Mengapa Aku Benci Sekolah Tapi Suka Belajar

Ketika seorang millennial dihadapkan dengan dunia terbuka tapi terkekang oleh pemikiran tertutup. Bagaimana hasilnya?

Arfian Adam
Paradork

--

Books!

Disclaimer: Tulisan ini merupakan sebuah cerita tentang seseorang yang saya kenal. Tidak ada penjelasan ilmiah atau bukti riil apapun tentang apapun yang saya tulis di sini. Justru, ini semua adalah opini.

The world is moving so fast these days that the man who says it can’t be done is generally interrupted by someone doing it. — Elbert Hubbard

Ada seorang millennial yang lahir sekitar tahun 1995 di Surabaya. Dia lahir di keluarga yang baru saja menikah setahun sebelumnya, membawa harapan besar (?) sebagai anak pertama yang akan menjadi panutan bagi saudara-saudaranya.

Setidaknya dalam “pendidikan” dan “kedudukan”, anak pertama sering diharapkan dan akan sangat wajar jika memiliki derajat yang lebih tinggi daripada saudara-saudaranya yang lebih muda, bahkan daripada saudara sepupu yang lain (dalam keluarga besar). Terkadang orang tua pun rela memberi budget lebih besar kepada anak pertama dalam banyak hal: pendidikan, mainan, makanan, kursus dan sampai-sampai perhatian. That’s right, affection is a commodity that can be distributed too. Somehow keadaan seperti itu seringkali membentuk anak pertama yang lebih cerdas daripada saudaranya yang lain. Ada studinya lho, ini untuk yang lebih suka dalam bentuk riset.

Begitu pula dengan orang ini, setelah saya kutip dari orang tua dan guru-gurunya, sejak kecil sudah menunjukkan kemampuan yang lebih baik di usia yang lebih muda daripada teman-temannya. Mulai hitung-hitungan, membaca, olahraga maupun interaksi dengan orang-orang di sekitarnya. Lalu itu juga yang menjadi alasan kenapa orang tuanya memutuskan untuk mendaftarkannya ke SD di usia yang belum cukup pada saat itu.

Belajar

Nilai sempurna, atau minimal nilai sembilan, sudah menjadi kebiasaan bagi anak itu. Dia juga menikmati rangking-rangking tiga besar yang selalu disabet tiap semester dan dia cukup berbangga atas pencapaiannya. Matematika, PPKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, apapun mata pelajarannya, lembar-lembar ujian itu selalu diikuti dengan angka satu, nol, atau sembilan (kecuali Bahasa Jawa, pelajaran itu hanya milik anak-anak yang rajin dan pandai menghafal).

Memang, menghafal bukanlah field terbaiknya. Anak itu lebih menyukai belajar dengan menalar, dengan mencoba-coba dan dengan memvisualisasikan. Keingintahuannya juga cukup besar, dia sering bikin repot orang tuanya dengan menanyai hal-hal yang trivial seperti mengapa kucing punya empat kaki, dimanakah kiblat itu, mengapa harus sekolah, sampai hal-hal yang fundamental seperti siapakah Allah, dimanakah surga dan neraka, bagaimana matahari bisa terbit dari timur dan tenggelam di barat setiap harinya, dan lain-lain.

Sampai pada suatu hari ketika tantenya pulang dari Mesir dan membawa satu tas besar super berat berisi bermacam-macam ensiklopedia. Matanya menyala-nyala. Dibawanya tas besar itu ke dalam kamar lalu menjadikannya bahan bacaan setiap hari. Buku-buku itu baginya cukup menarik untuk dibaca, karena tidak penuh dengan tulisan namun ada satu-dua ilustrasi di tiap beberapa halamannya. Meskipun ditulis dengan bahasa Inggris, dia sudah menyiapkan buku kamus di sampingnya untuk mencari kata-kata yang tidak dipahaminya. Tidak pernah dalam hidupnya dia menemukan harta karun seberharga itu. Semua itu terjadi di kelas 4 SD.

Setelah menamatkan semua buku-buku itu, suatu hari dia diantarkan oleh bapaknya ke sumber harta karun yang lain. Persewaan buku. Dipilihlah satu buku yang memang sudah ia sukai sejak film pertamanya rilis. Harry Potter. Seperti biasa, kamus besar milik bapaknya selalu menemaninya dalam perjalanannya ke Hogwarts. Satu persatu dihabiskannya sampai buku kelima dan itu adalah buku terbaru. Half Blood Prince belum rilis.

