Pergerakan Mahasiswa : Sejarah dan Implikasinya Terhadap Bangsa Indonesia

Fadhlan Ramadhan Sahid
Pangripta Loka
Published in
6 min readOct 17, 2019

Saat ini, pergerakan mahasiswa sedang kembali meraih momentum setelah bertahun-tahun “mati suri”. Ungkapan ini bermula dari salah satu kaum akademisi di salah satu kampus di Indonesia (pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi) yang akhirnya tersebar luas melalui media massa saat menyikapi serangkaian gelombang demonstrasi menentang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Ketenagakerjaan, RUU Sumber Daya Air, dan RUU Pemasyarakatan yang dinilai kontroversial. Alasan mahasiswa menentang ketujuh RUU ini setidaknya dapat dibagi menjadi beberapa alasan yang mencakup :

1. Pelemahan proses penegakan hukum

2. Ketidakselarasan isi RUU dengan UU yang telah berlaku

3. Ketidakberpihakan RUU terhadap kepentingan masyarakat secara adil dan merata

Kembali pada konteks pembahasan, pergerakan mahasiswa dalam dua puluh tahun terakhir dinilai mati suri karena tidak sevokal saat era pergerakan Reformasi pada tahun 1998. Gerakan Reformasi 1998 yang dimotori oleh mahasiswa di berbagai penjuru Tanah Air berlangsung secara masif sehingga membuat Presiden Soeharto terpaksa mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Namun, setelah peristiwa Reformasi tersebut, pergerakan mahasiswa mulai meredup hingga akhirnya memperoleh momentum kebangkitannya kembali menjelang Pelantikan MPR dan Presiden RI pada bulan Oktober 2019.

Sejarah Pergerakan Mahasiswa

Pergerakan mahasiswa Indonesia memiliki sejarah panjang, dimulai pada era Orde Lama setelah Gerakan 30 September (G30S) meletus pada tahun 1965. Saat itu, kelompok mahasiswa masih cenderung terpecah berbasiskan preferensi politik, termasuk kelompok mahasiswa yang kontra terhadap kedekatan Presiden Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia yang terlibat dalam G30S. Salah satu kelompok yang kontra terhadap PKI adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Kelompok tersebut ikut menggerakkan sebuah gerakan bernama Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang menuntut pemerintah menurunkan harga kebutuhan pokok, perombakan kabinet, dan pembubaran PKI seiring dengan carut-marutnya kondisi perekonomian Indonesia dan berguncangnya situasi politik, hukum, dan keamanan dalam negeri. Gerakan ini mendapatkan dukungan dari Letnan Jenderal Soeharto dan terus bergerak meskipun telah dilarang oleh Presiden Soekarno. Pada akhirnya, tahun 1967, pergerakan mahasiswa yang masif berhasil menyebabkan Presiden Soekarno terdesak mundur dan digantikan oleh Soeharto dengan menjadi Penjabat Presiden yang kemudian dilantik menjadi Presiden RI pada tahun 1968.

Presiden Soeharto mengawali lima tahun masa-masa terawal pemerintahannya dengan dukungan dari para mahasiswa dan masyarakat luas karena berani memulai keterbukaan Indonesia terhadap pasar global. Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintahan Soeharto mulai terindikasi melakukan tindakan berbau korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta cenderung pro terhadap investor dan pengaruh asing dengan dalih melaksanakan pembangunan nasional. Atas dasar tersebut, ditambah dengan kondisi ekonomi yang mulai memburuk, mahasiswa kembali turun ke jalan menyuarakan tuntutan pemerintahan yang bersih dari tindak KKN. Puncak dari keresahan tersebut adalah meletusnya peristiwa kerusuhan Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) pada tahun 1974 ketika 11 demonstran terbunuh akibat tindakan represif aparat keamanan saat aksi demonstrasi menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, untuk menentang investasi besar-besaran Jepang yang dinilai memunculkan kolonialisme gaya baru melalui ‘penjajahan ekonomi’.

Berakar dari masifnya gerakan demonstrasi mahasiswa pada tahun 1974, 1977, dan 1978 untuk menentang tindakan pemerintahan era Soeharto yang terindikasi melakukan perbuatan KKN dan pro asing, pemerintah akhirnya meluncurkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) melalui pembentukan Badan Koordinasi Kampus (BKK). Melalui penerapan kebijakan ini, pemerintah mulai membatasi aktivitas berbau politik di dalam kampus dan mengawasi seluruh kegiatan mahasiswa. Dekade 1980 ditandai dengan semakin terbatasnya kebebasan berekspresi di kampus-kampus di seluruh Indonesia sehingga mahasiswa mulai mengandalkan kegiatan diskusi di luar kampus secara diam-diam.

