Tiada Ojek di Paris, Sebuah Obrolan Urban yang Masih Relevan

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
6 min readJan 4, 2021

Jakarta adalah ibu kota dengan gantungan cita-cita yang tinggi sekali. Meski demikian tinggi hingga seolah tak tergapai, setiap harinya jutaan orang masih tetap mendambakan kota ini. Mereka merelakan diri meninggalkan kampung halaman untuk bisa mengadu nasib di ibu kota yang konon lebih jahat dari ibu tiri.

Bagiku, Jakarta adalah nama yang punya kisah tak terhingga. Membicarakannya sampai habis akan memakan waktu yang sangat panjang. Aku lahir di kota ini. Aku sempat meninggalkannya selama belasan tahun, untuk kemudian kembali menjadikannya tempat mengadu nasib.

Kisah Jakarta juga dibicarakan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya Tiada Ojek di Paris. Buku yang terbit tahun 2015 ini merupakan kumpulan esai Seno yang ia sebut sebagai Obrolan Urban. Obrolan urban yang secara khusus membicarakan Jakarta, si kota impian, dengan manusianya, si Homo Jakartensis.

Dalam buku setebal 207 halaman ini, Seno Gumira Ajidarma membicarakan Jakarta dari berbagai sudut pandang. Ia menyasar orangnya, jalanannya, masalah sosialnya, sejarahnya, termasuk juga gaya hidupnya.

Obrolan Seno dalam buku Tiada Ojek di Paris merupakan kumpulan esai yang ia buat sepanjang tahun 2000 – 2013. Meski mungkin beberapa tulisan usianya sudah mencapai satu dekade lebih, relevansinya masih terasa sampai hari ini.

Aku mulai membaca buku ini menjelang tutup tahun 2020. Membaca buku ini membawaku mengenali Jakarta secara lebih dalam dan lebih menyentil. Banyak sekali isu-isu yang aku (sebagai orang yang lahir dan menua di Jakarta) hadapi sendiri, sehingga aku beberapa kali tertawa saat membaca.

Beberapa tulisan menarik dalam buku tersebut akan kusarikan sebagai berikut:

Jakarta adalah kota impian. Siapa pun yang datang ke Jakarta untuk pertama kalinya, pasti telah memiliki imaji di dalam kepalanya tentang bagaimanakah Jakarta itu (Jakarta yang Sebenarnya, hal. 191 – 193). Eksistensi Jakarta dalam kepala setiap orang yang umumnya berada dalam hegemoni Jakarta akan memandang Jakarta sebagai “pusat orientasi, sumber acuan, kriteria kemajuan”.

Bagi Seno, Jakarta memiliki sisi lain yang juga berhak diketahui orang. Sisi tersebut bukan kemegahan dan kemajuan, melainkan kekumuhan dan kemunduran yang bisa kita lihat dari tinja mengambang di got yang mampet, jalan yang berlubang, dan kendaraan yang merayap sesak di tengah kemacetan. Dalam kontradiksi ini, Seno tetap merasa setiap orang berhak untuk menciptakan wacananya sendiri tentang Jakarta.

Mungkinkah kita bisa mengenali seseorang dengan pasti di kota seperti Jakarta? Hal itu diungkapkan Seno (Mengenal Orang Jakarta: Mungkinkah?, hal. 85 – 87) sebagai sebuah pertanyaan reflektif bagi kita. Dalam tulisannya, Seno membahas bagaimana mengenal seseorang di Jakarta bisa menjadi sesuatu yang sulit mengingat kita bahkan mungkin belum mengenal dengan baik orang-orang di sekitar kita.

Menjadi orang Jakarta, menurut Seno, banyak konsekuensinya (Dari Jakarta…., hal. 129 – 131). Salah satunya adalah tidak diakuinya Jakarta sebagai identitas kedaerahan. Selalu ada stereotip bahwa “orang Jakarta itu bukan orang Jakarta” sehingga setiap kali orang menjawab bahwa dirinya dari Jakarta, lawan bicara biasanya akan bertanya lagi dari mana asal aslinya orang tersebut (seolah tidak ada orang yang benar-benar asli dari Jakarta).

Selain itu, menjadi orang Jakarta berarti akan membuat seseorang dipandang lebih kaya, lebih tahu, lebih dekat dengan kekuasaan, lebih modern, lebih superior, dan segala sesuatu yang lebih lainnya. Kelebihan ini menjadikan si orang Jakarta harus siap dicurigai, dikritisi, dan dibantai, betapapun seriusnya niat dan jernihnya pemikiran orang tersebut.

Dalam Jakarta Kosong (hal. 167 – 169), Seno menyatakan bahwa “tinggal berpuluh-puluh tahun di Jakarta tidak pernah cukup untuk disebut sebagai orang Jakarta”. Seseorang yang menyebut dirinya orang Jakarta tetap harus memiliki identitas kedaerahan lain, misalnya asal Jakarta–asli Yogyakarta. Dalam hal identitas kedaerahan tersebut, seseorang ini harus tetap memahami kebudayaan daerahnya. Orang tak berhak untuk tumbuh di Jakarta tanpa mengenal dan menghayati sepenuhnya keberadaan asal daerah keluarga mereka. Tak heran jika kemudian “Jakarta kosong” setiap hari raya Lebaran dan musim liburan tiba.

Berbicara mengenai dimensi ruang di Jakarta, keluasan kota ini tidak serta merta bermakna sesungguhnya. Kota ini boleh jadi ukurannya begitu luas jika mengacu pada peta. Namun, secara teoritis menjadi begitu sempit karena wilayah yang luas tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduknya, ditambah dengan kegagalan pengelolaan ruang (Dimensi Ruang: Kisah-kisah Jakarta, hal. 179 – 183).

