Suara Rakyat, Suara Wiji Thukul
“maka akan kuceritakan kepada semua mahkluk
bahwa sepanjang umurku dulu
telah kuletakkan rasa takut itu ditumitku
dan kuhabiskan hidupku
untuk menentangmu
hei, penguasa zalim”
Sajak di atas adalah penggalan penutup dari “Puisi Sikap” karya Wiji Thukul. Buatku, sajak ini mewakili keutuhan diri penyair rakyat kelahiran 26 Agustus 1963 ini. Sepanjang hidup sampai hilangnya di tahun 1998, Wiji Thukul melahirkan banyak sekali puisi-puisi perjuangan.
Bisa dibilang, Thukul adalah penyair rakyat. Buah pikirnya yang tertuang dalam tulisan berbait-bait selalu bicara kehidupan rakyat, utamanya rakyat kecil. Apa yang Thukul bagikan dalam puisinya selalu adalah soal masalah hidup orang kecil serta semangat perlawanan mereka.
Aku menemui karya Wiji Thukul pertama kalinya di usia sekolah. “Kucing, ikan asin, dan aku” kutemukan di dalam halaman buku pelajaran Bahasa Indonesia. Saat pertama kali aku membaca puisi itu, aku tertawa kecil. Aku mengira Wiji Thukul adalah seorang anak SD yang sedang curhat karena kesal ikan asinnya digondol kucing.
Setelah semakin rajin baca buku dan rajin memburu informasi di internet, barulah aku mengenal sosok Wiji Thukul lebih dalam. Akhirnya aku tahu Wiji Thukul adalah seorang penyair rakyat yang suaranya begitu menggelegar ke mana-mana. Suara dan buah pikirnya begitu ditakuti penguasa sampai akhirnya dia harus dihilangkan paksa. Saat mengetahui kabar dirinya, aku malah menjadi sedih karena mengetahui bahwa penyair tersebut telah hilang bahkan di saat aku baru tahu satu sajaknya dulu.
***
Karena baru berkenalan dengan karya Wiji Thukul di usia sekolah, maka tidak mudah bagiku untuk mendapatkan karya Wiji Thukul maupun bacaan tentangnya. Baru ketika sudah bekerja dan berpenghasilan sendiri lah aku bisa membeli beberapa buku yang memuat karya Wiji Thukul maupun yang menceritakan tentang hidup Wiji Thukul itu sendiri.
Salah satu buku yang akhirnya kumiliki adalah Nyanyian Akar Rumput, Kumpulan Lengkap Puisi Wiji Thukul. Buku ini kutemukan di rak toko buku Gramedia di Jakarta tahun 2014. Begitu melihatnya, aku langsung membeli buku tersebut tanpa berpikir panjang.
Nyanyian Akar Rumput merupakan buku kumpulan puisi lengkap Wiji Thukul. Buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama ini memuat ratusan karya Wiji Thukul sepanjang usianya. Bisa dibilang, buku ini memuat karya lengkap Wiji Thukul sehingga sangat cocok dimiliki oleh orang yang ingin mengenali dan memahami karya Wiji Thukul secara penuh.
Aku lupa persisnya berapa harga buku tersebut saat kubeli (yang jelas lebih murah dari buku puisi Wiji Thukul lainnya yang sudah semakin langka. Misalnya, Aku ingin Jadi Peluru). Aku langsung membaca habis buku itu setelah membelinya.
Saat itu, aku mengakui bahwa aku membaca sekilas saja. Jadi banyak puisi-puisi yang terlewat tanpa kupahami maknanya, tanpa kuingat kata-katanya. Apalagi buku tersebut cukup tebal.
Nah, setelah lewat dari 5 tahun, aku akhirnya membaca ulang buku yang selalu aku pajang di lemari buku tapi jarang kusentuh ini. Aku akhirnya membaca buku ini dengan saksama. Lucunya, ketika aku mulai membaca buku ini dengan saksama, kutemukan beberapa salah ketik di dalamnya. Agar miris sih mengingat buku ini diterbitkan oleh penerbit besar.
Dalam buku setebal 248 halaman ini, kita akan menemukan suara rakyat yang terwakilkan oleh seorang penyair pelo. Semua puisi yang ada di dalam situ, berisi curahan hati rakyat kecil. Itulah mengapa kukatakan bahwa suara rakyat adalah suara Wiji Thukul.
Wiji Thukul menuangkan banyak kisah kehidupan rakyat kecil dalam sajaknya. Buruh pabrik, petani, tukang becak, seorang ibu, seorang anak, seorang istri, dan seorang suami, semua bersuara melalui untaian kata-kata Wiji Thukul yang sederhana dan mudah dipahami.