Minat baca anak itu tidak terbendung, namun yang paling ia sukai, yang dapat menyalakan matanya paling terang, adalah buku ensiklopedia. Mulai dari yang bergambar sampai yang tidak bergambar sama sekali seperti Encyclopedia Americana. Kakeknya memiliki satu set lengkap dan satu-persatu juga ia baca.

Yang bikin heran, anak itu jarang atau tidak pernah terlihat “belajar”. Magically nilai rapornya bisa menyamai nilai rapor teman sekelasnya yang belajar dengan susah payah — les kesana kemari. Atau memang haruskah dia belajar dengan susah payah? Harus les kesana kemari?

Mungkin tidak. Mungkin anak itu memiliki cara belajarnya sendiri.

Dia belajar matematika dengan sedikit mendengarkan guru lalu banyak mencoba-coba sendiri, yang kemudian memberikan pembelajaran lebih daripada sekedar mendengarkan atau membaca. Dia belajar Bahasa Indonesia dengan membaca novel, membaca kamus, menulis puisi dan bahkan dia bisa belajar Bahasa Indonesia melalui tulisan-tulisan di koran. Dia belajar IPA dengan membaca ensiklopedia dan mengamati kejadian-kejadian di sekitarnya lalu menghubungkannya dengan apa yang dia baca di buku. Dia belajar Bahasa Inggris, tenses dan vocabulary, dengan membaca novel dan ensiklopedia berbahasa Inggris. Dia belajar PPKn selain dari buku pelajarannya, juga dari pengamatannya di dalam keluarganya, teman-temannya di sekolah, teman-temannya di tempat mengaji, dan lain-lain.

Apakah “belajar” adalah ketika dia membaca buku pelajaran sekolah, mendengarkan gurunya berbicara dan mengikuti segala kegiatan sekolah? Mungkin iya bagi orang lain. Namun baginya lebih dari itu.

Baginya “belajar” adalah apapun yang dapat membuatnya berpikir dan mengetahui hal baru. Baginya “belajar” adalah ketika dia bisa bangun tengah malam demi bisa bebas mengamati periode daerah gelap bulan secara langsung tanpa disuruh bapaknya tidur. Baginya “belajar” adalah ketika dia mencoba-coba rumus keliling persegi panjang dan menemukan cara menghitung yang lebih cepat.

Baginya “belajar” adalah mencoba dan gagal lalu bangkit.

Baginya “belajar” adalah sumber cahaya dari gelapnya ketidaktahuan.

Mencontek

Sekolah pasti memiliki ujian atau ulangan sebagai alat untuk mengevaluasi murid-muridnya. Tidak terkecuali sekolah dasar dimana anak itu belajar. Dia pun, sama seperti teman-temannya, mempersiapkan diri dalam menghadapi ulangan akhir semester. Ulangan mata pelajaran pertama dikerjakan dengan baik, meskipun sempat mengantuk karena harus menunggu waktu ulangan habis untuk bisa istirahat di luar kelas. Namun ada yang aneh di mata pelajaran yang kedua. Jika oleh pengawas sebelumnya bahkan untuk sekedar menoleh saja sudah ditegur, pada saat itu dia melihat teman-temannya bertukar jawaban.

Lalu sang guru berkata, “Jangan rame-rame ya.”

Saat itu juga anak itu merasa dikhianati. Dia merasa hakikat “belajar” yang telah ia cintai ternoda oleh ucapan guru tersebut. Baginya kegiatan contek mencontek itu sendiri sudah cukup hina, apalagi kegiatan contek mencontek yang didukung oleh seorang guru, seorang manusia yang harusnya mengajarkan nikmatnya belajar itu sendiri, seorang manusia yang memberi contoh kebaikan dan memperbaiki penyimpangan, seorang manusia yang menjaga kebersihan ilmu.

Baginya mencontek adalah tindakan hina, karena itu adalah upaya mendapatkan sesuatu yang bukan miliknya. “Masak gak belajar bisa dapet nilai bagus?”. Mencontek juga mengakibatkan ketidakadilan di antara pelajar lain. Bayangkan, ketika si Fulan belajar susah payah semalam sebelum ujian hanya untuk mendapatkan nilai 80, si Fulanah bisa mendapatkan nilai 90 hanya dengan mencontek. Super evil.

