Suara Rakyat, Suara Wiji Thukul

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
5 min readFeb 8, 2021

“maka akan kuceritakan kepada semua mahkluk

bahwa sepanjang umurku dulu

telah kuletakkan rasa takut itu ditumitku

dan kuhabiskan hidupku

untuk menentangmu

hei, penguasa zalim”

Sajak di atas adalah penggalan penutup dari “Puisi Sikap” karya Wiji Thukul. Buatku, sajak ini mewakili keutuhan diri penyair rakyat kelahiran 26 Agustus 1963 ini. Sepanjang hidup sampai hilangnya di tahun 1998, Wiji Thukul melahirkan banyak sekali puisi-puisi perjuangan.

Bisa dibilang, Thukul adalah penyair rakyat. Buah pikirnya yang tertuang dalam tulisan berbait-bait selalu bicara kehidupan rakyat, utamanya rakyat kecil. Apa yang Thukul bagikan dalam puisinya selalu adalah soal masalah hidup orang kecil serta semangat perlawanan mereka.

Aku menemui karya Wiji Thukul pertama kalinya di usia sekolah. “Kucing, ikan asin, dan aku” kutemukan di dalam halaman buku pelajaran Bahasa Indonesia. Saat pertama kali aku membaca puisi itu, aku tertawa kecil. Aku mengira Wiji Thukul adalah seorang anak SD yang sedang curhat karena kesal ikan asinnya digondol kucing.

Setelah semakin rajin baca buku dan rajin memburu informasi di internet, barulah aku mengenal sosok Wiji Thukul lebih dalam. Akhirnya aku tahu Wiji Thukul adalah seorang penyair rakyat yang suaranya begitu menggelegar ke mana-mana. Suara dan buah pikirnya begitu ditakuti penguasa sampai akhirnya dia harus dihilangkan paksa. Saat mengetahui kabar dirinya, aku malah menjadi sedih karena mengetahui bahwa penyair tersebut telah hilang bahkan di saat aku baru tahu satu sajaknya dulu.

***

Karena baru berkenalan dengan karya Wiji Thukul di usia sekolah, maka tidak mudah bagiku untuk mendapatkan karya Wiji Thukul maupun bacaan tentangnya. Baru ketika sudah bekerja dan berpenghasilan sendiri lah aku bisa membeli beberapa buku yang memuat karya Wiji Thukul maupun yang menceritakan tentang hidup Wiji Thukul itu sendiri.

Salah satu buku yang akhirnya kumiliki adalah Nyanyian Akar Rumput, Kumpulan Lengkap Puisi Wiji Thukul. Buku ini kutemukan di rak toko buku Gramedia di Jakarta tahun 2014. Begitu melihatnya, aku langsung membeli buku tersebut tanpa berpikir panjang.

Nyanyian Akar Rumput merupakan buku kumpulan puisi lengkap Wiji Thukul. Buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama ini memuat ratusan karya Wiji Thukul sepanjang usianya. Bisa dibilang, buku ini memuat karya lengkap Wiji Thukul sehingga sangat cocok dimiliki oleh orang yang ingin mengenali dan memahami karya Wiji Thukul secara penuh.

Aku lupa persisnya berapa harga buku tersebut saat kubeli (yang jelas lebih murah dari buku puisi Wiji Thukul lainnya yang sudah semakin langka. Misalnya, Aku ingin Jadi Peluru). Aku langsung membaca habis buku itu setelah membelinya.

Saat itu, aku mengakui bahwa aku membaca sekilas saja. Jadi banyak puisi-puisi yang terlewat tanpa kupahami maknanya, tanpa kuingat kata-katanya. Apalagi buku tersebut cukup tebal.

Nah, setelah lewat dari 5 tahun, aku akhirnya membaca ulang buku yang selalu aku pajang di lemari buku tapi jarang kusentuh ini. Aku akhirnya membaca buku ini dengan saksama. Lucunya, ketika aku mulai membaca buku ini dengan saksama, kutemukan beberapa salah ketik di dalamnya. Agar miris sih mengingat buku ini diterbitkan oleh penerbit besar.

Dalam buku setebal 248 halaman ini, kita akan menemukan suara rakyat yang terwakilkan oleh seorang penyair pelo. Semua puisi yang ada di dalam situ, berisi curahan hati rakyat kecil. Itulah mengapa kukatakan bahwa suara rakyat adalah suara Wiji Thukul.

Wiji Thukul menuangkan banyak kisah kehidupan rakyat kecil dalam sajaknya. Buruh pabrik, petani, tukang becak, seorang ibu, seorang anak, seorang istri, dan seorang suami, semua bersuara melalui untaian kata-kata Wiji Thukul yang sederhana dan mudah dipahami.

