Like a Roller Coaster!

Yudasmoro Minasiani

FACHMY CASOFA
Passion Stories

--

Ibu saya orangnya disiplin soal pendidikan dan cenderung cerewet. Waktu kelas 4 SD saya harus sudah hafal perkalian di bawah 100. Ibu saya sangat disiplin soal waktu belajar. Mungkin karena beliau dulunya pernah sekolah pendidikan guru. Bapak saya orangnya sederhana. Yang menonjol dari beliau hanya dua, jujur dan tidak muluk-muluk. Soal kejujuran, panutan saya ya beliau. Mereka berdua sangat terbuka dan penyabar. Kami dibesarkan dengan lingkungan yang berbeda agama dan tradisi Jawa yang cukup kuat.

Kalau ingin berterima kasih, saya ingin ucapkan pada bapak saya betapa bangganya saya terhadap beliau dan betapa ibu saya adalah supermom yang tiada duanya dalam membesarkan orang seperti saya. Mungkin mereka belum paham soal pekerjaan saya dan pilihan-pilihan saya lainnya. Tapi satu hal yang pasti suatu saat saya akan membanggakan mereka.

Bagi saya, passion itu seperti jebakan. Enak didengar atau diucap, tapi untuk dijalankan belum tentu bisa bertahan setengah jalan. Passion yang kuat memang penting, tapi sering kita lupa bahwa apa pun passion seseorang itu harus didukung banyak hal. Ada ilmu yang belum tentu kita mampu kuasai, ada persaingan, ada kejatuhan, kekalahan dan masih banyak lagi yang tak terduga.

Contoh saja untuk menjadi travel writer yang baik tak hanya sering traveling saja. Tapi harus mengerti dunia marketing, memiliki networking yang bagus di bidang traveling, menguasai komunikasi agar tak canggung saat presentasi atau negosiasi dengan klien, menguasai fotografi dan lain-lain. Passion itu proses belajar. Passion itu bagi saya bukan sesuatu yang menyenangkan, tapi justru sebuah perjalanan panjang penuh tekanan untuk sesuatu yang kita yakini.

Sekitar tahun 2006-2007 saya berpikir untuk berhenti dari pekerjaan sebagai manajer restoran yang sudah saya lakoni dari tahun 2000. Dari awal kuliah (tahun 1993) saya sudah bercita-cita untuk menjadi kolumnis di surat kabar. Dari SMP saya sudah menulis diary dan berlanjut hingga kuliah.

Tapi saat bekerja di restoran, hidup saya berubah. Secara finansial saya cukup bahkan berlebih. Tapi saya merasakan “kehilangan” yang sangat besar. Saya kehilangan diri saya sendiri. Bekerja di restoran bagi saya saat itu hanya membuat saya menjadi robot. Saya tak lagi menulis diary. Hidup saya hanya terdiri dari duahal: bekerja habis-habisan dan tidur sebanyak-banyaknya saat di rumah karena begitu lelahnya bekerja di restoran. Rasanya hampa!

Tahun 2006 saya merencanakan untuk pergi sendirian ke tempat yang jauh. Saya memilih Flores karena di sana ada Gunung Kelimutu dengan danau 3 warnanya yang indah. Tahun 2007 bulan Februari rencana itu terwujud. Perjalanan itu lalu saya tulis di blog.

Di tahun yang sama, seorang editor majalah membaca blog saya dan menawarkan saya untuk menulis di majalahnya. Itulah momen di mana saya mengalami semacam kebangkitan untuk akhirnya berani memutuskan berhenti bekerja di restoran dan terjun ke dunia jurnalistik khususnya menulis. Seperti “dikasih jalan” sama Tuhan.

Teman-teman di restoran dulu jelas tidak mendukung keputusan saya tersebut. Untungnya, bos saya mendukung penuh. Saya ingat nasihat beliau, “Jangan pikir uangnya, yang penting kamu cinta dulu dengan kerjaannya. Rezeki nanti akan ikut sendiri.”

Tapi, saya masih ingat juga ada beberapa teman yang bilang, “Buat apa menulis, tak ada uangnya!” Saya kesal, tapi rasa kesal saya justru saya ubah jadi semangat untuk belajar menulis di media. Menulis memang masih menjadi hal “tak lazim” bagi kebanyakan orang.

Orang tua saya tidak melarang saya berhenti bekerja di restoran dan menjadi penulis di media. Mereka mendoakan dan mendukung saya meski dari wajah mereka saya menangkap kesan berat dan tidak mendukung. Tapi itulah orang tua saya, mereka tetap yakin bahwa saya bisa.

Menilik perjalanan hidup saya, yang jelas nggak pernah menyangka dan penuh kejutan kalau flashback lagi. Saya bilangnya mungkin benar kalau hidup itu seperti roller coaster. Naik, turun, belok kadang pelan kadang cepat. Kalau tahan bisa jadi pengalaman yang seru tapi kalau nggak tahan ya akan pusing.

Dibandingkan dengan banyak teman-teman saya, perjalanan saya tidak terlalu jauh sebetulnya. Tapi kalau yang paling seru, mungkin waktu ke Jepang. Itu kali pertama saya melihat salju dan ada pengalaman horor juga. Waktu itu di Nagano. Saya dan teman-teman menginap di sebuah hotel yang tampak sudah tua. Malamnya, kawan saya digoda makhluk halus. Saya sih tidak, tapi kehebohannya membuat saya jadi begadang juga semalaman.

