Kesulitan sebagai Mahasiswa: Keluarga, atau Rakyat Jelata?

Alvin Noviansyah
Pangripta Loka
Published in
7 min readJun 29, 2016
Mahasiswa yang bukan lagi demo. Tapi mahasiswa yang lupa akan gelarnya dan bersenang-senang sebagai Manusia. Source : Dokumentasi Pribadi Alvin Noviansyah, 2014.

Sebagai pembuka, saya hanya ingin memberitahu saudara bahwa saya bukan penulis yang handal layaknya teman saya yang menerbitkan berbuku-buku tulisan (hiperbola, terima kasih jika mengerti), bukan juga dia yang memilih menulis di medium daripada di Word Office, dan tentunya bukan orang yang mengagungkan tulisan dan dirinya sang pembuat. Saya anggap mereka pujangga dan kita anggap saya hanya seorang badut sirkus. Atau Anjing. Atau lebih baik kita sepakati kita memanggil mereka pujangga saja. Saya bisa menjadi yang lain yang mungkin lebih baik nanti.

Suatu ketika saat saya sedang menyaksikan sebuah film bajakan, yang mungkin tidak baik jika diakui, berjudul Game of Thrones, saya tergelitik dengan suatu skema yang ada di dalam seri laga tersebut. Tentang bagaimana seorang lelaki diakui sebagai seorang lelaki yang sukses saat memiliki keturunan, dan bagaimana saat seorang lelaki dianggap tak berharga saat tak bisa memiliki keturunan, mungkin karena hal biologis atau hal yang bersifat man-made seperti maaf, kebiri.

Begitu banyak hal yang bisa disorot melalui sudut pandang seseorang yang sialnya sudah mengenyam pendidikan, seperti bagaimana suatu kehormatan berada pada garis keturunan, yang mana kita menamakannya takdir, dan bagaimana kalangan rakyat yang tidak memiliki takdir yang baik menjalankan perannya sebagai tokoh figuran, atau bahkan hanya dibuat menggunakan CGI (Computer Graphic Image), yang mana bisa dibilang tidak penting bagi sudut pandang penguasa, si hebat yang memiliki takdir mujur. Saya, dengan nilai rapor sejarah yang sedikit di atas KKM, memiliki asumsi bahwa hal ini, pernah terjadi dulu, saat demokrasi dan tetek bengek seperti kiri dan kanan (sesuatu yang dipikirkan orang pintar) belum pernah terdengar. Tapi oh, bagaimana keadaan saat ini sangat memutarbalikkan hal tersebut?

Pada masa ini, di Indonesia, menggunakan sudut pandang mahasiswa tingkat 3 yang sedang menjalani Kerja Praktek, dapat kita sebut bahwa kehormatan dan jabatan bertitel negara bukanlah apa-apa, benar? Yah, saat ini sudah sering terdengar beberapa kali orang berdasi, penguasa tertinggi negara, kalau di Amerika disebut First Man, di tanah kita malah dijelek-jelekan atau diprotes besar-besaran oleh orang yang mengagungkan freedom of speech, sambil mungkin masih belum beristri, menggunakan kaos polos atau yang bergambar star wars, dan menggunakan celana jins, yang sobek jika lebih meyakinkan. Biasanya mereka memprotes bagaimana cara kerja si Presiden di dalam mengatasi negara. Ga perlu bawa-bawa presiden, walikota aja sering di demo dengan kebijakan-kebijakan doi yang dinilai menyeleweng pemikiran dan akal sehat si celana jins sobek, saya sih bukan gak suka atau gak setuju yah, saya mah cuman mikir pasti si om-om berdasi itu juga pernah kuliah dan pernah merasa hal yang sama, hanya saja mungkin sekarang jabatan itu udah ga semudah jamannya Game of Thrones (yang mana jaman fiksi), atau mungkin Majapahit supaya ga fiksi-fiksi amat. Di Jaman tersebut, segala aturan muncul dari The First Man, ga ada pake sesuai UU atau sesuai RTRW segala, rajanya bilang tidur ya tidur, ga tidur dibuat tidur. Bahkan kalau jaman dulu orang-orang berkaos polos bercelana jins ini komentar terhadap sang raja, mungkin dia gabisa nyombongin lagi kaos star warsnya gegara udah lusuh kena darah atau gimana lah *insert cool words here*

— End of Intro —

Sudah sering kita dengar mahasiswa menyerukan nama perjuangan, keadilan untuk rakyat miskin, keadilan untuk ini, itu, warga sini, warga situ, dan sebagainya. Pernahkah kita tidak setuju? beberapa kali, iya. Seringnya, setuju — mengedepankan nama hati nurani. Berkali-kali kita menolak pejabat negara yang kami nilai ‘korup’, pikir pendek, tidak berhati dan sebagainya, dan seringkali menimbulkan kesepakatan untuk menjelekkan nama sang pejabat, walau tidak secara langsung, mungkin hanya lewat himpunan sudah cukup. Tapi salahkah mereka yang membela rakyat miskin? inilah dilema sebagai mahasiswa.

