Karakteristik Aktivis Kampus

Analisis seadanya terhadap yang senang aktif di kegiatan kemahasiswaan

M Abdul Mubdi Bindar
Pangripta Loka
4 min readNov 20, 2016

--

Punya temen aktivis kampus adalah sebuah anugerah. Adalah keberuntungan punya temen yang seneng ikut kajian, jadi ketua ini, ketua itu, kadiv sini, kadiv sana. Ya walaupun kita gak terlalu deket sama dia, sering bareng ke mana-mana sama dia, sering ngobrol seru sama dia, atau sering ngerjain tugas bareng sama dia, setidaknya kita temen dia. Dia temen kita, biar gak ke-ge-er-an.

Sebagai nikmat yang tak terhingga dan harus disyukuri, kesempatan kuliah tidak boleh dilewatkan begitu saja tanpa ada pelajaran dan hikmah yang dipetik dari tiap detik yang dijalani. Pelajaran-pelajaran hidup yang sebenarnya adalah yang didapat di luar materi silabus perkuliahan atau buku teks, tentu termasuk yang dididik di rumah. Di saat mengikuti suatu organisasi, kepanitiaan, pengmas (pengabdian masyarakat), kajian/diskusi, hearing, kaderisasi, dan sejenisnyalah pelajaran-pelajaran tersebut dapat dituai untuk hidup di masa tua. Termasuk saat mengamati kehidupan orang lain yang memutuskan untuk menjalani peran sebagai yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut.

Setidaknya poin-poin berikut adalah yang teramati selama hampir tiga tahun, sampai tengah malam hari tulisan ini dibuat, menjadi teman-teman aktivis kampus. Tulisan ini hanyalah sebuah opini dan tak lebih dari sebuah pengungkapan tentang apa yang teramati dan terpikirkan tentang mayoritas mereka tanpa ada maksud menggeneralisasi, apalagi menjelekkan, menjatuhkan, menyindir, mengolok-olok, mencederai citra, atau me-me sejenisnya. Masih banyak orang-orang aktivis yang belum teramati sehingga validitas tidak bisa diperdebatkan di sini. He he he.

Nggak, ini serius.

  1. Kenal banyak orang. Orang yang dikenal juga orang-orang penting. Namun jabatan penting itu gak membuat nama mereka penting di sebagian besar warga kampus. Yang kenal mereka, atau setidaknya tahu mereka, adalah teman-temannya satu jurusan atau yang sama-sama aktivis juga. Atau orang biasa yang punya kepedulian dengan dunia organisasi kampus. Hal ini didapatkan berkat keterlibatan mereka di wadah berupa kegiatan-kegiatan kemahasiswaan. Ya gimana mau gak kenal, kegiatannya harus ngobrol sama orang.
  2. Suka begadang. Tidur bukan aktivitas rutin di malam hari bagi aktivis. Kebanyakan mereka akan berbincang-bincang, ngobrol tentang segala hal mulai dari isu kebijakan kampus, banjir di kota, kebijakan ekonomi nasional, atau dampak presiden baru suatu negara terhadap kondisi internasional. Kalau pengen jadi calon (istilahnya sih nyalon, kalah umum sama yang maknanya “pergi ngerawat rambut”), kajiannya juga malem-malem. Kenapa harus nyalon, apa yang mau dikerjain, nyusun visi, misi, program kerja, dan sebagainya, sering dilakuin sampe tengah malem.
  3. Suka nginep di kampus. Seenggaknya pulang malem kalaupun nggak nginep. Pulang malemnya bukan karena ngerjain tugas atau belajar di perpus. Aktivitas kemahasiswaan seperti kajian, rapat, hearing, atau sejenisnya baru bisa jalan ba’da maghrib karena dari pagi ampe petang kehidupannya di kelas terus. Aktivitas tersebut juga gak bisa sebentar, gak jarang tembus tengah malem, bahkan sampe subuh! Inilah yang bikin mereka jarang banget pulang di bawah jam 6 sore.
  4. Tugas bukan kendala. Kehidupan mahasiswa gak cuma urusan sama kuliah-tugas. Pun gak cuma kajian, hearing, rapat, dan kumpul-kumpul. Keduanya berjalan bersamaan. Bersamaan, bukan sinergis atau harmonis. Bahkan sering bentrok, misalnya besok ada pengumpulan laporan, presentasi, dan praktikum pagi-pagi, tapi malem ini harus hearing. Bayangkan. Orang-orang biasa akan merasa frustrasi tapi itu semua mereka tanggapi dengan santai. Mereka tahu bagaimana “memadupadankan” keduanya agar tidak ada yang dikorbankan. Agar tidak ada yang dikorbankan, bukan seimbang.
  5. Sering pake bahasa isyarat kalo ngobrol. Banyak hal-hal personal namun berkaitan dengan aktivitas publik. Tentunya tidak boleh asal sebut di depan publik jika kebetulan situasi dan kondisi tidak mendukung untuk hal tersebut dibicarakan sembunyi-sembunyi. Hal-hal personal itu gak jarang menyangkut orang-orang di dalam kegiatan mereka. Ada yang bikin kesel, bikin marah, bikin ketawa, bikin heran, bikin bingung, bikin kagum, atau bikin malu. Agar orang-orang yang tidak perlu tahu tidak jadi tahu, mereka mengganti nama orang tersebut dengan “si itu”, “orang itu”, “do’i”, “kanojo” (kanojo mah bahasa Jepang sih) agar kerahasiaan identitas terjaga. Atau kalau ditanya “mau ke mana?”, biasanya dijawab “mau ketemu orang”, atau “jalan-jalan” (ketemunya sama kakak tingkat buat sharing-sharing pengalaman waktu dia jadi menteri, atau jalan-jalan ke tempat kakak tingkat buat sharing-sharing pengalaman waktu dia jadi menteri).

Kira-kira itulah poin-poin yang teramati. Sekali lagi, tulisan opini ini hanya menyampaikan pendapat subjektif. Ya iya lah, namanya juga opini. Ngomong-ngomong tentang opini dan subjektivitas, kok orang-orang jaman sekarang gak suka di-judge atau ketika ada orang yang ngasih pendapat jawabannya pasti “gak boleh judging”. Mungkin gara-gara itu ya kalo di kelas-kelas atau diskusi-diskusi atau kajian-kajian pas ditanya “Ada pertanyaan? atau ada pendapat?”, yang keluar pasti pertanyaan.

Sekian yah, makasih banget udah mau baca sampe selesai.

--

--

M Abdul Mubdi Bindar
Pangripta Loka

Pernah jadi mahasiswa tingkat akhir Perencanaan Wilayah dan Kota.