hal mengerikan, aku ya penasaran ingin lihat semengerikan apa Joko Anwar akan menggambarkan proses siksa kubur.

Benar-benar lebih fokus ingin lihat visualisasi kekerasan dan kengeriannya. Apalagi…Joko Anwar gitu… berdarah-darahnya kan selalu brutal.

Jadilah selepas tengah hari aku menonton film itu berbekal Chai Latte dan berondong jagung asin. Sepanjang 2 jam, aku menonton sambil menahan kencing. Bukan karena ketakutan, tapi ya karena kebanyakan ngopi dari beberapa hari lalu.

Sebagai sebuah penafian, aku seorang non-muslim dan aku tidak sedang membuat ulasan film. Aku tidak memberikan penilaian atau kesan terkait film horor religi berdurasi 2 jam itu. Aku pada akhirnya lebih banyak merenungi cerita film Siksa Kubur, berpikir panjang…. mencoba menalarkan kisah hidup Sita sebagai karakter utama.

Gatel banget rasanya pikiran soal ini setelah nonton film satu itu.

Jadi jelas, ini personal dan tidak bisa jadi patokan kebenaran atau kesalahan ya. Cuma perenungan. Titik.

Sekilas cerita, film Siksa Kubur berkelindan pada kehidupan Sita. Lebih tepatnya sih ambisi Sita untuk membuktikan sendiri bahwa Siksa Kubur itu tidak ada dan agama hanya menakut-nakuti umatnya.

Ambisi itu sendiri lahir dari pengalaman traumatis Sita saat kecil. Orang tuanya mati hancur berantakan akibat bom bunuh diri seseorang yang dikatakan mendengarkan suara Siksa Kubur.

Pelaku bom bunuh diri ini konon jadi percaya dan takut dengan siksa kubur. Ketakutan dan “iman”nya membuat si pelaku lebih memilih untuk melakukan bom bunuh diri di sebuah kedai donat asal Amerika demi mencapai mati syahid menjadi syuhada (silakan cari sendiri mengenai relevansi ini karena aku sebagai non-muslim tidak punya kredibilitas untuk menjelaskan).

Premis utama itu diaduk-aduk di dalam film melalui berbagai tokoh dan kejadian.

Dulu-dulu kayaknya aku kebanyakan nonton film, baca buku, dan berpikir. Jadinya posisiku saat menonton film ini sudah cukup penuh sehingga bentuk prosesku terhadap film ini malah lebih pada sebuah kontemplasi dan diskursus.

Sita ingin membuktikan siksa kubur itu tidak nyata dan hanya akal-akalan agama untuk menakut-nakuti manusia. Ketika selesai menonton film, aku malah mendapatkan penegasan bahwa pemikiran Sita itu valid sekali.

Sebab, kisah dipuncaki dengan Sita yang akhirnya melihat sendiri siksa kubur dari seorang pendosa besar. Saking sadisnya siksa itu, dia sampai merapal doa tobat, meminta ampun dan mengakui diri percaya akan Siksa Kubur. Ia ketakutan hebat dan memohon untuk dibantu bertobat.

Setelah adegan intens siksa kubur itu, Sita dikeluarkan dari liang kubur oleh Adil (kakaknya). Berdua mereka lari ketakutan, lalu ada suara tegas mengucap “Man Rabukka” (siapa Tuhanmu). Layar gelap total dan sekelebat adegan pendek yang memancing sebuah intepretasi terbuka menutup film Siksa Kubur.

Heh? Udah selesai? Lalu… apa?

Akhirnya Sita menjadi percaya bahwa Siksa Kubur itu ada, lalu apa? Aku sebagai penerima cerita mendapat pencerahan apa?

Cerita Sita rasanya menegaskan betul bahwa siksa kubur itu ada. Di sisi lain, sebagai orang yang mungkin memang rentan salah kaprah, aku menangkap kesan bahwa pada akhirnya Sita adalah korban paling apes. Sudah trauma karena orang tua meledak di depan matanya, ketika dia mau mencari jawaban eh jawaban yang dia dapat pada akhirnya menyudutkan dia.

Kok gitu?

Bagi aku si orang awam, pola pikirku mencoba sederhana. Bahwa orang jahat, ya dia lah yang harusnya dapat karma paling buruk. Di cerita Sita, pengebom adalah tokoh jahat karena membawa dalih keyakinan pada ajaran agama untuk menjustifikasi pembantaian pada orang-orang sekitar yang tidak berhubungan dengan dia.

Tokoh pengembom ini tuh “PERCAYA PADA SIKSA KUBUR”, BAHKAN PERCAYA SEKALI lho!