Ini masih di ulangan harian, pikirnya. Kalau di ujian masuk SMP Negeri? Ada berapa banyak anak jujur yang harus “mengalah” dengan anak-anak yang mencontek?

Lalu itu terjadi terus menerus sepanjang minggu.

Bahkan pada saat hasil ulangan dibagikan, tidak sedikit mata pelajaran yang nilainya lebih kecil dibanding teman-temannya yang mencontek. Dia kalah oleh orang yang mencontek, dia kalah oleh orang yang harusnya tidak menang. Akhirnya semester itu dia tidak bertahta di rangking tiga besar. Gurunya pun sempat menanyakan alasan mengapa rangkingnya turun. Dia hanya diam.

Lalu itu terjadi terus menerus sepanjang tahun, sampai Uji Kendali Mutu di tahun 2006 (ujian kelulusan yang nilainya digunakan untuk seleksi masuk SMP Negeri).

Pengawas ujian juga memperbolehkan peserta ujian saling bertukar jawaban dengan syarat yang mudah: “Jangan rame”. Untuk melengkapi kejadian ironis itu, sebelum ujian, gurunya meminta agar dia tidak pelit untuk memberikan jawabannya ke teman-temannya. Saling membantu, ujarnya.

Pada bagian hidup itulah anak itu menyadari bahwa “belajar”, bagi sekolah, bukanlah tentang menjadi lebih baik, bukanlah tentang cara berhitung, bukanlah tentang memahami alam dan manusia. “Belajar”, bagi sekolah, adalah tentang angka-angka yang tertera di ijazah dan lima huruf yang ditulis besar-besar: L, U, L, U, S.

Terkekang

Sejauh mata memandang, apapun yang ada di dunia ini adalah untuk dipelajari. Setidaknya itu yang dia masih yakini.

Termasuk dunia komputer. Bapaknya memberi hadiah sebuah set komputer lengkap dengan layar monitor pada kenaikan kelas 5 SD. Komputer itu berprocessor Intel Pentium 3 dengan kecepatan 1 Gigahertz dan RAM berkapasitas 384 Megabytes. Tidak istimewa. Bintang dua. Masih kalah jauh dengan komputer milik temannya yang sudah Pentium 4 dengan RAM 1 Gigabyte, apalagi dengan tambahan GPU NVidia.

Namun ternyata, selain buku, dia juga jatuh cinta pada dunia komputer.

Setiap sepulang sekolah matanya tertuju pada CRT sebesar 20" di kamar belakang. Semua dicoba, mulai dari aplikasi Microsoft Office, Minesweeper, Paint, Internet Explorer, Photoshop, Need for Speed Underground, Windows Registry, sampai Windows Startup Manager. Sama halnya dengan ketika membaca ensiklopedia, matanya menyala-nyala. Komputer ini benda ajaib, bisa apa saja, gumamnya. Sejak itu kecintaannya terhadap komputer mulai melebihi kesenangannya terhadap yang lain.

Termasuk “belajar” mata pelajaran di sekolah.

Dia sudah bukan lagi pemegang tahta rangking tiga besar di kelasnya, lima besar pun sudah kesusahan. Perhatiannya terpecah antara “belajar” mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan “bermain” komputer. Nilainya turun drastis di segala bidang, dan tentunya itu mengundang tanda tanya besar dari orang tuanya. Tidak jarang dia ditegur dan kadang dimarahi bapaknya. Semua berujung dengan dikuncinya kamar belakang tempat PC itu berada.

Apa anak itu kapok? Malah sebaliknya.

Usaha warnet di daerah rumahnya mulai menjamur. Ketika apa yang dia sukai dibatasi, dia pun “memberontak”. Dia rela menahan lapar di sekolah demi menabung uang sakunya untuk merental komputer di warnet. Di luar dugaan, meskipun dia harus mengeluarkan uang hanya untuk menggumuli komputer, bermain di warnet memiliki added value tersendiri. Adanya internet malah membuka semua kemungkinan-kemungkinan yang bisa dia pelajari. Lalu anak itu menyadari, komputer dan internet bukanlah suatu hal yang menggantikan kecintaannya terhadap “belajar”, tapi komputer dan internet adalah alat, perantara, media yang membantunya menjelajah dunia dengan lebih baik, lebih fleksibel, lebih cepat, lebih luas.

