Triangle of Sadness, Sebuah Satir yang Jenaka Menganiaya Harga Diri Si Kaya

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
7 min readDec 15, 2022
Sumber foto: Twitter Curzon Film.

Akhir pekan dan bioskop adalah dua hal yang tidak pernah bersatu pada sepanjang hidupku. Aku paling menghindari nonton di bioskop di akhir pekan. Apalagi malam-malam.

Alasannya jelas: tiketnya mahal dan pasti ramai. Sudah keluar duit lebih banyak, tapi kita harus nonton dalam suasana yang lebih sesak dan terbatas. Apa yang bisa kita nikmati dari situ? Mending goleran di rumah saja, nonton film lama sambil minum kopi panas dan makan keripik kentang.

Nah, di akhir bulan November kemarin, ternyata dua hal tadi bisa bersatu dengan seru. Alfons menraktirku nonton film festival di malam minggu. Dia bisa begitu baik hatinya karena ternyata harga tiketnya pun murah sekali. Rp25.000 per orang! Sangat mengherankan untuk ukuran film asing di bioskop ternama, di malam minggu.

Tak hanya murah, nonton bioskop di malam minggu kemarin ini juga terasa istimewa dan menyenangkan karena ternyata jumlah penontonnya sangat sedikit (maklum film festival dan baru hari pertama). Jadilah kami menonton dalam suasana yang lega dan (lumayan) sepi.

Akhir pekan itu kami menonton Triangle of Sadness. Saat akan membeli tiket, Alfdjones mengatakan kepadaku bahwa film ini adalah film komedi. Alasan utama dia tertarik menontonnnya adalah karena ada Woody Harrelson bermain peran di situ. Aku pun mengiyakan tanpa mencari tahu lebih jauh.

Kadang kala, tidak mengetahui apa-apa itu ternyata menyenangkan. Ada kejutan menarik yang pada akhirnya memberikan kesan tersendiri. Begitu pun ketika menonton Triangle of Sadness.

Triangle of Sadness merupakan film Eropa besutan sutradara asal Swedia, Ruben Ostlund. Film ini berdurasi hampir 2,5 jam, membuatnya terasa sebagai sebuah perjalanan panjang.

Dibandingkan komedi, genre film ini jauh lebih tepat disebut sebagai satir. Film ini dibuat bukan untuk membuat penontonnya terhibur dan tertawa terbahak-bahak. Yang ada, kita dikelitiki dengan sindiran, sentilan, bahkan untuk film ini, lebih cocok dikatakan sebagai “tamparan”.

Triangle of Sadness dibuka dengan adegan sekelompok model pria yang sedang diwawancara untuk kebutuhan audisi. Begitu dimulai, film ini sudah menyindir industri fesyen dengan citra atas jenama-jenama ternama.

Adegan pembuka menyindir perbedaan citra jenama fesyen mahal dengan jenama murah. (Sumber foto: tangkapan layar teaser resmi).

Film ini mengisahkan kehidupan seorang model bernama Carl dengan pacarnya yang adalah seorang pemengaruh media sosial (influencer) bernama Yaya. Keduanya sering berdebat hebat soal kesetaraan gender. Perdebatan mereka sangat konyol dan mengesalkan. Benar-benar seperti orang zaman sekarang.

Pada bagian pertama, ada adegan di mana keduanya ribut soal siapa yang membayar makan malam. Carl merasa Yaya tidak berniat membayar, padahal sebelumnya Yaya pernah berjanji akan giliran bayar di acara makan malam berikutnya.

Di sisi lain, Yaya merasa sudah terlalu sering membayari Carl makan. Disinggung demikian, Carl langsung panas dan membahas soal kesetaraan gender. Diskusi mereka terus berlanjut sampai pulang dan semakin mengesalkan karena terlihat jelas Carl tidak mau direndahkan, tapi juga tidak mau rugi keluar duit.