Seiring berjalannya cerita, aku melihat Sita sebagai pihak yang dibabakbeluri. Pada akhirnya dia yang bertobat karena menyaksikan sendiri bahwa siksa kubur itu nyata. Dia yang dianggap paling berdosa karena meragukan kekuasaan Ilahi melalui agama dan … siksa kubur. Dia lebih berdosa daripada orang yang mengebom keluarganya tanpa tedeng aling-aling. Lebih berdosa dari seorang cabul bertopeng altruisme.

Dalam cerita Sita, penonton menyaksikan bagaimana Sita ditelan bulat-bulat oleh skeptisme dia sendiri. Ada asumsi yang mengatakan bahwa pada akhirnya separuh akhir film sebenarnya menggambarkan siksa kubur Sita sendiri. Bahwa ia mati di kuburan Pak Wahyu, lalu mengalami siksa kubur.

Hanya saja, siksa kubur yang dialami Sita lebih menyerupai apa yang dijelaskan Pak Wahyu. Bahwa seseorang akan disiksa dengan ketakutan terbesarnya. Dia akan dihadapkan pada ketakutan terbesarnya.

Apa ketakutan Sita?

Dari apa yang disampaikan dalam monolog Pak Wahyu, ketakutan terbesar Sita adalah bila keraguannya terhadap siksa kubur itu salah. Bahwa siksa kubur pada akhirnya benar-benar ada.

Dari pandanganku sendiri, ketakutan besar lain Sita adalah kegagalannya dalam membuktikan bahwa agama hanya menakut-nakuti orang lain dan mendapati bahwa kematian orang tuanya serta penderitaan yang dialami Sita dan Adil adalah kesalahan Sita. Sita yang terlalu ingin melawan keburukan (perundungan, pencurian, pencabulan, dan pemaksaan keyakinan).

Maka kemudian setengah ujung akhir cerita menggambarkan kejadian-kejadian yang memvalidasi ketakutan-ketakutan itu.

Ini semua soal trauma

Dalam kontemplasiku terhadap cerita Sita, aku juga menyaring esensi alternatif. Aku memaknai cerita hidup Sita ini sebagai episode terapi Sita menghadapi PTSD (Post Traumatic Sindrom Disorder/Sindrom Gangguan Pasca Trauma).

Sita mengalami PTSD setelah ayah ibunya mati terempas bom bunuh diri orang yang “salah memaknai ajaran agamanya”. Ia menyalahkan agama yang dianggapnya membuat si pelaku bom bunuh diri menempuh jalan pintas yang merugikan orang lain.

Dari situ Sita terobsesi untuk membuktikan bahwa pelaku bom bunuh diri itu hanyalah seorang penjahat gila yang mabuk agama, bukan seorang pahlawan agama yang begitu taatnya. Bahwa SIKSA KUBUR ITU BOHONG.

Sita marah karena orang-orang jahat, termasuk Pak Wahyu yang melecehkan dan menghancurkan kehidupan Sita dan Adil dan teman-teman pesantrennya, dengan kedok altruisme dan keagamaan, tidak mendapatkan hukuman yang sepadan. Kenapa malah ayah ibunya-yang orang baik-yang harus mati mengenaskan secara tiba-tiba pula.

PTSD Sita membuat ia melakukan hal-hal gila. Puncaknya dengan ikut dikubur bersama Pak Wahyu untuk melihat siksa kubur. Kemudian dalam proses siksa kubur, banyak memori dan halusinasi Sita yang seolah menjadi jawaban untuk keraguan dan rasa bersalah Sita.

Mendekati bagian “siksa kubur”, Sita menghadapi figur ayah ibunya untuk meminta maaf dan akhirnya bisa melepas ganjalan hatinya. Di sini bisa dibilang menjadi sebuah momen closure atau resolusi bagi trauma Sita atas kejadian yang menimpa ayah ibunya.

Kesimpulan besarnya adalah trauma itu sendiri lebih menyiksa. Ahahaha!

Hal bodoh yang juga muncul di pikiranku adalah itu si tukang bom percaya lho siksa kubur. Terus gimana itu? Apa pengadilan buat dia? Kenapa pihak yang lebih harus berobat seolah adalah orang yang tidak percaya agama atau ajarannya? Bagaimana dengan si pengebom itu? Ganjaran apa yang ia dapatkan? Pengadilan apa yang harusnya ia jalani? Apa penyiratan yang bisa mencerahkan orang-orang lain untuk tobat dan tidak bertindak “jahat dengan dalih agama” seperti si pelaku bom bunuh diri itu?

Gimana kalau akhirnya ada juga orang yg berpikir sama “ah aku ngebom kafir aja biar nggak kena siksa kubur”. Toh dia percaya siksa kubur itu ada. Nggak kehitung dosa dong. Emang begitu cara berpikirnya?

Jadi yang paling penting adalah percaya?

Dan yang paling salah/dosa adalah ragu?

Tuh kan, perenunganku semakin kabur.

--

--