Untuk Kampung Kota yang Sedang Dalam Kenangan

Naufal R. Indriansyah
Pangripta Loka
Published in
4 min readDec 22, 2016
Sumber: http://cdn.img.print.kompas.com/getattachment/063f2384-eea2-436b-8b0c-0f6185ad53b3/258225

Semasa kecil, aku hidup berbatasan dengan sebuah kampung. Di balik tembok di depan rumah, ada kebun pisang yang tak seberapa luas, lalu ada sungai juga, dan di seberang sungai itu lah kampungnya. Kata temanku, di kampung itu banyak babi. Setiap malam, aku mendengar suara gemericik air dan juga suara babi. Entah memang suara babi seperti itu, atau babi-babi itu sedang digorok, aku tidak tahu.

Semasa kuliah, aku pernah tinggal di kampung. Kampungnya bersebelahan dengan kebun binatang. Keluar gang, belok sedikit, dan di situlah gerbang kebun binatangnya. Setiap malam aku mendengar suara gajah. Entah jika suara gajah memang seperti itu, yang jelas tidak mungkin gajah-gajah itu sedang digorok.

Begitu bohong jika aku mengaku-ngaku kalau aku adalah orang kampung atau orang desa. Nyatanya, aku lahir di kota, dan selalu tumbuh besar di kota. Kampung-kampung itu ada dan hidup saat aku lahir, dan ikut tumbuh seiring aku mulai tidak pipis di celana lagi. Mereka mungkin telah ada beratus-ratus tahun sebelum aku lahir. Nyatanya, aku tidak pernah menjadi bagian dari kampung kota, tapi aku bagian dari kota.

Jarak itu begitu meresahkan. Jarak itu, sadar atau tidak, begitu jauh dalam hal ruang, waktu, dan kenyataan. Jarak itu membuat kampung kota terus menghilang satu per satu. Tanpa adanya pembelaan. Tanpa adanya kepedulian. Dan lalu mereka dilupakan.

Masuk ke sebuah kampung, berkenalan dengan ketua RT/RW, meminta izin, bermain dengan anak-anak, lalu membuat sebuah acara yang kita sebut “pengmas” tidak memperpendek jarak itu. Apalagi, jika kita hanya lewat saja. Karena pada akhirnya, kita kembali menjadi warga kota tanpa adanya kesadaran akan kampung kota di dalamnya.

Maka, kita di hadapkan fakta bahwa kampung dan kota adalah berbeda. Bahwa istilah “kampung kota” begitu naif, karena “kota” dalam kampung kota adalah mahluk yang egois. Tapi adakah harapan bahwa kampung kota (akan) menjadi bagian dari kota? Bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan, terutama jika kita bicara tentang kota-kota di Indonesia?

Dalam sebuah tulisan milik Anthony Sihombing, bertajuk The Transformation of Kampungkota: Symbiosys between Kampung and Kota, kita berkaca pada interdepedensi kampung dan kota. Menengok kota Jakarta sebagai studi kasusnya, ia menyimpulkan bahwa transformasi kota Jakarta, merupakan hasil dari simbiosis antara kampung dan kota. Kampung memerlukan sesuatu dari kota, dan sebaliknya. Contohnya, warga kampung memerlukan pekerjaan di kota, dan kota tentunya memerlukan tenaga kerja dari kampung tersebut. Hal ini juga terlihat dalam fenomena PKL, bahwa banyak dari mereka yang tinggal di kampung, dan warga kota yang kelaparan kerap kali memerlukan PKL sebagai bahan bakar aktivitas mereka (makan dan minum).

Dalam hal sosio-kultural, keduanya juga terkait. Kondisi yang secara efektif mempertahankan gaya hidup kampung, secara tidak langsung mempengaruhi gaya hidup kota. Maka dari itu, pembangunan kota bergantung dari berbagai cara dalam kotanisasi kampung dan juga kampungisasi kota.