Dalam memaknai ruang, Jakarta menjadi sebuah kota seribu dimensi. Ruang luas bagi Jakarta tidak selalu menjadi ruang kebebasan, sementara ruang terbatas tidak membatasi dinamikanya. Ada keluarga yang tinggal di dalam sepetak warung dan merasa berkecukupan, sementara orang lain yang tinggal di komplek perumahan mewah merasa terkekang karena keluasan semu (rumah dengan pagar yang tinggi, sistem keamanan ketat, dll.).

Hal tersebut membawa kita pada pemahaman bahwa “sebuah rumah adalah rumah jiwa” dengan kenyamanan yang ditentukan oleh jiwa penghuninya, bukan dari perbandingan luas tanah dengan berapa jumlah manusianya.

Tak dapat dimungkiri, Jakarta adalah kota yang sibuk. Orang menjalani hari-harinya dengan rutinitas yang “merobot dan memesinkan manusia”. Tak hanya pegawai, wirausahawan pun tidak bisa melepaskan diri dari perangkat rutinitas jam kerja.

Di Jakarta, pagi hari adalah awal ketakutan bersama di mana semua orang merasa takut terlambat sekolah atau bekerja karena kemacetan (Paranoia, hal. 141 – 143) . Ketakutan itu terus bertumbuh menjadi takut konduitenya buruk, takut di-PHK, takut tidak bisa mencari nafkah lagi, dan seterusnya.

Menurut Seno sendiri, Homo Jakartensis itu memang hidup penuh dengan ketakutan. Takut gagal, takut menderita, takut tidak dihargai, takut kesepian, takut dikibuli, dan seterusnya. Bahkan di rumah sendiri saja, orang merasa takut dirampok, takut diakali pembantu, takut dibohongi, dan seterusnya.

Hal tersebut konon hadir karena “dunia urban Jakarta” adalah tempat hubungan manusia lebih banyak dilandasi kepentingan (tanpa kepentingan bersama maka tidak perlu ada persaudaraan). Dalam dunia demikian, manusia menjadi merasa amat sangat sendirian. Fenomena inilah yang disebut dengan keterasingan dalam masyarakat modern (the lonely crowd).

***

Kondisi Jalanan Jakarta bisa dibilang memiliki ciri khasnya sendiri. Kota ini dikenal dengan kemacetannya yang tak berujung. Dengan segala pembangunan infrastruktur lalu lintas di jalanan yang digencarkan pemerintah, kota ini tetap tidak bisa lepas dari kemacetan.

Dalam tulisan Manusia Jakarta, Manusia Mobil (hal. 21 – 23), Seno menghitung jumlah waktu yang kita habiskan di perjalanan di Jakarta selama masa kerja. Ditotal-total, kita menghabiskan waktu kurang lebih 10 tahun untuk perjalanan pulang pergi bekerja. Betapa mengejutkannya!

Kemacetan yang ada di Jakarta menjadikan mobil sebagai dunia ketiga setelah rumah dan tempat kerja. Selama terjebak dalam kemacetan di perjalanannya menuju tempat kerja, orang melakukan berbagai aktivitas di dalam mobilnya. Ada yang makan, berdandan, membaca koran, membuka gawai untuk memulai pekerjaan sebelum waktunya, mendengarkan musik tanpa diprotes orang serumah, hingga melakukan wawancara. Fenomena ini menjadikan mobil sebagai ruang privat baru bagi manusia Jakarta.

Berbicara soal jalanan Jakarta, tentu tak lepas dari membicarakan tol. Dalam membahas soal jalan tol, Seno mengambil fokus pada ekonomi moral. Melalui esai Meski Hanya Rp500,-, (hal. 73 – 75), Seno menceritakan pandangannya tentang penjaga gerbang tol yang sudah ahli dalam menghitung kembalian. Suatu ketika, ia mendapat pengalaman mengecewakan di mana seorang petugas tol memberikan kembalian kurang padahal orang itu tahu ia kelebihan membayar.

Dari pengalaman itu, Seno ingin menjelaskan sebuah bentuk korupsi kecil yang pada akhirnya menjadi besar jika dilakukan secara sistemik dan akumulatif. Meski yang dikorupsi hanya uang receh, jika terakumulasi tentu bisa menjadi jutaan bahkan milyaran. Aku jadi teringat dengan korupsi bansos Rp10.000,- yang baru-baru ini terjadi.

Begitu peliknya kehidupan di Jakarta, maka akhir pekan diharapkan menjadi hari selingan yang memberikan penghiburan. Menariknya, Seno menggambarkan betapa hari selingan di Jakarta pun akhirnya menjadi rutinitas (Mahaselingan, hal. 137 – 139).

Dalam dua hari yang biasanya disebut sebagai hari libur itu, Homo Jakartensis akan mendatangi tempat wisata yang itu-itu saja. Keliling dari mal ke mal lagi. Rekreasi yang seharusnya mempersembahkan kreasi pada akhirnya menjadi “konsumsi: menelan, menelan, dan menelan”.

Ketidakmampuan orang untuk keluar dari selingan yang rutin itu melahirkan yang namanya mahaselingan, yakni hiburan gila-gilaan dalam semangat work hard play hard. banyak uang tetapi kurang ide.

Itulah Jakarta. Betapa ripuhnya.

Sebenarnya masih banyak lagi tulisan menarik yang bisa kubahas di sini. Tapi kok ya rasanya menjadi panjang sekali jika kubahas semuanya. Adapun jika kubahas semuanya, maka tulisan ini bisa menjadi buku baru lagi dong?

Jadi, kusudahi sampai di sini dulu.

--

--