Ujian Demokrasi Mahasiswa melalui Unjuk Rasa RUU KPK

Josephine Emmanuel
Pangripta Loka
Published in
10 min readOct 15, 2019
(Sumber: Tribunnews.com)

Mahasiswa merupakan ujung tombak dari perjuangan reformasi akhir-akhir ini, yang mencangkup baik perubahan undang-undang yang dinilai kurang tepat oleh masyarakat hingga permasalahan lingkungan. Dengan unjuk rasa yang tak kunjung padam, mahasiswa terus menuntut agar suara masyarakat dapat didengar serta ditanggapi secara terbuka oleh pemerintah di tanah demokrasi tercinta. Lantas apa sebenarnya urgensi di balik kelakuan mahasiswa ini yang tidak jarang dipandang hanya membawa kerusuhan bagi negara?

LATAR BELAKANG RUU KPK

Pada tanggal 17 September 2019, DPR mengesahkan RUU KPK yang menghasilkan banyak pertanyaan dalam masyarakat, terutama dari kalangan para ahli yang paham akan implikasi perubahan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Berikut adalah sebuah infografis dari KOMPAS mengenai beberapa poin bermasalah yang ditemukan dalam RUU KPK:

(Sumber: KOMPAS.com)

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief sendiri mengatakan bahwa terdapat 26 bentuk pelemahan dalam revisi UU KPK, termasuk di dalamnya pemangkasan kewenangan komisioner dan keberadaan Dewan Pengawas KPK. Terlebih lagi, Syarief juga menyatakan terdapat kesalahan dalam pengetikan dalam revisi yang menandakan bahwa RUU KPK dirancang dengan terburu-buru dan tidak matang.

Syarief menilai bahwa kinerja KPK saat ini sudah baik dan tidak membutuhkan revisi undang-undang. Beliau menekankan bahwa banyak lembaga antikorupsi negara lain yang malah mencontoh KPK, salah satunya Perancis. Jika dilihat tren penindakan KPK selama kurun waktu 2015–2018, terjadi kenaikan dari jumlah penetapan tersangka dan jumlah kasus yang ditangani. Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan sepanjang tahun 2018, KPK telah menangkap sebanyak 261 orang tersangka dan menangani sebanyak 57 kasus, dibandingkan dengan tahun sebelumnya dimana hanya ditetapkan 128 tersangka dan 44 kasus.

Di sisi lain, DPR membela RUU KPK dengan menyatakan kinerja KPK sejauh ini belum mencapai target. Corruption Perception Index (CPI) dalam lima tahun terakhir ini cenderung stagnan. Skor CPI Indonesia tahun 2015–2018 berturut-turut adalah 36, 37, 37 dan 38 sedangkan Pimpinan KPK tahun 2015–2019 menargetkan skor Indonesia akan mencapai angka 50. Dengan demikian, DPR menilai bahwa sistem KPK harus ditinjau ulang sehingga menghasilkan revisi undang-undang ini.

Presiden Jokowi sendiri telah berjanji akan menguatkan KPK pada masa jabatan ini sehingga dapat dilihat bahwa rencana revisi UU KPK bukanlah suatu pemikiran yang mendadak. Namun permasalahan yang terjadi di sini adalah sebagian besar masyarakat menilai bahwa revisi yang telah disetujui bukannya menguatkan namun hanya akan melemahkan KPK.

UNJUK RASA MAHASISWA

Suara protes masyarakat terhadap revisi yang diduga melemahkan KPK ini akhirnya menemukan bentuknya dalam serangkaian unjuk rasa mahasiswa yang mulai dilakukan secara besar-besaran dimulai dari hari Kamis, 19 September dengan demonstrasi mahasiswa dari berbagai daerah di depan Gedung DPR Jl. Gatot Subroto, Jakarta. Unjuk rasa kemudian bertumbuh dalam skala seiring meningkatnya eskalasi isu RUU KPK hingga terjadi di beberapa daerah di seluruh Indonesia.

Berikut adalah sebuah infografis terkait lokasi-lokasi unjuk rasa mahasiswa dari Solopos:

(Sumber: Solopos.com)

Berikut adalah tujuh tuntutan mahasiswa yang juga ditampilkan dalam bentuk infografis Gejayan Memanggil dari Infia:

(1) Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP.
(2) Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia.
(3) Menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di
Indonesia.
(4) Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja.
(5) Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agraria.
(6) Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
(7) Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.

