Kamu dan Aku di Salatiga

Muhammad Fadhil
Pangripta Loka
Published in
5 min readMar 13, 2016

Bandung, 13 Maret 2016. Pukul 23.56 WIB.

Ini bundaran di pusat Kota Salatiga | Sumber : Mapio.net

Kamu

Kamu adalah salah satu dari sekelompok orang yang sedang mengunjungi kota ini. Kota kecil yang di kelilingi oleh kota lain. Kota kecil yang menjadi tempat untuk rehat dari Semarang menuju Solo ataupun sebaliknya. Dari ujung utara Bugel hingga ujung selatan Randuacir.

Kamu adalah satu dari sekumpulan mahasiswa yang sedang melakukan pengamatan, penelitian, dan pencarian. Kamu sedang mencoba memahami dia lebih dalam. Kamu sedang mencoba mengerti dia lebih dalam. Kamu sedang mencoba mencari jawaban dari setiap pertanyaan tentang dia. Dan kamu berusaha untuk mendapatkan semuanya dalam waktu seminggu ini.

Kamu melihat, bahwa ini adalah kota yang sudah tua. Kota yang kamu rasa mempunyai banyak cerita. Kota yang terlihat hijau olehmu. Kota yang kamu rasa penuh dengan keberagaman dan keyakinan. Kota dimana masyarakatnya dapat hidup dengan tentram dalam keberagaman. Kota yang kamu lihat — lihat ternyata seperti tak ada masalahnya. Kamu merasa dia baik — baik saja.

Aku

Aku adalah bagian lain dari kelompokmu yang juga turut berusaha untuk memahami, mengerti, dan mencari jawaban tentang dia. Ini adalah sedikit cerita yang aku temui bersama mereka.

Mungkin kamu salah. Dia yang kata kamu baik — baik saja ini ternyata menyimpan banyak ketidakpuasan. Dia memegang pada satu prinsip bahwa kota yang maju adalah kota yang dipenuhi oleh mereka yang tinggi dan berdiri kokoh serta megah. Menurutnya lahan yang hijau tidak dapat melambangkan suatu kemajuan. Menurutnya mereka yang maju bukanlah mereka yang bertani ataupun berternak. Tetapi menurutku kemajuan tidak sedangkal itu.

Sudah merupakan hal yang umum bahwa masyarakat ini menganggap kemajuan adalah seperti mereka yang dikota — kota besar lakukan. Pertanian dianggap bukanlah ladang uang yang menjanjikan. Pertanian hanya dianggap sebagai pekerjaan rendahan yang bahkan terkadang kurang (mungkin tidak) dihargai. Generasi penerus dicuci otaknya untuk mengamini hal tersebut yang membuat mereka tidak ingin meneruskan jerih payah orang tuanya. Hingga pada akhirnya mereka pergi menghilang meninggalkan asalnya. Aku menemukan ini ditempat ini.

Segelas air hangat tercampur madu menemani aku dan kamu menikmati senja terakhir itu menggiring kita pada suatu pertanyaan. “Kalau semuanya mau dibangun lalu kita makan darimana?” dan pada akhirnya pertanyaan ini cukup untuk mengawali aku dan kamu terngiang — terngiang selama disana penuh dengan pertanyaan. Sebelum kalian baca lebih lanjut, perlu dicatat yang menjadi sumber inspirasi renungan ini adalah kawasan perdesaan yang ada di Kota Salatiga bukan pada Salatiga di bagaian perkotaannya.

Bagaimanapun juga kawasan perdesaan adalah bagian penting dari sebuah sistem regional yang besar. Dilihat secara sederhana, desa berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan dasar kota — kota sekitarnya, terutama untuk makanan pokok, sayur mayur, buah — buahan dan peternakan. Bayangkan jika seluruh wilayah ini telah menjadi kota dan dipenuhi oleh beton — beton yang berdiri kokoh dengan sedikit hijau — hijauan. Apakah kita akan makan — makanan yang diracik sedemikian rupa dari bahan kimia untuk kita konsumsi? Mau bagaimanapun juga, makanan alami tetaplah yang terbaik.