Bagian selanjutnya menceritakan Carl dan Yaya yang sedang berlibur di kapal pesiar. Mereka berada di kapal yang sama dengan sejumlah konglomerat. Ada bos kotoran (pupuk) dari Rusia dengan 2 istri, seorang bos perusahaan teknologi, sepasang bos pabrik senjata, dan masih banyak lagi.

Sumber foto: tangkapan layar teaser resmi.

Bagian di kapal pesiar ini terasa sangat menghibur. Di sini, Ruben Ostlund seperti mengejek masyarakat elit super kaya yang punya kelakukan semena-mena karena merasa bisa membeli segalanya. Ruben Ostlund menyelipkan tokoh kapten kapal (diperankan Woody Harrelson) yang komunis dan sangat malas menghadapi konglomerat-konglomerat tersebut. Si kapten digambarkan sebagai alkoholik yang sudah pasti — suka-sukanya sendiri.

Suatu kali, si bos Rusia tiba-tiba meminta semua awak kapal berhenti bekerja dan bermain seluncuran. Permintaannya tidak bisa dihindari meski sudah ditolak berkali-kali oleh kepala awak kapal.

Akhirnya semua awak kapal setuju melakukannya. Bahkan awak dapur pun disuruh ikut berenang, meskipun kepala koki sudah memperingatkan bahwa makanan untuk acara malam pasti jadi tidak enak akibat hal ini.

Kelakuan konglomerat yang menjadi awal malapetaka di kapal pesiar. (Sumber foto: tangkapan layar teaser resmi).

Malam pun kemudian datang dan acara makan malam bersama kapten kapal digelar. Suasana acara makan malam itu sedari awal sudah terlihat akan kacau. Sebab, si kapten sengaja memilih waktu bertepatan saat cuaca buruk untuk mengerjai para penumpangnya.

Di sinilah momen penganiayaan brutal ditampilkan Ruben Ostlund. Cuaca buruk, para penumpang mabuk laut, ditambah dengan insiden keracunan makanan karena awak dapur tidak melakukan pekerjaan mereka akibat disuruh ikut berenang di siang harinya.

Semuanya campur aduk sampai ambruk.

(Sumber foto: tangkapan layar teaser resmi).

Para konglomerat yang sudah berdandan menawan, semuanya berubah menjadi samsak hidup. Mereka berwajah pucat, matanya terbelalak, dan mulutnya tak berhenti menyembur muntah. Tak hanya dari mulut, banyak juga isi perut konglomerat yang menyembur dari lubang pantat.

Di tengah suasana yang kacau balau itu, si kapten malah menikmati alkohol dan burger kejunya dengan santai. Terlihat sekali dia sangat menikmati permainannya. Apalagi kemudian dia ditemani oleh si bos Rusia yang adalah seorang kapitalis.

Komunis bertemu kapitalis. Tentu saja sangat cocok! Adegan mereka bertukar kutipan-kutipan dari para pemimpin dunia terasa menggelitik. Apalagi saat mereka sibuk mencari kutipan tersebut di Google. Lagi-lagi, sangat orang masa kini. Gemar mengutip sekadarnya berbekal temuan di internet.

Aku mengira adegan tersebut merupakan puncak konflik dan film agak segera berakhir. Ternyata aku salah. Film ini dengan sengaja menambahkan kisah lain yang kemudian menjadi sebuah perenungan dan pembuktian yang menarik.

Setelah tragedi konglomerat muntah dan keracunan di acara makan malam, keesokan paginya tiba-tiba ada sebuah kejadian cepat yang menurutku sangat konyol sebagai sebuah jembatan adegan menuju kisah selanjutnya.

Kok ya tiba-tiba ada bajak laut melempat granat dan kapal pesiar itu meledak!

Sebelum meledak, granat tersebut jatuh tepat di samping istri di bos pengusaha senjata. Si ibu memungutnya, terkesima menemukan produk buatannya sendiri, lalu…. DUAR! Kapal meledak. Benar-benar perwujudan “senjata makan tuannya”.