(Sumber: Infia.co)

Dalam unjuk rasa sejauh ini, sudah banyak mahasiswa yang mengalami luka berat dan beberapa bahkan kehilangan nyawa. Sejumlah mahasiswa meninggal dunia karena sesak nafas dalam kerusuhan demo di Jakarta, sedangkan dua orang mahasiswa di Kendari, Sulawesi tewas diterjang peluru.

RESPON TERHADAP UNJUK RASA MAHASISWA

Setelah beberapa waktu menjelang unjuk rasa, DPR sempat menanggapi suara tuntutan mahasiswa di depan Gedung DPR dengan mengundang sejumlah perwakilan mahasiswa untuk berdialog pada hari Senin, 23 September 2019. Namun dialog tersebut tidak membuahkan hasil dikarenakan perwakilan DPR yang terkesan kurang responsif, sedangkan mahasiswa terus menuntut adanya dialog terbuka dan transparan sehingga dapat didengar oleh seluruh masyarakat

Hari pertemuan tersebut berakhir dengan mahasiswa mengeluarkan sebuah mosi tidak percaya terhadap DPR. Bersama dengan mosi tersebut, unjuk rasa mahasiswa mulai terjadi di berbagai tempat di seluruh Indonesia seperti Medan, Lampung, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan beberapa kota lainnya.

Pada hari Kamis, 26 September 2019, Presiden Jokowi sendiri menanggapi unjuk rasa mahasiswa dengan mengapresiasi aksi unjuk rasa di berbagai daerah yang menurutnya merupakan bentuk dari demokrasi di Indonesia. Beliau pun kembali menekankan bahwa kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapat harus dijaga dan dipertahankan, asalkan tidak bersifat anarkis.

Bersamaan dengan perkataan tersebut, Presiden juga mengundang perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) datang ke istana untuk berdialog bersama pada hari Jumat, 27 September 2019. Namun mahasiswa menolak undangan tersebut dengan alasan perjuangan unjuk rasa tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa semata, namun juga berbagai kalangan masyarakat lain yang berhak mengetahui isi pertemuan antara mahasiswa dan pemerintah. Maka segala bentuk pertemuan tertutup tidak diindahkan oleh mahasiswa yang terus mendorong adanya pertemuan transparan dan terbuka di hadapan seluruh masyarakat.

Di sisi lain, beberapa pihak menghimbau agar mahasiswa tidak melakukan demonstrasi. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekrikti) Mohamad Nasir meminata rektor perguruan tinggi di seluruh Indonesia untuk tidak membiarkan mahasiswa mengikuti aksi unjuk rasa. Beliau berpendapat bahwa rektor seharusnya bertanggung jawab atas tindakan unjuk rasa mahasiswa dimana penyampaian pendapat dari insan akademisi seharusnya dilakukan melalui dialog di kampus, bukan melalui demonstrasi.

Namun pendirian mahasiswa tetap kuat, yaitu mahasiswa mendorong untuk adanya ruang dialog yang terbuka dan transparan sehingga dapat disimak oleh seluruh masyarakat sebagai perwujudan demokrasi Indonesia.

MEKANISME PERJUANGAN RUU KPK

Lantas apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan oleh mahasiswa baik di lapangan luar maupun di dalam ruangan?

Meski telah disahkan oleh DPR, namun Presiden belum menandatangani RUU KPK sehingga sampai kini undang-undang tersebut belum diberlakukan.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, batas waktu Presiden menandatangani revisi adalah 30 hari setelah revisi tersebut disetujui. Namun revisi undang-undang yang tidak ditandatangani oleh Presiden pun akan tetap sah menjadi undang-undang setelah masa 30 hari tersebut telah berlalu, yaitu tepatnya pada hari Kamis, 17 Oktober 2019 ini.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU)

Pasal 73 ayat 1, ‘Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.’

Pasal 73 ayat 2, ‘Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.’

Mahasiswa berpandangan bahwa RUU KPK sebisa mungkin harus dapat diselesaikan sebelum akhir tenggat waktu 30 hari tersebut karena apabila sudah menjadi sebuah undang-undang namun kemudian diubah kembali tentu akan menurunkan impresi kuasa hukum di Indonesia, dengan undang-undang yang begitu mudahnya disahkan dan direvisi ulang.