Photoshop tutorial, hacking tutorial, how to create a blog, how adsense works, HTML CSS tutorial, how to make a computer virus, how to snoop Wifi network, Corel tutorial, how to download faster, where to download movies, Microsoft Word tips, itu adalah sebagian dari keywords yang dia masukkan di mesin pencari.

Lalu dia menyadari bahwa dia tetap mencintai membaca, bereksperimen, berdiskusi dan menyelami ilmu pengetahuan. Dia tetap suka belajar. Namun bukan pelajaran sekolah.

Tentunya, seluruh semesta tidak mendukungnya (?). Gurunya juga mulai aware tentang teralihkannya perhatian anak itu. Akhirnya dicarilah sebuah solusi agar anak itu bisa “kembali lurus”. Solusinya dengan hukuman, tentunya. Satu kelas diminta untuk melaporkan siapa saja yang bermain di warnet di hari sekolah kepada Bu Guru. Tentu, “siapa saja” ya berarti hanya anak itu. Dia juga mengetahui adanya peraturan itu.

Besok harinya anak itu langsung dipanggil ke ruang guru karena di sore hari pengumuman peraturan itu, dia tetap langsung ke warnet. Kebetulan warnet itu dekat rumah salah satu temannya. Dan dia melapor. Hari itu dia mendapatkan peringatan lisan secara tegas untuk tidak mengulanginya kembali. Guess what? Besoknya dia dipanggil kembali, kali ini ke ruang kepala sekolah.

Dia sama sekali tidak merasa bersalah, karena memang tidak ada peraturan sekolah yang dilanggarnya. Bolos? Tidak, dia hanya bermain sepulang jam sekolah. Justu dia mangkel karena sekolah menganggap apa yang dilakukannya adalah perbuatan sia-sia, perbuatan yang nakal. Padahal dia merasa belajar banyak sekali hal yang tidak dipelajari di sekolah, hal-hal yang membuatnya semakin haus dan bersemangat untuk kembali duduk di depan layar komputer. Padahal nilai sekolahnya masih dibilang baik. Padahal dia melakukan hakikat dan tujuan utama dari “bersekolah” itu sendiri, menjadi haus akan pembelajaran. Dia tidak berbuat salah. Dia tidak berbuat sesuatu yang “nakal”. Tapi sepertinya, bagi sekolah, “belajar” adalah membaca buku teks pelajaran sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, duduk manis di kelas, “nilai” yang baik, dan daftar hadir yang penuh. Bagi sekolah, dia adalah anak nakal.

Tanpa merasa bersalah, anak itu hanya mengiyakan apa yang dikatakan oleh bapak dan ibu guru. Sebenarnya anak itu ingin sekali membantah, ingin sekali memberi pembelaan, ingin sekali melindungi idealismenya terhadap “belajar” yang dia yakini. Dia mengerti dia hanyalah seorang anak kelas 5 SD, jauh lebih muda dibanding mereka, tapi mengapa penjelasan mereka tidak masuk akal dan tidak dapat dimengerti?

“Nanti nilaimu turun.” Lalu? Toh nilai TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi)-nya tetap tertinggi daripada teman-temannya yang lain, bahkan nilainya selalu konsisten di angka sembilan. Apakah pengetahuan tentang teknologi tidak lebih penting atau tidak sama pentingnya dari pengetahuan yang lain? Dia tidak pernah meremehkan pelajaran atau bidang pengetahuan lain, karena kehidupan kita juga adalah hasil perkembangan dan sinergi bidang-bidang pengetahuan itu. Tapi apakah sekolah berpendapat sama? Nope. Selama itu tidak diujikan, tidak penting untuk dipelajari. Lagi, sekolah mempersempit makna “belajar”, kali ini apa yang harus dipelajari dan mana yang tidak boleh dipelajari.

“Banyak main game itu nggak baik.” Pertama, waktu yang dia alokasikan untuk bermain game terhitung lebih sedikit daripada teman-temannya yang lain yang tiap hari bisa merental Playstation sampai malam (dan mereka tidak dipanggil ke ruang kepala sekolah). Kedua, nggak baik dimananya? Dia banyak belajar kosakata bahasa Inggris baru dan idiom-idiom yang tidak pernah diajarkan di sekolah. Dia belajar sejarah perang dunia dari seri Close Combat, dia belajar lore Yunani dari seri Age of Empires, dan lain-lain. Videogame juga dapat meningkatkan kemampuan motorik, salah satunya diliput di sini.