Dan sialnya ini sudah mulai terjadi di Kota ini. Sawah berhektar — hektar secara perlahan telah berubah menjadi bangunan — bangunan kecil hingga gedung — gedung megah. Aku rasa fenomena ini tidak hanya terjadi di kota ini saja tetapi juga di kota — kota lainnya yang semakin sulit menemui lahan yang hijau. Ya, kawasan pedesaan tidak lagi seseksi itu kawan, tidak seperti jaman dahulu dimana pedesaan menjadi sumber kekuatan terbesar. Selain itu, masih banyak berbagai jenis kegiatan lainnya yang bergantung pada kawasan perdesaan. (silahkan cari literature lainnya jika tertarik)

Jika yang tadi keresahan dari sisi perut ini, sekarang aku melihat keresahan lainnya dari manusia — manusia tanggung yang sempat kulihat. Saat ini (percaya tidak percaya) desa dipenuhi oleh orang -orang yang sudah tua dan anak — anak kecil saja. Mereka yang berada pada usia produktif enggan untuk menetap dan bekerja di desa asal mereka. Alasannya kenapa? Karena mereka rasa dengan pergi ke kota mereka dapat memenuhi cita — cita kehidupan yang layak (karena mereka rasa kehidupan yang sebelumnya mungkin kurang layak).

Apa itu masalah? Seharusnya tidak. Seharusnya dengan pergi ke kota, mereka dapat mengembangkan ilmu mereka, dapat mengembangkan kemampuan mereka, dan pada akhirnya dapat menerapkannya pada desa mereka. Namun sayangnya semua itu sekarang menjadi masalah. Kebanyakan dari mereka yang pergi ke kota meninggalkan desa nya bukan mencari kemampuan untuk diterapkan pada kampung halaman tetapi untuk terus mencari, mencari, dan mencari uang sampai pada usia mereka sudah terlalu sulit untuk tinggal di kota dan akhirnya kembali ke desa. Usia produktif mereka yang seharusnya bisa digunakan untuk daerah asal lewat begitu saja di kota orang. Perkembangan desa mereka tetap saja lambat karena kurangnya sentuhan teknologi dan pengetahuan. Siklus itu akan terus berputar. Kecil di desa, dewasa di kota orang dan tua di desa kembali. Sayangnya, aku menemukan hal ini di kota ini. Padahal menurut guru kuliah di kelas saya, kawasan peredesaan tak akan pernah berkembang jika terus terisolasi. Pendapat dia yang lainnya, kawasan perdesaan itu sebenarnya dinamis dan akan selalu berubah dengan atau tanpa perencanaan tergantung bagaimana kita mau mempercepat pertumbuhan dan perkembangannya.

Kesedihanku yang lainnya adalah ketika aku bertemu mereka — mereka yang duduk manis dibelakang meja kantornya. Secara terang — terangan satu diantara mereka mengamini bahwa mereka sama sekali tidak memiliki rencana terhadap kawasan perdesaan ini. Mereka membiarkan kawasan perdesaan tersebut tumbuh dan berkembang secara alami. Sekalinya ada rencana yang mereka lakukan, di pikiran mereka adalah suatu bentuk transformasi. Bagaimana caranya untuk mengubah kawasan perdesaan ini menjadi kawasan — kawasan berekonomi tinggi. Padahal menurut ku seharusnya kawasan pedesaan dikembangkan secara preservasi bukan transformasi.

Salatiga

Waktuku dan kamu selama disini tidaklah banyak. Tidak lebih lama dari benih padi untuk bisa segera dipanen. Mungkin apa yang aku dan kamu rasakan ini hanyalah suatu kegelisahan sebelah mata, mungkin juga apa yang dirasakan benar adanya. Terima kasih telah mengantarku ke kota ini, dan terima kasih telah mau mengungkapkan kisahmu. Biarkan pendapatku ini menjadi sebuah pendapat bodoh yang mungkin bisa menyadarkan dirimu, orang — orang yang menganggap desa tidak semenarik itu.

Untukmu senja terakhir di Salatiga.

Hanya orang biasa.

Muhammad Fadhil D.

Segala yang ada ditulisan ini adalah sepenuhnya pikiran subjektif penulis dengan rekan — rekan yang masih mau di ajak berbicara ditengah prokrastinasi diantara banyaknya tugas Studio Perencanaan Kota, pekan UTS yang segera menghadang, rutinitas himpunan yang padat, dan hidung yang dipenuhi ingus ini. Mohon maaf jika terdapat pihak yang kurang berkenan dan tulisan ini kurang jelas. Terima Kasih

--

--

Muhammad Fadhil
Pangripta Loka

Neutral, Nomaden & Nocturnal || Penikmat Takdir || Pengecut