Sekarang bila ditinjau dari prosedur hukum, keinginan masyarakat untuk menanggapi RUU KPK dapat dilakukan melalui tiga metode: (1) legislative review, (2) judicial review, dan (3) executive review melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Presiden.

  • Legislative Review

Legistlative review adalah peninjauan kembali undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang biasanya diadakan pada awal masa pemerintahan. Undang-undang yang dinilai kurang tepat dapat direvisi kembali. Pada kasus ini, dapat kita bayangkan bahwa legislative review dapat dilakukan sesudah pelantikan Presiden pada hari Minggu, 20 Oktober 2019 ketika negara tengah memasuki masa pemerintahan baru.

Namun bagi mahasiswa, legislative review bukan lagi suatu metode pilihan karena masyarakat pada umumnya telah kehilangan kepercayaan dalam wakil rakyat. Terlebih lagi, wakil rakyat sendirilah yang mengesahkan RUU KPK tersebut sehingga dapat dibayangkan besarnya dukungan partai-partai politik terhadap perubahan yang dimuat. Dengan iklim seperti itu, legislative review yang diajukan mungkin tidak akan membuahkan hasil.

  • Judicial Review

Judicial review adalah peninjauan kembali undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Undang-undang yang ditemukan bermasalah dapat dibatalkan. Judicial review dapat dilakukan melalui dua metode pengujian, yaitu uji materiil dan uji formil. Uji materiil adalah pengujian atas materi muatan undang-undang, uji formil adalah pengujian atas pembentukannya.

Contohnya, UU KPK hasil revisi dapat ditemukan bermasalah dalam uji materiil apabila di dalamnya terdapat pasal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan melalui uji formil, UU KPK hasil revisi dapat ditemukan bermasalah karena dalam proses perancangan maupun pengesahan undang-undang tersebut, rapat paripurna hanya dihadiri oleh 80 dari 560 anggota DPR.

Jalur judicial review ini telah ditempuh sebagian mahasiswa dengan pengajuan judicial review RUU KPK, baik dalam bentuk uji formil maupun uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi sehari setelah disahkan oleh DPR, yaitu pada tanggal 18 September 2019.

Sidang pertama pun telah diselenggarakan pada tanggal 30 September 2019, namun kesimpulan dari sidang tersebut menyatakan bahwa pengajuan uji materi terhadap RUU KPK tidak memiliki kepastian dan perlu diperbaiki oleh penggugat. Ketidakpastian berakar dari revisi undang-undang yang belum dinomorkan sebagai undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi hanya dapat menangani persoalan perundang-undangan.

  • Executive Review

Executive review adalah peninjauan kembali undang-undang oleh Presiden sendiri. Presiden memiliki hak untuk menyelesaikan persoalan yuridis yang bersifat mendesak dengan mekanisme Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu yang diterbitkan oleh Presiden kemudian akan disidangkan lebih lanjut oleh DPR dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Perppu Menjadi Undang-Undang, dimana serupa dengan mekanisme pembahasan RUU, DPR hanya dapat menerima atau menolak Perppu. Perppu yang ditolak oleh DPR harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Permintaan mahasiswa agar Presiden mengeluarkan perppu telah ada sejak awal unjuk rasa, namun baru disampaikan secara langsung dalam pertemuan sejumlah mahasiswa dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Istana Merdeka pada hari Kamis, 3 Oktober 2019. Dalam pertemuan tersebut, para mahasiswa juga memohon agar Presiden membuat agenda jajak pendapat antara pemerintah dan mahasiswa secara terbuka dan transparan. Permintaan tersebut diharap dapat ditanggapi sebelum hari Senin, 14 Oktober 2019 dengan catatan apabila Presiden tidak juga memberi pernyataan, maka akan ada gerakan lebih besar lagi dari mahasiswa.

Harapan mahasiswa agar Presiden mengeluarkan perppu dikarenakan sebelumnya Jokowi sempat melunak terhadap tuntutan mahasiswa dan menyatakan bahwa Beliau akan mempertimbangkan perppu RUU KPK, beserta tuntutan-tuntutan lainnya, namun dengan kajian yang menyeluruh dan komprehensif. Wujud dari perkataan tersebut merupakan pertemuan Jokowi di Istana Negara dengan sejumlah tokoh-tokoh masyarakat pada hari Senin, 23 September. Di antara tokoh-tokoh tersebut terdapat budayawan, ahli hukum, seniman, hingga pengusaha yang dinilai dapat melengkapi pandangan dalam kajian terkait berbagai isu yang menjadi tuntutan unjuk rasa.

Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa Perppu. Tentu saja ini kita hitung, kalkulasi dan nanti setelah itu akan kita putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini.

Hal itu disampaikan Jokowi usai bertemu puluhan tokoh di Istana Merdeka. Dalam pertemuan yang berlangsung dua jam itu, Jokowi mengaku mendapat masukan dari para tokoh untuk menerbitkan perppu KPK untuk menjawab tuntutan mahasiswa. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda perppu akan dikeluarkan oleh Presiden.

MUNCULNYA ISU PEMAKZULAN

Di tengah ketengangan penantian tindakan dari Presiden terkait pengeluaran perppu, beredar perkataan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang memperkenalkan kemungkinan terjadinya sebuah pemakzulan apabila Presiden salah mengambil keputusan terkait perppu.

Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana (MK). Presiden kita paksa keluarkan perppu, ini justru dipolitisasi. Salah-salah presiden bisa di-impeach (dimakzulkan) karena itu.

Perkataan tersebut seketika menuai banyak tanggapan dari berbagai tokoh masyarakat, salah satunya Mantan Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki yang kukuh menyatakan Presiden tidak memiliki risiko hukum apabila menerbitkan perppu.

Berikut adalah infografis dari Katadata terkait tindakan pengeluaran perppu serta enam kondisi pemakzulan yang dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 7A yang tampak tidak ada kaitannya dengan penerbitan perppu:

(Sumber: Katadata.co.id)

Terlepas dari apabila perppu dapat menyebabkan pemakzulan Presiden, mahasiswa ikut mempertanyakan maksud sang ketua partai politik dalam menyatakan hal tersebut.

KESIMPULAN

Unjuk rasa mahasiswa melambangkan suatu keresahan masyarakat; keresahan yang tidak sekedar diakibatkan dari perubahan beberapa peraturan pemerintah, melainkan dari sifat pemerintah itu sendiri. Karena respon yang diberikan oleh sosok-sosok pemerintah terhadap unjuk rasa bagi kami merupakan sebuah simbol dari kedewasaan demokrasi di negara ini. Iklim politik negara yang begitu keruh mengakibatkan pemimpin-pemimpin menjauhkan diri dari wadah jajak pendapat transparan sehingga kami sebagai rakyat hanya dapat menerka-nerka melalui peristiwa seperti unjuk rasa.

Maka berawal dari wakil rakyat yang tampak tidak pernah mendengarkan suara rakyat hingga figur-figur politik yang seakan merendahkan pemikiran rakyat, mahasiswa terus mencari sebuah titik pengharapan yang menyatakan bahwa demokrasi pancasila masih hidup dan patut diperjuangkan. Setiap bentuk unjuk rasa merupakan sebuah permohonan kepada pemerintah untuk menjaga harapan tersebut tetap ada dalam hati masyarakat.

Ketika kami telah dikecewakan oleh begitu banyak tokoh pemerintahan, kami hanya dapat melayangkan pandang kepada satu sosok pemimpin negara yang kami sendiri telah tentukan atas diri kami. Sekalipun seluruh pemerintah telah melupakan rakyat, akankah Beliau mengingat mereka?

Sejujurnya mahasiswa mengerti risiko dari tindakan-tindakan mereka dan mereka pun paham bahwa mereka mungkin harus memperjuangkan demokrasi dengan kedua tangan mereka sendiri. Namun sebelum kami berjuang sendiri, kami hanya perlu tahu apakah masih ada satu orang pun di atas sana yang masih memperjuangkan kami? Sekalipun terdapat begitu banyak kendala dan risiko politis, kami hanya meminta sebuah pernyataan bahwa kami masih dipedulikan dan ketahuilah bahwa kami akan memberikan seluruh tenaga, jiwa, dan raga kami untuk mendukung mereka yang peduli karena kami akan terus melindungi demokrasi yang merupakan hati dari Sang Rajawali itu sendiri.

Maka mahasiswa akan terus berteriak, berusaha untuk memperdengarkan suaranya barangkali di ujung sana akan terdengar sebuah jawaban dan kami masih dapat menjaga harapan demokrasi ini tetap hidup.

--

--