Sesi interogasi itu berlalu. Cie interogasi. Semacam orang disidang karena melanggar norma. Eh apa emang iya ya?

Ada yang ironis di masa sekolah dasar itu. Tidak lama setelah persidangan itu, ada lomba komputer se-Jawa Timur dan sekolahnya diundang karena guru TIK-nya merupakan anggota dari suatu lembaga yang memayungi banyak guru pelajaran muatan lokal seperti kesenian, TIK dan bahasa daerah di Jawa Timur. Lombanya terdiri dari dua bidang, Microsoft Word dan Microsoft Excel. Anak itu ikut lomba di bidang Microsoft Word. Tanpa banyak persiapan, akhirnya di suatu Minggu pagi dia mengikuti lomba tersebut. Singkat cerita, dia menang juara satu. Kepala sekolahnya datang, memberi selamat, wali kelasnya datang, memberi penghargaan. Mereka semua berbangga. Padahal piala itu tidak akan menjadi milik sekolah jika anak itu tidak “nakal”. Dia hanya tertawa kecil dalam hati.

Semakin lama dia menjalani dunia sekolah, dari SD menuju SMP, dari SMP menuju SMA, semakin dia menyadari bahwa “bersekolah” tidak dapat mengakomodasi dirinya. Semakin dia menyadari bahwa sekolah tidak dapat menghargai hak-hak tiap siswa untuk belajar apapun yang menyalakan tungku api di pikirannya, terbukti dengan semakin strict-nya sekolah terhadap apa-apa yang wajib dipelajari, terhadap bagaimana siswa belajar. Terbukti dengan betapa herannya mereka jika kita mendapat nilai jelek di suatu pelajaran. Padahal, tidak semua orang membutuhkan itu semua. Tidak semua orang harus memahami konsep momen inersia, fungsi integral, senyawa karbon polimer, manajemen badan usaha, citra pengindraan jarak jauh, dan lain-lain. Tidak semua orang butuh untuk mempelajari semuanya. Setiap orang terlahir dengan latar belakang, lingkungan, masa kecil, kesukaan dan kemampuan yang berbeda-beda. Namun mengapa semua siswa harus belajar hal yang sama? Namun mengapa semua siswa harus belajar dengan cara yang sama?

Baiknya sekolah memberi ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi kemampuan dan kemauannya. Berikan pandangan terhadap kegunaan dan bentuk aplikasi suatu bidang keilmuan di kehidupan kita sekarang. Berikan pandangan kegunaan perhitungan gaya gesek terhadap konstruksi ban-ban kendaraan yang kita pakai, kegunaan perhitungan integral dan log dalam perkembangan sains abad 21, kegunaan perhitungan tingkat pH dalam manajemen farmasi, dan lain-lain. Biarkan mereka memilih, biarkan mereka menimbang, biarkan mereka mengkaji bidang-bidang keilmuan yang mereka suka yang ada di dunia ini. Terapkan cara belajar yang terbuka, dimana siswa dapat mencoba cara-cara belajar yang mereka anggap paling efektif dan enjoyable. Biarkan mereka berpendapat, biarkan mereka mengusulkan cara belajar lain meskipun awalnya terlihat nyeleneh. Biarkan mereka menjadi mereka sendiri.

Dibalik nilai-nilai yang jelek itu, bisa jadi ada anak yang tangannya dapat menari dengan indah ketika dihadapkan dengan piano, bisa jadi ada anak yang akan menjadi Messi-nya Indonesia, bisa jadi ada anak yang akan mengangkat trofi Oscars, bisa jadi ada anak yang akan membawa nama Indonesia ke podium juara Formula 1, bisa jadi ada anak yang akan mengentas kemiskinan di daerahnya dengan usaha yang ia bangun, dan lain-lain.

Begitu banyak kemungkinan-kemungkinan bagi seorang anak untuk tumbuh dan sekolah telah berhasil menutup itu semua.

“Semua orang terlahir jenius. Tetapi jika Anda menilai ikan dari kemampuannya untuk memanjat pohon, ia akan menjalani seluruh hidupnya mempercayai bahwa dia bodoh.” — Anonymous

Lebih banyak mencontek

Jika yang dia simpulkan ketika UKM 2006 silam adalah tentang bagaimana “belajar” bagi sekolah adalah tentang nilai-nilai di ijazah, ternyata itu terbukti lagi di SMA. Waktu SMA merupakan waktu yang cukup riskan untuk siswa karena tidak lama mereka akan menduduki kursi-kursi di perguruan tinggi — yang susah untuk didapatkan.

