Dimensi Manusia dalam Perencanaan: Perihal Hak atas Kota dan Keresahan Personal

Naufal R. Indriansyah
Pangripta Loka
Published in
6 min readFeb 28, 2016
“Reclaim Your City”. Copyleft: www.derjo.de

“The right to the city is not merely a right of access to what already exists, but a right to change it after our heart’s desire. We need to be sure we can live with our own creations (a problem for every planner, architect and utopian thinker). But the right to remake ourselves by creating a qualitatively different kind of urban sociality is one of the most precious of all human rights. The sheer pace and chaotic forms of urbanization throughout the world have made it hard to reflect on the nature of this task. We have been made and re-made without knowing exactly why, how, wherefore and to what end. How then, can we better exercise this right to the city?” — David Harvey

Masalah perkotaan tak lepasnya menjadi perbincangan sehari-hari. Mulai dari keluhan anak-anak masa kini ketika melewati jalanan macet karena harus pagi-pagi sampai di sekolah, sampai masalah kumuhnya rumah anak-anak yang pagi-pagi tidak sekolah. Masalah-masalah yang ada dalam keseharian ini, apakah merupakan masalah yang harus diatasi langsung secara strategis? Kita bisa melihat banyak kebijakan yang diambil pemerintah kota dalam mengatasi hal ini. Salah satu contohnya mungkin di Bandung. Penambahan dan perbaikan beberapa unit bus dalam kota menjadi Trans Metro Bandung, yang sejatinya diberlakukan untuk mengarahkan preferensi moda transportasi masyarakat kota menuju angkutan umum. Namun nyatanya, pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi di Bandung terus meningkat, dan hal ini yang menyebabkan mengapa kebijakan strategis tersebut menjadi tidak solutif. Contoh lainnya mungkin pembangunan stasiun dan jaringan MRT di Jakarta yang tidak kunjung selesai. Hal serupa dimaksudkan dengan tujuan yang sama seperti Trans Metro Bandung, namun bahkan dalam prosesnya kita melihat peningkatan intensitas kemacetan yang cukup signifikan di beberapa titik. Dan ketika pun proyek ini selesai, tidak ada yang bisa menjamin bahwa masalah kemacetan akan teratasi.

Lantas mengapa sebenarnya tidak pernah ada solusi yang sepetinya efektif untuk mengatasi berbagai permasalahan kota ini? Menurut David Harvey dalam tulisannya The Right to The City, kota lahir dari konsentrasi produk keuntungan (surplus product) baik secara geografis maupun sosial. Proses pengkotaan merupakan fenomena kelas, yang bisa kita amati dari perpindahan keuntungan, dengan hanya segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan kontrol atas keuntungan tersebut. Situasi umum ini lahir dari kapitalisme. Seperti yang dikatakan Marx, bahwa kapitalisme terletak dalam pencarian berulang-ulang atas keuntungan. Politik dari kapitalisme dipengaruhi dari kebutuhan untuk mencari wilayah (secara geografis) yang sesuai untuk menciptakan produksi dan penyerapan keuntungan, dengan tidak ada habisnya.

Secara sederhana berbagai fenomena yang tidak masuk akal atas nama pembangunan nyatanya berasal dari penggunaan semena-mena atas kekuasaan dan rasa puas yang tidak habisnya. Lebih lanjut lagi, di penghujung tulisannya, Harvey menyatakan bahwa kota hanya dibangun oleh segelintir elitis politik dan ekonomi yang memiliki kontrol untuk membangun kota atas kebutuhan pribadi dan hasrat hati mereka.

Akumulasi kapital yang tidak seimbang ini menciptakan berbagai masalah baru, alih-alih menyelesaikan masalah yang ada. Kesejahteraan yang dilihat lewat perspektif makro akan terus meningkat dan terus meningkat. Namun dibalik tembok rumah-rumah mewah dan gedung-gedung bertingkat tersebut kita menyaksikan dengan nyata mereka yang menjadi korban. Anak-anak putus sekolah, pengangguran, kriminalitas, dan lainnya bersembunyi, terus mengakar, dan nampaknya akan menjadi fenomena yang tidak dilihat karena tertutupi bayang-bayang kota yang terus tumbuh dan menjadi cantik.