Privilese jelas tidak ada gunanya di tempat seperti ini. (Sumber foto: tangkapan layar teaser resmi).

Kisah film berlanjut dengan sejumlah penumpang selamat terdampar di sebuah pulau. Carl dan Yaya menjadi bagian dari rombongan penyintas itu. Selain mereka, ada si bos Rusia, si kepala staf kapal, si bos perusahaan teknologi, seorang ibu-ibu Jerman yang lumpuh, dan orang Afrika yang tidak jelas asal-usulnya (mengaku kru kapal, tetapi dicurigai sebagai bajak laut yang menyelundup di kapal pesiar tersebut).

Tak lama, menyusul pula seorang kru kapal lain bernama Abigail. Abigail adalah ibu-ibu Filipina yang bertugas sebagai kepala pengurus toilet di kapal persiar tersebut. Dia datang menggunakan kapal darurat, membawa beberapa stok makanan dan minuman.

Abigail, The Badass!. (Sumber foto: tangkapan layar teaser resmi).

Abigail menjadi sosok penyelamat. Dia begitu tangkas dan terampil untuk bertahan hidup. Dia pandai berburu, membuat api, dan mengolah makanan. Hal-hal penting yang sama sekali tidak bisa dilakukan oleh para orang kaya di sekitarnya.

Jadilah keadaan berbalik. Jika di kapal pesiar Abigail menempati kasta terendah sebagai budak bersih-bersih toilet, di pulau ini Abigail menjadi kapten.

Dia lah yang memimpin kumpulan penyintas di pulau tersebut. Dia dengan sengaja memanfaatkan keadaan ini. Dia yang mengatur jatah pembagian makanan, giliran menjaga api, hingga menyuruh para konglomerat tersebut untuk melakukan ini dan itu.

Semakin lama, kehidupan mereka di pulau itu semakin lucu. Abigail semakin menikmati kekuasaannya. Dia bahkan menjadikan Carl budak seksnya dengan bayaran makanan tambahan untuk Carl dan Yaya. Lucunya lagi, Carl sepertinya benar-benar menjadi sayang pada Abigail.

Kisah di pulau ini seolah menjadi sebuah momen yang membuka mata para konglomerat. Bahwa ada masanya mereka menjadi sosok yang tidak berdaya. Terutama ketika kekayaan mereka tak lagi ada manfaatnya.

Film ini ditutup dengan adegan menggantung. Abigail dan Yaya yang mencoba meniti pulau, ternyata menemukan bahwa pulau tersebut adalah sebuah resor, bukan pulau terpencil tanpa penghuni. Yaya merasa bahagia karena mereka akan selamat dan kembali ke kehidupan aslinya. Sementara Abigail mulai panik dan cemas karena itu tandanya dia akan kembali menjadi masyarakat kelas bawah yang kerap direndahkan para konglomerat ini.

Kecemasan membuatnya mengambil sebongkah batu besar untuk menumbuk kepala Yaya. Belum sampai hal itu terjadi, tampak Carl berlari panik menembus hutan untuk menyusul mereka. Setelah itu, latar musik semakin mendominasi dan daftar kredit pun berjalan.

Tidak ada yang akan tahu apa yang berlaku pada mereka di masa selanjutnya. Bisa saja konglomerat itu tetap terjebak menjadi budak Abigail di pulau tersebut. Tapi ya besar kemungkinan sih seperti kehidupan nyata pada umumnya, yaitu yang kelas bawah kembali tertindas.

Film ini bisa memberikan hiburan, terutama bagi orang-orang yang muak dengan kelakukan belagu para orang kaya pemilik privilese tinggi. Pedihnya mungkin, apa yang ada di film ini hanya akan berhenti menjadi sebuah kisah tontonan saja. Mana ada ceritanya di dunia nyata, orang kaya berujung kena karma?

Pret!

--

--