Terbagi dalam 7 bab, ada ratusan puisi Wiji Thukul dalam Nyanyian Akar Rumput. Ada curahan hati rakyat kecil, suara perlawanan terhadap tirani, kekhawatiran terhadap pembangunan, serta kepedulian Wiji Thukul pada ibu (bisa ibu yang sebenarnya, bisa ibu pertiwi).
Rata-rata puisi di dalam buku ini begitu panjang. Aku mengagumi bagaimana Wiji Thukul selalu menutup puisinya dengan pernyataan yang tegas dan mantap. Terasa sekali puisi ini dibuat untuk dibacakan dengan lantang, dengan semangat perlawanan. Ah jadi terbayang saat Wiji Thukul ngamen puisi ke sana sini.
Berikut beberapa pernyataan yang sangat kusukai dari puisi-puisi Wiji Thukul dalam buku Nyanyian Akar Rumput. Rata-rata adalah pernyataan dalam penutup yang begitu tegas dan berani.
…
kami rumput
butuh tanah
dengar!
ayo gabung ke kami
biar jadi mimpi buruk presiden
(Nyanyian Akar Rumput)
…
jika kau tak berani lagi bertanya
kita akan jadi korban keputusan-keputusan
jangan kau penjarakan ucapanmu
jika kau menghamba pada ketakutan
kita akan memperpanjang barisan perbudakan
(Ucapkan kata-katamu)
…
ini tanah airmu
di sini kita bukan turis
(Sajak kepada Bung Dadi)
…
ini namanya sama rasa sama rasa
ini namanya setiap warga negara mendapatkan haknya
semua yang sakit diberi obat yang sama!
(Reportase dari puskesmas)
…
maka apabila becak pusaka keluarga pulang tanpa membawa uang
simbok akan kembali mengajak berkelahi bapak
(Nyanyian abang becak)
…
alamat rumah kami punya
tapi sayang
kami butuh tanah
(Sajak tapi sayang)
apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli
apa guna banya baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
…
(di bawah selimut kedamaian palsu)
…
kami sudah bosan
dengan model urip kayak gini
tegasnya
aku menuntut perubahan
(Aku menuntut perubahan)
…
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di mana pun tirani harus tumbang!
(Bunga dan tembok)
…
apakah anak adalah tabungan
bisa sesuka hati dipecah kapan saja
apakah kelahiran cuma urusan untung dan laba
tumpukan budi yang harus dibayar segera?
…
(Ibu)
semua bengkok
mana yang lurus?
juga hukum
(Hukum)
Derita sudah matang, bung
bahkan busuk
tetap ditelan?
(Busuk)
…
kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
dan aku jarang pulang
katakan
ayahmu tak ingin jadi pahlwan
tapi dipaksa jadi penjahat
oleh penguasa
yang sewenang-wenang
kalau mereka bertanya
“apa yang dicari?”
jawab dan katakan
dia pergi untuk mermapok
haknya
yang dirampas dan dicuri
(Catatan)
…
kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis
(tanpa judul)
…
aku tak akan mengakui kesalahanku
karena berpikir merdeka bukanlah kesalahan
bukan dosa, bukan aib, bukan cacat
yang harus disembunyikan
kubaca koran
kucari apa yang tidak tertulis
kutonton televisi
kulihat apa yang tidak diperlihatkan
kukibas-kibaskan pidatomu itu
dalam kepalaku hingga rontok
maka terang benderanglah
ucapan penguasa selalu dibenarkan
laras senapan!
tapi dengarlah
aku tidak akan minta ampun
pada kemerdekaan ini
(Merontokkan pidato)
…
penjara sekalipun
tak bakal mampu
mendidikku jadi patuh
(Puisi menolak patuh)
…
kami satu: buruh
kami punya tenaga
jika kami satu hati
kami tahu mesin berhenti
sebab kami adalah nyawa
yang menggerakkannya
(Makin terang bagi kami)
…
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!
(Penyair)
…
aku ditahan bukan dipenjara
aku disel bukan dibui
sebab kehidupan sehari-hari
adalah penjara nyata rakyat negeri ini
(19)
Puisi-puisi Wiji Thukul adalah perekam sejarah negerinya. Puisi tersebut merekam diorama kekejaman pemerintahan pada masa itu terhadap kebebasan berpendapat dan perjuangan hidup orang kecil.
Sekarang zaman sudah semakin maju, tentunya masalah-masalah sudah ikut baru. Siapakah Wiji Thukul selanjutnya di era ini? Apakah kalau ada, bakalan dihilangkan lagi?