Bicara soal jarak dalam konteks waktu, ada pula tulisan (yang sebenarnya sebuah catatan pidato) milik Prof. Ir. Bakti Setiawan, MA, Ph.D.. Ia menjelaskan sedikit pandangan historis terhadap kampung kota. Sejak awal abad ke-20, istilah kampung telah muncul dalam program pemerintah kolonial Belanda, yakni Kampung Verbechting. Di Surabaya, sejak awal, pemerintah kolonial Belanda telah memisahkan secara tegas antara warga biasa atau warga kampung (Indlandsche Gemeente) dengan warga priyayi, pamong praja, atau gedongan (Stads Gemeente). Penggunaan istilah kampung lalu muncul lagi dalam Program Perbaikan Kampung atau Kampung Improvement Program yang diluncurkan pada awal tahun 1960-an.

Kampung, pada hakikatnya tak dapat dipisahkan dalam perkembangan kota di Indonesia:

Like almost everything, urban development in Indonesia took a dualistic course (…) : tale of two cities. This Implies that we have formal high stancard, rational settlement/urban development copied from developed countries, especially the ‘west’. Super imposed on it, we easily can find the second city, indigenous, informal yet very natural and human in its development, locally known as the ‘kampung’. (Indrayana, Silas, 1985, p.4, dikutip dari Sandi A Siregar, Bandung the Architecture of a City in Development, 1990)

Pada akhirnya, kampung dan kota merupakan istilah yang tidak terpisahkan. Kampung kota telah menjadi tempat dimana sejarah luhur bersemayam. Dari situ, kita menemukan berbagai pembelajaran seperti konsep compact city ataupun housing autonomy. Dalam Kampung Kota sebagai Sebuah Titik Tolak dalam Membentuk Urbanitas dan Ruang Kota Berkelanjutan, Agung Cahyo Nugroho berkesimpulan bahwa kampung kota merupakan titik tolak dalam menemukan urbanitas baru di Indonesia, karena mampu menjadi kunci dalam membina kehidupan perkotaan yang lebih baik.

Selain itu, Jo Santoso, dalam Memahami Transformasi Urban di Asia: Belajar dari Kasus Jakarta juga menekankan tentang pentingnya eksistensi kampung kota dalam restrukturisasi sosial. Kampung kota selain sebagai tempat tinggal, merupakan tempat berkembangnya aktivitas ekonomi. Aktivitas skala kecil dalam kampung kota selain merupakan tumpuan kehidupan warganya, juga merupakan wadah adaptasi bagi para migran (dari desa). Kampung kota merupakan tempat para migran ini belajar hidup bersama dan berkolaborasi dengan latar belakang etnis, agama dan kultur yang berbeda. Proses ini penting, mengingat di belahan kota lain tidak ada lagi interaksi sosial dan koeksistensi antara warga kota.

Pada akhirnya, terdapat beribu alasan untuk tetap mengingat bahwa kampung kota tidak dapat dipisahkan dalam konteks kota, serta untuk tetap mempertahankan eksistensi kampung kota. Namun, alasan tersebut tidak pernah ada dalam diri kita sebagai warga kota. Apalagi, dalam diri para penguasa kota. Maka alasan tersebut menguap, dan hanya mampu terefleksi dari senda gurau ibu-ibu di gang-gang, tawa ceria anak-anak yang bermain di kolong jalan layang, serta kepul asap rokok bapak-bapak di pondok bambu.

Sebuah refleksi yang enggan kita lihat, entah karena tidak peduli, atau karena sadar bahwa hal tersebut terlalu buruk rupa untuk diterima.

Dan dari situlah muncul sebuah keraguan dalam tiap ketukan untuk menulis tulisan ini. Tetapi ada sebuah keyakinan kecil yang aku pegang untuk tetap menyelesaikan tulisan ini. Setidaknya, meski aku tidak pernah menjalin hubungan mesra dengan kampung kota, aku pernah merasakan sentuhannya. Hal itu menjelma menjadi sebuah kerinduan, dan berujung pada amarah dan penyesalan saat mengetahui bahwa kampung-kampung kota ini dimusnahkan. Dan tulisan ini, mudah-mudahan mampu sedikit meredakan semuanya: rasa rindu, amarah, dan penyesalan, meski tidak memperpendek jarak antara aku dan mereka.

Karena mungkin aku hanya rindu pada suara babi, atau suara gajah di tengah malam.

--

--

Naufal R. Indriansyah
Pangripta Loka

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between