— — —

Mengutip perkataan dari beberapa teman yang mungkin sudah lupa, ‘Mahasiswa tidak sebercanda itu’ memang benar. Atau setidaknya mahasiswa sekaranglah yang membuatnya menjadi benar. Ada seorang ahli yang menyebutkan bahwa mahasiswa adalah seseorang yang dipersiapkan untuk menjadi sarjana yang layak. Nama ahlinya Knopfemacher. Ya, untuk menjadi sarjana. Tetapi kenapa kok, sekarang mahasiswa banyak bergerak, terkadang tidak siap jadi sarjana karena masih ingin mengomentari keadaan sekitar, baik kampus, kota, bahkan negara? Terkadang beberapa mahasiswa yang seringnya mengomentari mahasiswa juga, berkata bahwa saat menjadi mahasiswa, kita dilindungi oleh institusi pendidikan tinggi, dan dilindungi oleh kata pelajar sendiri. Proses belajar mengajar saat ini sudah bukan lagi menjadi sebuah kesibukan, tetapi bahkan menjadi sebuah tameng dimana mengagungkan nama demokrasi dan freedom of speech semua orang dengan status pelajar dapat mengomentari apa saja asalkan masih berstatus yang sama, dan jangan lupa, mengatasnamakan pendidikan.

Ya, mahasiswa saja saat ini terbagi menjadi dua aliran. Dia yang merasa bebas karena statusnya, dan dia yang merasa memiliki beban atas statusnya.

Mahasiswa yang merasa bebas karena statusnya adalah dia yang saya jelaskan sebelumnya, menggunakan priviledge berupa kemahasiswaan dan masyarakat berpendidikan, seorang mahasiswa dengan mudahnya dapat merasa menjadi lebih pintar dari mahasiswa pendahulunya yang sekarang menjadi pejabat negara. Sedangkan mahasiswa yang merasa memiliki beban atas statusnya, memiliki beban pikiran atas keadaan lingkungan sekitar, masyarakat miskin, penegakkan HAM, dan sebagainya. Tapi, menurut saya yang juga seorang mahasiswa, ada yang keliru pada keduanya.

Pertama, mahasiswa tidak sebebas itu. Jika mengambil kutipan dari pendapat Sarwono, mahasiswa berkisar pada usia 18–30 tahun, yang mana saya asumsikan adalah seorang anak, atau orang yang akan memiliki keluarga. Hal tersebut menghilangkan kata kebebasan di dalamnya. Sebagai seorang mahasiswa, biaya adalah hal yang musti dibutuhkan untuk mempertahankan gelarnya. Bagaimana bisa anda sebagai mahasiswa merasa sebebas itu saat priviledge yang anda gunakan adalah sesuatu yang dibiayai oleh orang tua anda? dan saat anda sudah memiliki keluarga sendiri, apakah kebebasan sebagai mahasiswa dan foya-foya dengan statusnya masih bijak?

Kedua, Beban sebagai mahasiswa seringkali salah arti. Memang benar bahwa sebagai orang terpelajar adalah kewajiban kita untuk mendukung atau membawa Negara ke arah yang lebih baik. Tapi tunggu, apakah itu beban kita sebagai mahasiswa? Jika saya beri contoh, saat anda menjadi pasien di rumah sakit, lalu anda diberi pilihan untuk diperiksa oleh Dokter yang sudah memiliki sertifikat dan pengalaman kerja, atau Mahasiswa Kedokteran yang sedang menjalani Kuliah Praktik, mana yang anda pilih? Ekstrem ya. Ya, bagi saya beban tersebut (untuk menanggulangi masalah negara seperti kemiskinan dan lain-lain) itu bukan beban mahasiswa. Dan akan ada saatnya nanti saat anda sudah kompeten. Lalu, saat kita mau menolong masyarakat sekitar bagaimana? Ya tolonglah sebagai seseorang di dalam masyarakat, sebagai seorang manusia yang memiliki hati nurani. Perlukah embel-embel mahasiswa dibawa di dalamnya?