Terbagi dalam 7 bab, ada ratusan puisi Wiji Thukul dalam Nyanyian Akar Rumput. Ada curahan hati rakyat kecil, suara perlawanan terhadap tirani, kekhawatiran terhadap pembangunan, serta kepedulian Wiji Thukul pada ibu (bisa ibu yang sebenarnya, bisa ibu pertiwi).

Rata-rata puisi di dalam buku ini begitu panjang. Aku mengagumi bagaimana Wiji Thukul selalu menutup puisinya dengan pernyataan yang tegas dan mantap. Terasa sekali puisi ini dibuat untuk dibacakan dengan lantang, dengan semangat perlawanan. Ah jadi terbayang saat Wiji Thukul ngamen puisi ke sana sini.

Berikut beberapa pernyataan yang sangat kusukai dari puisi-puisi Wiji Thukul dalam buku Nyanyian Akar Rumput. Rata-rata adalah pernyataan dalam penutup yang begitu tegas dan berani.

kami rumput

butuh tanah

dengar!

ayo gabung ke kami

biar jadi mimpi buruk presiden

(Nyanyian Akar Rumput)

jika kau tak berani lagi bertanya

kita akan jadi korban keputusan-keputusan

jangan kau penjarakan ucapanmu

jika kau menghamba pada ketakutan

kita akan memperpanjang barisan perbudakan

(Ucapkan kata-katamu)

ini tanah airmu

di sini kita bukan turis

(Sajak kepada Bung Dadi)

ini namanya sama rasa sama rasa

ini namanya setiap warga negara mendapatkan haknya

semua yang sakit diberi obat yang sama!

(Reportase dari puskesmas)

maka apabila becak pusaka keluarga pulang tanpa membawa uang

simbok akan kembali mengajak berkelahi bapak

(Nyanyian abang becak)

alamat rumah kami punya

tapi sayang

kami butuh tanah

(Sajak tapi sayang)

apa guna punya ilmu

kalau hanya untuk mengibuli

apa guna banya baca buku

kalau mulut kau bungkam melulu

(di bawah selimut kedamaian palsu)

kami sudah bosan

dengan model urip kayak gini

tegasnya

aku menuntut perubahan

(Aku menuntut perubahan)

suatu saat kami akan tumbuh bersama

dengan keyakinan engkau harus hancur!

dalam keyakinan kami

di mana pun tirani harus tumbang!

(Bunga dan tembok)

apakah anak adalah tabungan

bisa sesuka hati dipecah kapan saja

apakah kelahiran cuma urusan untung dan laba

tumpukan budi yang harus dibayar segera?

(Ibu)

semua bengkok

mana yang lurus?

juga hukum

(Hukum)

Derita sudah matang, bung

bahkan busuk

tetap ditelan?

(Busuk)

kalau kelak anak-anak bertanya mengapa

dan aku jarang pulang

katakan

ayahmu tak ingin jadi pahlwan

tapi dipaksa jadi penjahat

oleh penguasa

yang sewenang-wenang

kalau mereka bertanya

“apa yang dicari?”

jawab dan katakan

dia pergi untuk mermapok

haknya

yang dirampas dan dicuri

(Catatan)

kekejaman kalian

adalah bukti pelajaran

yang tidak pernah ditulis

(tanpa judul)

aku tak akan mengakui kesalahanku

karena berpikir merdeka bukanlah kesalahan

bukan dosa, bukan aib, bukan cacat

yang harus disembunyikan

kubaca koran

kucari apa yang tidak tertulis

kutonton televisi

kulihat apa yang tidak diperlihatkan

kukibas-kibaskan pidatomu itu

dalam kepalaku hingga rontok

maka terang benderanglah

ucapan penguasa selalu dibenarkan

laras senapan!

tapi dengarlah

aku tidak akan minta ampun

pada kemerdekaan ini

(Merontokkan pidato)

penjara sekalipun

tak bakal mampu

mendidikku jadi patuh

(Puisi menolak patuh)

kami satu: buruh

kami punya tenaga

jika kami satu hati

kami tahu mesin berhenti

sebab kami adalah nyawa

yang menggerakkannya

(Makin terang bagi kami)

jika aku menulis dilarang

aku akan menulis dengan

tetes darah!

(Penyair)

aku ditahan bukan dipenjara

aku disel bukan dibui

sebab kehidupan sehari-hari

adalah penjara nyata rakyat negeri ini

(19)

Puisi-puisi Wiji Thukul adalah perekam sejarah negerinya. Puisi tersebut merekam diorama kekejaman pemerintahan pada masa itu terhadap kebebasan berpendapat dan perjuangan hidup orang kecil.

Sekarang zaman sudah semakin maju, tentunya masalah-masalah sudah ikut baru. Siapakah Wiji Thukul selanjutnya di era ini? Apakah kalau ada, bakalan dihilangkan lagi?

--

--