Waktu itu ada beberapa jalur masuk menuju perguruan tinggi negeri. Melalui ujian tulis, melalui jalur undangan, melalui jalur mandiri, melalui jalur belakang, dan lain-lain. Namun yang paling menyita perhatian tentang “mencontek” adalah jalur undangan.

Jalur undangan adalah proses seleksi dengan menggunakan nilai rapor siswa selama belajar di SMA. Tergantung jurusan tujuannya, siswa dapat melampirkan prestasi-prestasi atau portfolio yang bersangkutan dengan jurusan tersebut. Nah, nilai rapor siswa. “Perjuangan” mencontek pun tidak hanya dilakukan ketika ujian saja, namun sudah dimulai sejak ulangan-ulangan harian. Anak bodoh pun bisa mendapat nilai fantastis apalagi jika berteman dengan anak pintar yang “baik hati”. Kegiatan ini sudah menjadi budaya yang lumrah.

Namun bagi anak itu, kejujuran masih merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi. Selain dari sudut pandang keadilan bagi teman-temannya yang lain — di sekolahnya maupun di belahan Indonesia yang lain, tapi juga dari sudut pandang memaknai “belajar” itu sendiri. Menurutnya, kalau kita “belajar” hanya untuk mendapatkan nilai, semudah itu mencontek hanya demi mendapatkan nilai, lalu buat apa kita menghadiri kelas-kelas ilmu di sekolah? Bukankah itu sia-sia? Lalu ternyata akar masalahnya bukan di situ.

Sekolah, dengan sistem pendidikan yang sekarang ini, secara tidak langsung memang mengajarkan bahwa yang terpenting adalah angka-angka di rapor dan ijazah. Sekolah secara tidak langsung mengajarkan mindset bahwa kita “belajar” di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus supaya bisa masuk perguruan tinggi bergengsi. Buktinya, dari teman-teman sekelasnya saja, ada sekitar 80% siswa sekelas yang selalu mencontek. Ketika anak itu mencoba mencari tahu alasan mengapa mereka selalu mencontek, memang mayoritas beralasan karena mereka ingin nilai rapor mereka bagus supaya bisa berhasil dalam seleksi jalur undangan.

Kalau memang ingin masuk perguruan tinggi yang bergengsi dan ngerti kalau itu susah, ya… belajar aja kali?

Tapi kembali lagi, murid bukan sepenuhnya suspect dalam permasalahan ini, tapi murid juga adalah victim, murid adalah korban dalam sistem pendidikan yang seperti ini.

Idealnya, pemerintah, melalui kurikulumnya, sekolah, melalui kebijakannya, dan guru, melalui eksekusinya, dapat membangkitkan kecintaan siswa terhadap pembelajaran secara harfiah, yaitu terhadap perbaikan tingkah laku, penambahan ilmu pengetahuan, bukan dari sudut pandang sekolah yang sekarang, yaitu terhadap angka-angka yang tertera di rapor.

Kultur di masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap bagaimana menyikapi “pendidikan” ini. Korelasi tertentu antara “pendidikan” dan “kesuksesan” juga turut mendukung mindset yang salah tentang belajar. Akhirnya orang tua dan anak berbondong-bondong, berebutan satu kursi di perguruan tinggi bergengsi dengan mengharapkan anaknya bisa membawa pride dan meraih “kesuksesan”. Ditambah dengan bagaimana tidak efektifnya sekolah mengajarkan “belajar” seperti sekarang, akan wajar jika siswa akan terpaksa mencontek.

Dilema

Tidak berbeda dari teman-temannya yang lain, anak itu juga menginginkan diterima di perguruan tinggi bergengsi, berharap semuanya akan lebih baik di perkuliahan. Segala upaya telah dilakukannya, belajar tambahan di sekolah, di rumah maupun di bimbingan belajar.

Namun, singkat cerita, dia gagal diterima dimanapun. Dia cukup shock karena dia sudah mempersiapkan dan merasa mengerjakan ujian dengan baik. Terlebih dia diharapkan oleh keluarganya, karena dia dianggap anak pintar dan wajar jika masuk perguruan tinggi bergengsi. Tapi ternyata takdir berkata lain.