Saya seringkali merasa beban mahasiswa adalah pada diri kita sendiri dan kepada siapa kita mempertanggungjawabkannya. Saya pernah ingat perkataan dosen saya yang bernama Roos Akbar, dia pernah berkata ‘untuk apa meluluskan orang yang dibawah standar, sama saja dengan melepaskan orang setengah jadi ke masyarakat, kasihan masyarakatnya diatur oleh orang yang ga kompeten’. Nah kalau begitu salah di siapa? tentunya di diri kita sendiri jika kita tidak kompeten. Kalau tidak kompeten tidak bisa lulus, tidak lulus harus menambah waktu pendidikan, menambah waktu pendidikan menambah biaya juga, menambah biaya berarti menambah beban orang tua. Jadi beban siapa, gelar kita sebagai mahasiswa?

Sampai saat ini saya tidak pernah merasa membawa gelar mahasiswa sebagai sesuatu yang baik. Toh yang ngasih gelar juga orang tua sendiri! Setidaknya walaupun anda akan lulus pada waktunya, setidaknya jangan menambahkan beban pada pikiran orang tua anda, kasihan!

— — —

Dalam tulisan ini bukan berarti saya melarang teman-teman mahasiswa untuk berjuang demi rakyat, bukan. Saya lebih kepada menekankan kepada diri saya sendiri akan apa yang saya pilih jika dihadapkan kepada pilihan keluarga atau masyarakat sebagai seorang mahasiswa. Seperti yang saya bilang, saya tidak merasa sehebat itu untuk membawa nama mahasiswa demi menolong masyarakat banyak, tapi saya cukup merasa kompeten untuk ingin cepat-cepat melepaskan gelar tersebut demi keluarga saya. Saya sebagai mahasiswa dan calon perencana, saya merencanakan yang baik bagi saya dulu, lalu keluarga saya, lalu sekitar saya, karena itu yang saya pelajari dari buku panduan pesawat (Buku panduan pesawat mengatakan pakailah masker oksigen terlebih dahulu sebelum memakaikannya untuk orang lain).

Kembali lagi mengambil contoh kasus Games of Thrones, di dalam laga tersebut, semua peran protagonis dan antagonis dengan agungnya membawa embel-embel keluarga, seakan kepentingan masyarakatnya tidaklah lebih dari penopang keluarganya sendiri, bahkan si Tywin Lannister, yang udah kakek-kakek rela berbuat apa saja demi keluarganya katanya di episode 9 season 3. Entah mengapa saya gabisa membenci si orang itu padahal jahat, karena ya gimanapun juga kalau saya di posisi dia saya mungkin berbuat hal yang sama. Lagian saya memang berpikir sieta legeg pisan jadi keren. Yah intinya sih, saya cuman mau anda menetapkan dan sadar prioritas saja.

Bukan berarti masyarakat ga penting, tapi coba lakukan hal tersebut (yang biasa mahasiswa agungkan) bukan sebagai seorang pemegang gelar. Lakukan sebagai orang yang memiliki ‘kelebihan harta, dan takdir yang lebih baik. Saya yakin, walaupun saudara tidak melakukannya dengan nama mahasiswa, tetapi melakukannya sebagai seseorang yang memiliki hati nurani dan taat agama, masyarakat yang ingin anda bantu pasti terbantu.

Jangan bawa-bawa empati, sekali lagi jika anda memiliki empati untuk masyarakat sekitar, sudahkah saudara berempati kepada keluarga sendiri? bukan berarti kita tidak boleh keluar jalur, tetapi bagaimanapun juga bagi masyarakat luas kita hanyalah orang luar, yang mana memiliki keluarga sendiri. Mengutip kalimat di film itu itu lagi, berbunyi seperti ini :

“We break bread with them, but that doesn’t make us family. We’ve learned their language, but we’ll never be their countrymen”

Mengacu pada kalimat di atas, saya masih percaya bahwa bagaimanapun, gelar apapun, sepintar dan secerdas, dan sekaya, dan dan lainnya apapun anda, saat anda membantu masyarakat di luar sana, anda tetaplah orang luar. Tapi ingatkah anda kepada orang yang menganggap anda orang dalam? Keluarga?

Bantulah mereka yang ingin anda bantu. Itu pilihan anda. Tapi apapun yang anda pilih, tolong jangan lupakan mereka yang membuat anda dapat memilih.

Dibuat dalam keadaan rindu Keluarga,

dan rindu kota Kelahiran.

Alvin Noviansyah, Anjing.

--

--