Kota ini Bukanlah Milik Lelaki Berbaju Ungu dan Sang Supir Angkot

Naufal R. Indriansyah
Pangripta Loka
Published in
3 min readNov 21, 2016
An Encounter on the Road to Fantasy, Emmanuel Garibay. Sumber: http://www.myfrienddebbie.com/images/juliestrohkorb_poverty_1.jpg

“People don’t want to hear the truth because they don’t want their illusions destroyed” — Friedrich Nietzche

Sebuah kota merupakan agregat dari jiwa-jiwa yang hidup di dalamnya. Kebenaran akan hal tersebut, bersembunyi dibalik pengemasan yang apik, media massa, dan romantisasi akan kota itu sendiri. Dan kebohongannya, adalah apa yang kita anggap kebenaran dan berasal dari sebuah penolakan akan jiwa-jiwa yang kita anggap mati.

Siang ini, setidaknya aku melihat lelaki berbaju ungu memikul belasan bak mandi plastik, berjalan menyusuri pinggiran jalan yang seharusnya dilalui motor dan mobil. Jalanan yang ia harusnya lewati, tengah dibangun jalur pejalan kaki. Yang mungkin nanti ketika sudah selesai, ia bahkan tidak diperbolehkan berjalan di atasnya, atau tidak diperbolehkan menjajakan bak mandi plastik di atasnya.

Lalu, orang-orang yang dengan nikmat Tuhan mampu mengendarai motor atau mobil mewah akan kesal kepada beliau. Karena ia membuat mereka terlambat datang ke kantor, atau terlambat menyambangi kediaman kekasih, atau juga terlambat makan siang dengan klien. Tentu ia punya hak untuk kesal, bahkan memaki si lelaki berbaju ungu jika perlu. Dan mungkin beliau akan diam saja, atau mungkin juga sedikit meminta maaf.

Ada pula, mereka yang belum mandi, harus pergi pagi-pagi untuk mengejar setoran. Di waktu yang sama dengan kejadian si lelaki berbaju ungu, salah satu dari mereka memberhentikan kendaraannya di sebuah pertigaan. Menyedot sebatang rokok yang tinggal seperempat batang, kepalanya menyembul dari jendela, sambil melambaikan tangan keluar. Ia mengajak perempuan-perempuan berjilbab nan cantik jelita di seberang jalan untuk memasuki angkotnya. Dari tiga perempuan, hanya satu yang memutuskan naik. Lalu sang supir mengulang tingkah yang sama, kali ini kepada segerombolan anak-anak bermata sipit.

Sudahlah dibuat kesal dengan lelaki berbaju ungu, para pengendara motor dan mobil ini lagi-lagi mengencangkan urat leher dengan intensi untuk berteriak lantang, mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Mungkin dengan alasan yang sama dengan rasa kesal kepada lelaki berbaju ungu, atau hanya karena pandangan benci kepada angkot sebagaimana adanya. Sang supir angkot hanya bisa menoleh, membalas dengan pandangan yang tidak pantas pula. Tapi ia juga tidak bisa marah, atau mungkin sudah terbiasa untuk tidak marah.

Kejadian ini berlangsung di sebuah kota, yang notabene sudah mendapat banyak penghargaan, pengakuan, dan pujian. Sebuah kota yang dieluh-eluhkan karena begitu indah, dan bangga karena warganya bahagia. Begitu menjanjikan, tetapi penuh kebohongan.

Tetapi, bukankah sebuah kemakluman kejadian tadi muncul bahkan di kota seperti itu? Toh kita tidak bisa pula mengatakan bahwa kemarahan orang-orang tadi, bukan berarti warganya tidak bahagia, kan?

Lantas, apakah seharusnya sang lelaki berbaju ungu mempunyai toko bak mandi sendiri, sehingga ia tidak harus menempuh bahaya berjalan di jalur mobil? Atau sang supir memiliki angkot yang indah, dengan jaminan upah yang membuat dirinya tidak lagi harus ngetem?

Sungguh, aku yakin mereka tidak ingin hidup dengan teriakan-teriakan yang merendahkan, dengan bayangan amarah dari orang lain. Mereka ingin hidup sebagaimana kota ini membuat warga lainnya bisa hidup, sebagaimana orang-orang yang mampu melanggeng dengan nikmat Tuhan di pundaknya. Tapi kita lah yang menegasikan keinginan mereka, dengan caci maki, atau tidak peduli.

Karena lelaki berbaju ungu dan sang supir adalah jiwa-jiwa yang kita anggap mati, sampai mereka kita teriaki dengan sebutan binatang dan sebagainya. Karena kita yang bertingkah seakan kita yang punya jalan, tidak bisa memaklumi mereka, tidak mampu mengerti dalam sepersekian detik mengapa mereka melakukan hal yang membuat kita naik pitam. Karena nyatanya, kita mungkin juga tidak berada dalam kejadian tersebut sehingga dengan yakin bisa mengatakan “Ah, itu mah biasa”, atau bahkan tidak peduli sama sekali. Karena kitalah yang hidup dalam kebohongan, dan mereka adalah kenyataan yang terlalu pahit untuk kita terima. Karena kebenaran kita berakar dari keegoisan, bahwa kitalah sesungguhnya perwujudan dari kota yang seharusnya.

--

--

Naufal R. Indriansyah
Pangripta Loka

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between