Namun, sejalan dengan membaiknya taraf ekonomi masyarakat Indonesia yang membuat semakin banyak masyarakat kelas menengah yang dapat mengakses pendidikan tinggi, kesadaran akan kebebasan berekspresi mulai berkembang di kalangan masyarakat usia muda Indonesia. Menyikapi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan PP №30 Tahun 1990 yang mendorong kebebasan akademis dan mendorong keterbukaan di kalangan masyarakat dengan embel-embel “kebebasan yang bertanggung jawab”. Meningkatnya kebebasan di kalangan akademisi menyebabkan sejumlah organisasi kemahasiswaan diperbolehkan untuk berdiri kembali, tetapi di saat yang sama muncul pertanyaan menyangkut batas-batas yang jelas terkait “kebebasan berekspresi”dan “bertanggung jawab” yang berpotensi disalahgunakan oleh pemerintah untuk menindak pihak-pihak yang menentang pemerintahan Orde Baru. Langkah pemerintahan Orde Baru untuk menerbitkan peraturan tersebut menjadi cikal-bakal dari kebangkitan pergerakan mahasiswa Indonesia. Mahasiswa dan civitas akademika kampus lainnya mulai banyak bersuara mengkritisi kebijakan pemerintah dengan berlindung di balik label ‘kebebasan akademik’.

Pada tahun 1997–1998, pergerakan mahasiswa meraih momentumnya saat perekonomian Indonesia luluh lantak akibat Krisis Finansial Asia dan peristiwa el-nino berakibat pada kekeringan berkepanjangan. Masyarakat yang marah atas kesulitan ekonomi dan maraknya KKN di kalangan pemerintahan menyebabkan mahasiswa beraksi dengan menggelar aksi demonstrasi di berbagai penjuru kota di Indonesia. Aksi demonstrasi semakin menjadi-jadi saat MPR RI memutuskan untuk melantik Presiden Soeharto untuk masa bakti periode ketujuh pada tahun 1998–2003. Tragedi Trisakti yang membunuh 4 mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 menjadi pemantik kerusuhan berdarah dan krisis multidimensi yang membuat Presiden Soeharto terpaksa mundur. Ia membacakan surat pengunduran diri di Istana Negara pada tanggal 21 Mei 1998 dan Wakil Presiden B.J. Habibie langsung diambil sumpahnya untuk menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soeharto yang mangkat lebih awal dari masa jabatannya.

Setelah peristiwa Reformasi 1998, aksi demonstrasi mahasiswa lebih sering terjadi seiring dengan meningkatnya kebebasan berekspresi. Namun, memasuki milenium baru pada tahun 2000, pergerakan mahasiswa mulai meredup. Meredupnya pergerakan mahasiswa disinyalir terjadi karena pesatnya perubahan gaya hidup yang menyebabkan mahasiswa memilih untuk bersenang-senang semata dan cenderung tidak sepeka dahulu dalam menyikapi persoalan yang berkembang di masyarakat. Selain itu, para tokoh mahasiswa yang aktif dalam gerakan Reformasi 1998 juga mulai masuk dalam lingkaran oligarki penguasa pemerintahan sehingga nilai-nilai idealisme yang dibawa oleh mereka lama-kelamaan meluntur.

Namun, semua situasi tersebut berbalik saat pemerintahan Presiden Joko Widodo bersama dengan DPR RI periode 2014–2019 berniat untuk mengesahkan RUU yang dinilai kontroversial menjelang akhir masa bakti DPR RI. Bermula dari keresahan masyarakat luas yang mencakup kalangan akademisi, aktivis, dan masyarakat umum lainnya akan RUU kontroversial tersebut, kalangan mahasiswa di seluruh Indonesia mulai menggalang kekuatan untuk melakukan aksi demonstrasi menentang pengesahan ketujuh RUU kontroversial tersebut. Aksi demonstrasi mencapai puncaknya pada 24 September 2019 di kota-kota besar di Indonesia dengan pusat aksi massa di depan gedung MPR/DPR RI di Senayan, Jakarta Pusat. Meskipun aksi demonstrasi ini tidak dapat mencegah disahkannya RUU KPK pada tanggal 17 September 2019, pergerakan mahasiswa berhasil mendorong Presiden Joko Widodo untuk meminta DPR RI menunda pengesahan sejumlah RUU kontroversial lainnya untuk meredam amarah mahasiswa sekaligus melakukan peninjauan ulang atas pasal-pasal kontroversial bersama seluruh lapisan masyarakat terkait.