Lalu bagaimana sejatinya, sebuah keadaan ideal (baca: utopis)dari fenomena ini? Tentunya bukan sebuah romansa indahnya kota, mungkin dengan pemandangan pinggir sungai seperti di Venice, atau juga seperti kafe-kafe pinggir jalan di Paris. Mungkin, bukan juga hiruk-pikuk pejalan kaki dan gedung pencakar langit seperti di New York. Lebih fundamental lagi, sebagai jasad bernyawa yang senantiasa mondar-mandir diantara benda mati, manusia memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Setidaknya merupakan peran penguasa yang seharusnya bertanggung jawab atas rakyat kotanya sendiri untuk memenuhi, atau setidaknya mempermudah akses manusia kotanya untuk memenuhi kebutuhannya. Sederhananya: sandang, pangan dan papan. Lebih jauh lagi, manusia memiliki hak asasi, dimana hak-hak ini juga diatur dalam konstitusi negara kita.

Apa yang membedakan hak atas kota dengan hak asasi manusia? Hak atas kota merupakan bagian dari hak asasi manusia. Henry Lefebvre dalam bukunya Le Droit a la ville, pertama kali mencanangkan ide mengenai hak atas kota. Secara singkat, ia mengartikannya sebagai permintaan atas akses yang diperbaharui dan ditransformasikan atas kehidupan urban. Lebih lanjut, (lagi-lagi) David Harvey menggambarkan hak atas kota sebagai berikut:

Hak atas kota adalah suatu hal yang melebihi kebebasan individu dalam mengakses sumber daya kota: hak atas kota merupakan sebuah hak untuk merubah diri kita dengan merubah kota. Lebih jauh lagi, hak ini merupakan sesuatu yang komunal, mengingat transformasi tidak dapat dipisahkan dari kebergantungan atas kekuasaan koleftif dalam membentuk ulang proses-proses pengkotaan. Kebebasan untuk membuat dan juga membuat ulang kota dan juga diri kita, adalah bagian yang sangat berharga, tapi juga ditelantarkan dari hak asasi kita.

Menghadapi banyaknya permasalahan hak atas kota, pada tahun 2001 organisasi dan pergerakan pemerhati kota berkumpul dalam sebuah wadah First World Social Forum. Disini mereka berdiskusi tentang tantangan untuk membangun model yang berkelanjutan dari kehidupan kota, berdasarkan asas kebersamaan, kebebasaan, kesetaraan, harga diri, dan keadilan sosial. Selang beberapa waktu, lahirlah sebuah piagam bertajuk World Charter for the Right to the City. Piagam ini dimaksudkan untuk mengumpulkan komitmen dari masyarakat sipil, pemerintah lokal dan nasional, anggota dewan, dan organisasi internasional, supaya warga kota juga dapat memiliki harga diri untuk hidup dalam kotanya.

Apa saja isinya? Piagam ini secara umum terbagi dalam empat bagian. Bagian pertama adalah ketentuan umum, yang memuat definisi dan dasar-dasar dari hak atas kota. Bagian kedua lalu memuat hak-hak yang terkait dengan pelaksanaan kewarganegaraan dan partisipasi dalam perencanaan, produksi dan manajemen kota. Bagian ketiga, memuat hak atas pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan terhadap kota. Lalu yang terakhir, bagian keempat, yang diantaranya memuat kewajiban dan tanggung jawab negara dalam memajukan, melindungi, dan melaksanakan hak atas kota. Untuk lebih lengkapnya, silahkan akses pada link berikut.

Isi dari piagam ini tentunya tidak akan saya bahas satu persatu (karena cukup banyak). Yang patut kita pertanyakan pertama kali adalah: terus kenapa? Ya, piagam ini memang tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali. Seperti yang saya tuliskan diatas, menurut pengenalan dari World Urban Forum, bahwa piagam tersebut, setidaknya berfungsi sebagai pedoman bagi semua kalangan.