“Semua chief editor yang pernah galak sama saya itulah mentor terbaik. Tapi jika boleh memilih, Cristian Rahadiansyah, itulah mentor dan editor terbaik saya. Dia sekarang chief editor di sebuah majalah Destinasian.”

Saya sebetulnya ingin sekali punya homestay di pinggir pantai. Saya juga ingin mengunjungi Azerbaijan, tempat bapak saya dulu pernah menimba ilmu. Bapak saya sangat bangga dengan masa-masa pendidikannya dulu di Uni Soviet. Saya ingin sekali ke sana dan merasakan langsung kebanggaan bapak saya. Ini mimpi saya yang terpendam. Bapak saya pun tak tahu bertapa saya ingin mengunjungi Rusia dan Azerbaijan.

Untuk orang lain, saat ini saya hanya ingin membesarkan putri saya. Melihatnya tumbuh besar, mendampinginya, mendengarkan curhatnya nanti soal sekolah, pacar, olah raga, apa pun. Dulu waktu saya memutuskan untuk menjadi seorang penulis perjalanan, saya hanya fokus untuk itu. Saya tak berpikir untuk mengajarkan orang lain bahkan memberi inspiasi. Tapi, sepertinya waktu mengajarkan saya banyak hal. Dan tanpa sadar, saya diberi banyak kesempatan untuk membagi ilmu dan pengalaman yang sudah saya terima. Awalnya, saya tak pernah berpikir menulis buku Travel Writer. Tapi beberapa kawan mendorong saya untuk menulis buku itu dan saya pikir, “Kenapa tidak? Toh jika ini berguna akan lebih baik.”

Dan saya tak pernah menyangka buku yang saya tulis selama dua tahun itu membuat saya beberapa kali diundang untuk menjadi pembicara di berbagai forum. Seperti mimpi rasanya. Bukan soal popularitas. Saya hanya senang melihat buku yang saya tulis itu ternyata berguna bagi banyak orang. Orang tua juga kaget karena saya ini sangat pendiam di rumah tiba-tiba menjadi pembicara di depan banyak orang dan banyak tempat.

“Saya ingin jalan-jalan berdua saja dengan putri saya. Akan saya tunjukkan tempat-tempat menarik yang pernah saya kunjungi. Hanya kami berdua saja.”

Saya memilih profesi ini dulu karena memang benar-benar memilih sendiri. Bukan terpaksa karena tak ada lowongan lain. Saat saya berkenalan dengan banyak orang dan bilang kalau saya wartawan dari sebuah majalah travel, ada rasa bangga dalam hati dan ini tak tergantikan.

Bayangkan saja, dulu saya pekerja restoran, tak pernah sekolah jurnalistik, saya memulai dari nol dan sebagian besar karena nekad. Lalu kini menjadi managing editor di sebuah majalah yang cukup besar di Jakarta. Jika saya tak konsisten dengan ini, rasanya seperti menyia-nyiakan anugerah Tuhan.

Saya selalu ingin memberikan gambaran tentang cita-cita. Saya tak berharap semua orang berhenti dari kerjanya dan menjadi penulis travel. Tapi saya ingin sampaikan bahwa setiap insan pasti punya potensi. Beruntung bagi mereka yang tahu persis potensinya. Bagi yang tidak, carilah dan temukan. Potensi itu bagi saya seperti hadiah dari Tuhan. Kalau digunakan ya Insya Allah akan berbuah sesuatu yang positif buat kita dan akan berguna bagi yang lain. Tapi, kalau tidak digunakan dan kita cuekin, ya akan sia-sia. Sayang sekali!

Indonesia misalnya. Buat saya, Indonesia seperti orang yang punya Ferrari namun tak bisa menyetir. Indonesia ini luar biasa indahnya, ragam budayanya ini harta karun besar di mata bangsa lain. Tapi sayangnya kita nggak sadar dan tampaknya nggak akan pernah sadar.

Dunia kreativitas tidak begitu mendapat penghargaan yang layak di sini. Sebuah foto travel underwater jangan kaget bila hanya dihargai Rp50.000 atau sebuah artikel yang hanya dibayar Rp150.000. Masih banyak para pekerja seni yang hidupnya sulit. Jangan lupa bahwa travel writer itu juga pekerjaan seni. Kreativitas dalam menulis itulah salah satu kunci travel writing. Tidak mudah melakukannya dengan bagus.

Sayangnya, kita lebih tertarik berkicau di Twitter daripada nulis artikel.

Soal ketertiban saja, misalnya, Indonesia memang harus belajar banyak dari negara lain. Tak usah jauh-jauh, di Bangkok saja penumpang MRT kebanyakan enggan duduk meski keretanya kosong. Buat mereka, kursi itu untuk orang tua. Di Jakarta, naik Transjakarta saja dorong-dorongan. Rebutan kursi lalu pura-pura tidur agar tak harus berdiri saat ada orang tua naik.

Soal keelokan, Indonesia masih juara. Tapi sayang kita ini punya dilema. Objek wisata yang bagus biasanya akses jalannya susah dan mahal ke sananya. Tapi kalau aksesnya mudah dan murah, objeknya jadi ramai dan rusak berantakan. Serba salah!

--

--