Tidak mudah menjadi anak yang diharapkan lalu tidak bisa memenuhi harapan tersebut. Dia malu semalu-malunya terhadap keluarga dan terlebih teman-temannya yang sudah diterima di tempat yang diinginkan.

Keadaan itu tidak berlangsung terlalu lama. Akhirnya dia menyadari bahwa kegagalan ini merupakan suatu kesempatan untuk menjelajah banyak hal yang lain. Sambil mempersiapkan ujian tahun depan, dia juga memulai untuk mencoba banyak hal baru, salah satunya adalah berbisnis.

Dia mencoba untuk selalu membuka pandangan tentang apa yang dia inginkan. Keinginan untuk bersekolah di suatu perguruan tinggi bergengsi mungkin sudah lama ia cita-citakan, namun ia tetap berusaha mengkaji kembali niatnya. Ternyata untuk mempelajari bidang keilmuan di jurusan itupun tidak hanya tersedia di bangku kuliah. Lalu ia menemui banyak kemungkinan-kemungkinan dan jalan lain. Anak itu mengikuti seri tutorial di Youtube, membaca buku dan bertemu orang-orang yang memang sudah bergelut di bidang tersebut. Dia tetap belajar, meskipun tidak “bersekolah”.

Pada waktu pengumuman hasil penerimaan, anak itu diterima di dua tempat bergengsi di kotanya, meskipun tidak diterima di pilihan pertama yang dia inginkan. Akhirnya dia memilih jurusan yang memang dia inginkan di pilihan pertama.

Setelah menjalani rangkaian kegiatan penerimaan mahasiswa baru dan merasakan belajar di bangku kuliah, anak itu tetap merasakan apa yang selalu dia rasakan di jenjang pendidikan sebelumnya. Maraknya kegiatan mencontek dan kecilnya ruang yang diberikan sebuah institusi pendidikan terhadap siswa. “Ternyata sama aja”. Apalagi himpunan mahasiswa dan segala acaranya yang arogan, yang tidak menunjukkan seseorang yang “terpelajar”, membuatnya semakin tidak cocok dan malas menjalani rutinitas yang tidak dia sukai. Dia sangat menyayangkan keadaan yang seperti ini karena semuanya sungguh terlihat miris. Ternyata the whole thing about education itself, at least here in Indonesia, is not about the students or even the education process, it is about fulfilling the job market demands.

Jadi.. apa yang harus dilakukannya? Berusaha untuk memperbaiki dari dalam? Atau tidak usah diperbaiki? Dilema.

Jika dia berhenti, dia harus benar-benar sepenuhnya bertanggung jawab atas segala proses pembelajarannya. Dia harus mencari segalanya sendiri, lebih sedikit teman belajar, dan tentunya lebih banyak dijudge oleh orang-orang di sekitarnya. Dia harus siap berjalan di tengah-tengah masyarakat yang menganggap bahwa orang yang kuliah adalah orang yang “terdidik” dan “berpendidikan” lalu otomatis dianggap pintar dan sebaliknya, orang yang tidak kuliah adalah orang yang tidak berpendidikan dan otomatis dianggap bodoh. Tidak percaya? Mungkin bisa jadi anda sendiri masih berpendapat demikian (?). Dia harus siap untuk menjadi berbeda.

Dia tidak siap. Anak itu masih eman dengan segala pencapaian dan image yang dia punya. Dia masih malu setengah mati jika harus menjadi orang yang seperti itu. Dia masih takut dengan “ketidakpastian” yang harus dijalani dalam hidupnya.

Namun dia menyadari bahwa segala sesuatu sudah ada yang merancang, segala sesuatu sudah dibuat sesuai porsinya masing-masing. Jika memang dia harus gagal di suatu titik dalam hidupnya, then so be it. Jika memang dia akan berhasil di suatu titik dalam hidupnya, then so be it. Apapun yang akan dia pilih, kegagalan pasti sudah siap menerkamnya dari segala sisi kehidupan. At one point or another, we will experience failure and that’s fine. Dia menyadari bahwa yang akan bertanggung jawab sepenuhnya atas dirinya adalah dia dan hanya dia sendiri, bukan orang lain, bukan cercaan dan tatapan merendahkan dari orang lain.

Pasti ada jalan.

