Pengampunan Dilematis

Merupakan refleksi dari pelaksanaan UU Nomor 11 tahun 2016 tentang Pegampunan Pajak yang agaknya memunculkan keresahan publik

Rafialdy Janitra
Pangripta Loka
2 min readAug 29, 2016

--

Merebaknya #StopBayarPajak bahkan hingga bertengger di Trending Topic merupakan ekspresi keresahan masyarakat terhadap keberpihakan kebijakan.

#StopBayarPajak tentu bukan solusi untuk mengatasi permasalahan pajak yang menimbulkan keresahan. Pajak masih jadi sumber pendapatan negara terbesar.

Pendapatan negara di APBN 2016 saja 84,85% berasal dari perpajakan. Hanya 15,15% berasal dari non-pajak. Dependensi yang luar biasa terhadap pajak.

Terbitnya UU Tax Amnesty bulan lalu memberi harapan peningkatan penerimaan. Namun nyatanya justru memiliki dua mata pisau.

Secara teori diharapkan dapat meningkatkan penerimaan secara instan yang berujung pada percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan.

Namun juga memunculkan persepsi masyarakat bahwa aset mereka diperas, dikenai pajak berkali-kali. Mungkin tak apa bagi mereka yang serba memiliki, tapi apa kabar mereka yang hartanya tak seberapa?

Menteri Darmin acap kali menegaskan bahwa mereka yang kekayaannya di LN, dan para hartawan besarlah sasaran utamanya. Tapi mengapa di lapagan justru yang pas-pasan lah yang dikejar-kejar?

Perlu diingat bahwa asal-muasal pajak adalah dari pendapatan. Jika terus ditarik pajak, lalu pendapatan semakin berkurang, apa yang akan dikenai pajak untuk penerimaan negara nantinya? Bisa jadi ekonomi melemah.

Terbitnya angka 2% tebusan di naskah UU juga entah bagaimana kalkulasinya. Aspek legal atau akademis apa yang melandasi generalisasi tersebut? Di UU tak ada penjelasannya. Entahlah bagaimana di materi teknisnya, karena belum bisa saya akses.

Terbesitkah efek domino dari kebijakan ini? Orang enggan menyimpan uangnya di bank karena dikenakan pajak berlipat, mendorong meningkatkanya inflasi, iklim investasi melemah, dsb.

Dilihat dari progressnya pun, capaian target tax amnesty masih sangat rendah. Hingga saat ini tebusan pun belum sampai 1% dari target. Target yang terlalu ambisius atau kebijakan tidak efektif?

Oleh karenanya perlu perbaikan dan penjelasan lebih di beberapa bagian. Sasaran harus jelas. Perlu ada segregasi wajib pajak, supaya rakyat kecil tidak dirugikan. Karena adil tidak berarti sama.

Dan solusi lebih lanjutnya, perlu digiatkan lagi penerimaan non pajak untuk mengurangi dependensi terhadap pajak. Ada pengelolaan SDA yang bisa jadi penerimaan yang masif. Sayang memang, yang harusnya dikelola pemerintah justru banyak dikuasai asing.

Sehingga harapannya akan lahir kebijakan perpajakan yang efektif, efisien, dan adil demi menunjang pembangunan nasional.

--

--