Implikasi Pergerakan Mahasiswa terhadap Bangsa Indonesia

Berdasarkan pemaparan sejarah pergerakan mahasiswa di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa setiap pergerakan mahasiswa yang terjadi selalu didasari atas keresahan yang berkembang di masyarakat. Keresahan masyarakat akan ekonomi yang morat-marit dan KKN di lingkungan pemerintahan pada akhir masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Soeharto, pengekangan kebebasan berpendapat pada masa Presiden Soeharto, serta kekhawatiran akan mundurnya penegakan hukum pada era Presiden Joko Widodo telah mendorong mahasiswa untuk bergerak menyuarakan pendapat mewakili masyarakat Indonesia.

Poin lain yang dapat ditinjau dari pergerakan mahasiswa adalah pendapat mahasiswa dapat lebih didengar oleh pemerintah karena mahasiswa merupakan manusia terdidik yang mendapat kesempatan lebih untuk mengenyam pendidikan tinggi. Keterdidikan dan kemapanan ilmu yang dimiliki mahasiswa, digabungkan dengan idealisme mahasiswa untuk membawa perubahan sesuai ketentuan yang semestinya berlaku, membuat aspirasi yang disampaikan mereka menjadi lebih bermutu untuk kemudian diterima dan diterapkan oleh pemerintah. Hal ini tentu juga sejalan dengan peran mahasiswa sebagai agent of change, iron stock, social control, dan moral force suatu pemerintahan. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang menitipkan harapan pada mahasiswa untuk menyuarakan pendapat mereka.

Hal lain yang dapat dianalisis dari pergerakan mahasiswa adalah sejumlah pergerakan mahasiswa tersebut berhasil mempengaruhi kebijakan yang diambil pemerintah yang sedang berjalan. Presiden Soekarno dan Soeharto lengser salah satunya akibat desakan para mahasiswa, Presiden Joko Widodo menunda pengesahan sejumlah RUU kontroversial atas desakan mahasiswa, bahkan pada contoh kasus yang lebih buruk sekalipun Presiden Soeharto memutuskan untuk membungkam aktivitas pergerakan mahasiswa melalui kebijakan NKK/BKK karena menurut pemerintah saat itu pergerakan mahasiswa dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas negara akibat demonstrasi yang marak terjadi.

Pergerakan Mahasiswa dan Kaitannya Terhadap Revisi UU KPK

Revisi UU KPK menjadi topik hangat yang diperbincangkan seiring dengan maraknya berbagai pasal kontroversial di dalamnya, salah satunya yaitu perlunya penyidik KPK meminta izin kepada Dewan Pengawas setiap akan melakukan penyadapan terhadap terduga korupsi. KPK dan masyarakat luas menillai pasal ini dapat menghambat proses penindakan para terduga korupsi sehingga penegakan hukum terhadap para koruptor dapat terganggu yang berimplikasi pada terhambatnya program pemberantasan korupsi di Indonesia. Mahasiswa sebagai kalangan masyarakat terdidik ikut bersuara menyampaikan penolakannya atas RUU tersebut. Namun, RUU KPK terlanjur disahkan dan resmi berlaku pada 17 Oktober 2019.

Walaupun pergerakan mahasiswa masih belum dapat membuat pemerintah menunda pengesahan RUU KPK, akan tetapi pergerakan mahasiswa berhasil menjadi pemantik masyarakat untuk terus menyuarakan pentingnya Perppu untuk membatalkan UU KPK yang baru tersebut. Mahasiswa sebagai agen perubahan dan pelaku kontrol sosial terhadap pemerintahan yang berlaku kini sedang menjalankan perannya untuk terus mendesak pemerintah agar tidak melanjutkan penetapan UU KPK tersebut. Mahasiswa tetap perlu bergerak untuk menginisiasi perubahan karena suara mahasiswa sebagai intelektual yang memiliki idealisme tinggi merupakan representasi rakyat yang dinilai dapat meyakinkan pemerintah untuk mempertimbangkan kebijakan tersebut, sembari menyadari bahwa apa yang disuarakan mahasiswa merupakan keresahan dari segenap lapisan masyarakat Indonesia.

--

--