Alam Takambang Jadi Guru: Refleksi Pemberian Covid Bagi Alam

Bagus Poetra
Penacava
Published in
3 min readApr 9, 2020
Bunga di Bukit Bintang, Cimenyan, Bandung

Sudah tiga bulan berlalu sejak pertama mewabahnya pagebluk virus corona. Banyak kota yang ditutup. Banyak negara yang memberhentikan penerbangan ke luar negerinya. Toko-toko tutup. Pabrik-pabrik memecat buruhnya karena tidak mendapat pemasukan. Virus corona telah memberi dampak signifikan bagi hidup manusia di awal tahun 2020 ini.

Tenaga medis di seluruh dunia bekerja keras menangani gelombang pasien yang datang. Terhitung sampai hari ini, terdapat 1.2 juta jiwa yang dikonfirmasi terinfeksi corona. Sebanyak 70 ribu di antaranya telah meninggal dunia. [1]

Jalanan menjadi sepi, kosong. Manhattan, Roma, Warsaw, Mekkah, dan banyak kota lainnya sudah hampir seperti kota mati. Orang-orang terpaksa dirumahkan untuk menahan laju penyebaran virus ini. Masjidil Haram ditutup sementara dari keramaian. Louvre senyap seperti bukan bangunan kebudayaan. Gereja-gereja di Burgundy seperti bangunan yang tak berjemaat.

Manusia dipaksa untuk saling menjauh secara fisik. Orang-orang tinggal di rumahnya dan tidak boleh keluar. Beberapa tempat bahkan memberlakukan operasi sipil agar tidak ada rakyat yang keluar rumah. Tidak masalah bagi yang punya rumah. Tapi bagaimana nasib para tunawisma? Bagaimana nasib orang-orang yang nafkahnya dicari harian dari bertemu orang? Pedagang kaki lima, misalkan. Ah, hanya Tuhan saja yang mampu merawat mereka.

Namun, ada kejadian yang berbeda yang saya rasakan di tempat lain. Di tempat ini, semua masih normal. Semuanya ramai saling beradu suara, seperti layaknya pasar. Hanya saja, pada tempat ini, tidak ada manusia (kecuali saya saat itu). Di tempat ini, hanya ada alam. Ya, alam. Alam yang menjadi tempat hidup capung-capung yang sedang mencari makan. Alam yang menjadi tempat hidup lebah-lebah yang sedang mencari kembang. Alam yang menjadi tempat hidup bagi banyak flora dan fauna. Damai dengan segala seruan-seruan cantik mereka.

Rindangnya pepohonan dibalut dengan hijaunya rerumputan mewarnai tanah hutan yang asri lagi menyegarkan. Cuitan burung-burung di atas pohon yang teduh terasa seperti nyanyian. Semuanya harmonis menjalani kehidupan alam yang seimbang. Semuanya terasa normal di sini (atau tidak?). Atau bahkan semuanya menjadi lebih baik bagi alam, setelah matinya kota-kota manusia?

Beberapa penelitian menunjukkan penurunan indeks polusi di bumi setelah wabah menyebar[2]. Akibat penurunan aktivitas manusia, udara menjadi kembali segar. Ikan-ikan dikatakan kembali lagi muncul di perairan Italia[3]. Alam kembali membaik. Alam menggeliat dari kematiannya di tangan manusia. Sungguh ironis, saat kesehatan alam membaik ketika kesehatan manusia memburuk.

Alam takambang jadi guru. Seakan-akan alam hendak mengajari manusia bagaimana hidup. Bagaimana seharusnya manusia sopan kepada alam. Bukankah alam itu ‘mother earth’? Ibu Pertiwi kita? Jangan-jangan kita telah durhaka pada ibu kita selama ini. Mencurangi, mengeksploitasi, menginjak-nginjak kehormatannya seperti benda yang hina. Kita sampai lupa bahwa manusia lah yang ‘menumpang’ hidup di alam. Bukan sebaliknya.

Segala tanda-tanda itu seperti menunjukkan kepada manusia tentang kelemahannya. Alam seperti sedang menceramahi kita karena kelalaian dan kesombongan kaum manusia. Manusia seperti anak kecil yang diambil mainannya. Menangis karena kelakuannya yang tak kunjung dewasa. Padahal ibunya sedang mencoba memberi pelajaran. Bahwa dunia ini membutuhkan orang yang lebih mawas diri. Mau belajar dari kesalahannya.

Alam takambang jadi guru. Kalau manusia mau mendengar, mungkin mereka akan mendapatkan banyak sekali pelajaran dari alam. Karena alam ini sama sekali tidak menjadi lebih buruk dari sebelumnya saat wabah menghampiri. Atau jangan-jangan, wabah itu datang di pihak alam? Untuk memulihkan kembali kerusakan yang telah diperbuat manusia? Entahlah, hanya Tuhan yang mengerti. Kita hanya bisa mencari hikmah dari tanda-tanda-Nya.

Sepertinya manusia berhutang janji pada alam jika wabah ini selesai. Berjanji untuk merawat tempat hidupnya dengan baik. Berjanji untuk lebih hanif dalam menjadi pemimpin semesta ini. Berjanji untuk tak lagi rakus dan fasad di bumi tempat kita menumpang hidup ini. Aahh, semoga kita semua mampu berjanji dan menepatinya.

Sampai kapan wabah ini berhenti tidak ada yang tahu. Tapi akan menjadi umat yang tak tahu diuntung, jika setelah wabah ini selesai, kita tak berubah sedikitpun.

Jangan berhenti belajar. Belajar dari Alam.
Alam Takambang Jadi Guru.

-Bagus Putra

[1] https://www.worldometers.info/coronavirus/
[2] https://www.sciencealert.com/here-s-what-covid-19-is-doing-…
[3] https://www.iflscience.com/…/fish-and-dolphins-return-to-t…/

--

--

Bagus Poetra
Penacava

Civil Engineer | Renewable Energy | Ordinary Science Guy | Writing, Philosophy, and Music |