Dia memutuskan untuk meninggalkan sekolah agar bisa lebih fokus “belajar”. Dia memutuskan untuk menjadi penanggung jawab penuh atas “pendidikan”-nya.

Dia drop out.

Belajar

Anak itu bernama Arfian Adam Urfi. Anak itu adalah saya sendiri.

Dulu saya sempat bersekolah di SMP Negeri 12 Surabaya, SMA Negeri 5 Surabaya dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember di prodi Desain Komunikasi Visual. Saya dropout di tahun 2013, hanya sebulan sejak saya merasakan bangku kuliah. Sejak itu, saya berkelana, belajar dan menjelajahi kehidupan saya sendiri tanpa bimbingan pihak manapun. Di perjalanan itu, sampai sekarang, saya menemui banyak orang hebat yang turut membantu perkembangan pribadi saya. Rekan bisnis, rekan kerja dan beberapa sahabat dekat selalu mendukung apa yang saya yakini dan bahkan kami banyak bertukar ilmu mengenai kehidupan maupun bidang-bidang keahlian yang kami geluti.

Saya juga pernah bekerja secara remote di sebuah perusahaan di Singapur. Disana saya mengerjakan sebuah platform yang menampilkan real time data tentang kondisi pencahayaan jalan-jalan di Singapur yang ditampilkan dalam bentuk grafis di atas peta. Tidak hanya dari Singapur, rekan kerja saya berasal dari mancanegara seperti USA, Malaysia dan India.

Sekarang saya berprofesi sebagai Front End Web Engineer, membangun IDN Media bersama orang-orang hebat dari seluruh Indonesia. Proyek yang sedang saya kerjakan adalah sebuah platform dimana brands dan advertisers dapat memilih konten ads yang tepat sasaran dan efektif. Semacam Facebook for Business dan Google DoubleClick.

Saya masih mencintai membaca, hell, saya masih kegirangan ketika melihat buku ensiklopedia dimanapun. Hal-hal yang saya pelajari sekarang lebih mengerucut di bidang teknologi, khususnya di web development. Namun masih super antusias ketika melihat artikel-artikel dengan tema apapun di internet. Sampai sekarang saya tidak pernah membatasi apa yang saya baca. Saya ingin mempelajari banyak hal, bagaimana sesuatu berkerja, bagaimana masa depan dari suatu teknologi, apapun itu, sejak kecil dan sampai sekarang saya masih begitu.

Memang, jalan yang saya tempuh ini tidak mudah, super susah malah. Sudah tidak terhitung berapa kali saya diremehkan secara langsung maupun tidak langsung, bahkan oleh keluarga saya sendiri. Sudah tidak terhitung berapa kali saya mengalami kegagalan. Namun jalan inilah yang saya yakini, jalan inilah yang sesuai dengan apa yang saya inginkan.

Sebaliknya, saya tidak pernah menganggap remeh orang-orang yang ingin, sedang atau telah menjalani masa perkuliahan. Tidak sama sekali. Mereka juga adalah orang-orang hebat yang akan membangun peradaban kita. Yang saya sesali dan anggap kurang pantas adalah orang-orang yang mencontek, orang-orang yang meremehkan orang tidak “berpendidikan”, orang-orang yang menganggap “belajar” adalah hanya alat untuk mencari uang. Saya benci sekolah, bukan orang-orang yang bersekolah.

Tulisan ini tidak bertujuan untuk memojokkan pihak tertentu. Tulisan ini hanya bertujuan untuk memberikan perspektif lain dalam kehidupan yang kebetulan saya jalani sendiri. Saya ingin banyak orang mengerti bahwa “belajar” tidak sesempit duduk di bangku sekolah. Saya ingin encourage banyak orang untuk selalu belajar dan menjadi lebih baik. Saya ingin lingkaran setan kesalahpahaman tentang “belajar” ini berhenti. Saya ingin tidak ada lagi anak yang merasa terpaksa untuk belajar, saya ingin tidak ada lagi orang-orang tua yang menuntut anaknya terhadap parameter-parameter tertentu yang bahkan tidak memiliki esensi, saya ingin tidak ada lagi ada anak yang merasa bodoh hanya karena angka-angka yang ada di buku rapor mereka.

Tolong, hentikan pembodohan mengatasnamakan “pendidikan” ini.

Mari kita ciptakan dunia yang lebih baik untuk anak cucu kita nanti.

Arfian Adam

Pembelajar sampai mati

--

--