Namun, bagi saya, yang merupakan korban keganasan pembelajaran ilmu perencanaan wilayah dan kota, menilai temuan ini (Piagam Hak atas Kota), sebagai sebuah ironi. Sejauh ini saya dididik untuk merencanakan objek yang menjadi hajat orang banyak. Saya merencanakan perumahan, di mana manusia tinggal di dalamnya. Saya merencanakan jalan, di mana manusia bergerak di atasnya. Saya merencanakan toko, perkantoran, ruang terbuka hijau, tempat pembuangan sampah, drainase, bahkan konfigurasi bandara. Semuanya untuk manusia. Tapi saya tidak pernah diajarkan, sebenarnya manusia butuh apa.

Entah juga saya terlalu mengidolakan David Harvey, atau Karl Marx, atau Wiji Thukul. Silahkan cap saya apapun, tapi orang-orang ini yang mengajarkan saya untuk melihat objek studi saya selama kurang lebih 1,5 tahun lagi (amin ya Tuhan), dengan perspektif bahwa didalamnya ada manusia. Dan bagi saya, dengan ilmu yang telah saya dapatkan selama ini, adalah tanggung jawab sang pengemban ilmu, untuk terus meningkatkan taraf hidup manusianya, yang tidak sama sekali belajar tentang standar perkerasan jalan atau juga peraturan zonasi. Kita (calon perencana kota), hadir sebagai yang paling mengerti tentang kota, untuk memanusiakan tentang kota, termasuk di dalamnya memanusiakan tentang hak manusia atas kotanya.

Dalam hal mengawal kebijakan atas kota, mengerti tentang hak atas kota harusnya mampu membuat kita lebih kritis. Memang sebuah opini juga harus objektif dan logis, namun kekuasaan adalah tahta penuh godaan. Seperti yang disampaikan sebelumnya, bahwa untuk merubah kota, kekuasaan merupakan modal yang luar biasa. Ketidakseimbangan dalam membentuk kota harusnya bisa kita lihat dalam berbagai fenomena kebijakan serta dampaknya. Saya lebih suka menggunakan istilah Star Wars: bring balance to the force.

Kesimpulannya, yang saya coba sampaikan adalah, terdapat dimensi-dimensi dalam ilmu perencanaan yang sejatinya tidak diajarkan dalam kuliah sehari-hari. Saya tidak mencoba menilai diri saya berinisiatif tinggi, tapi setidaknya keisengan saya untuk mengeksplorasi perspektif lain ini, membuahkan sebuah pemikiran bahwa banyaknya kebijakan-kebijakan yang diambil dengan tidak mempertimbangkan aspek-aspek fundamental, seperti hak atas kota, dalam praktek di kehidupan nyata. Saya juga tidak mau sotoy duluan, mengingat ilmu masih sedangkal air selokan di depan himpunan. Mungkin juga menjadi PR saya ke depan, untuk mempelajari hal ini lebih lanjut, supaya saya juga tidak melakukan kesalahan yang sama seperti pendahulu-pendahulu saya. Tapi, tidak ada salahnya untuk mulai mengenal hal ini, dari sekarang. Meski mungkin normatif, atau juga naif, tapi hal-hal yang baik sesungguhnya memang normatif dan naif, kawan.

Daftar Pustaka:

Harvey, David. Rebel Cities: From The Right To The City To The Urban Revolution. 2012. Verso, New York.

Piagam Dunia tentang Hak atas Kota. Koleksi Pusat Dokumentasi ELSAM, Jakarta.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —

Sedikit Catatan:

Dalam rangka meningkatkan wacana hak asasi manusia dalam perencanaan kota, saya dengan bangga luar biasa Allahuakbar ingin memulai sebuah seri bertajuk Dimensi Manusia dalam Perencanaan. Jika Anda (secara tidak sadar) mengidolakan saya, maka Anda bisa melihat tulisan sebelumnya dengan judul yang sama. Semoga kedepannya terus bisa konsisten. Tolong diingatkan saja karena saya pelupa.

--

--

Naufal R. Indriansyah
Pangripta Loka

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between