Alexander yang Pongah, dan Perjuangan Milik Prajuritnya

Bagus Poetra
Penacava
Published in
7 min readAug 9, 2018

Alexander III, biasa dikenal dengan Alexander The Great, adalah seorang Raja Makedon (Ing. Macedonia) yang bertahta dari tahun 336–323 SM (13 tahun). Orang-orang Indonesia biasa menyebutnya dengan nama “Iskandar”. Ia adalah anak dari Philip II yang juga seorang raja Makedon.

Alexander dan Ambisinya

Alexander memulai ekspedisi militernya ketika Ia berusia 21. Usaha radikalnya untuk menaklukan Persia ternyata membuahkan kemenangan gemilang bagi Makedonia. Jauh sebelum ia mempermalukan Darius, Kaisar Persia saat itu, di Gaugamela, Alexander berusaha memantapkan langkahnya dengan menaklukan seluruh Yunani terlebih dulu. Apa yang menjadi angan-angan selama berabad-abad bagi para pemimpin Yunani, diwujudkan dalam beberapa bulan oleh Alexander. Ia menaklukan Athena, Sparta, dan seluruh Yunani tanpa rintangan yang berarti. Setelah Yunani dalam genggamannya, Alexander kemudian berangkat ke Troy dan melancarkan penyerangan pertamanya dalam ekspedisi ambisius menaklukan Persia.

Ilustrasi. Alexander yang diperankan Colin Farrel dalam film Alexander (2004)

Alexander mengerahkan pasukannya ke setiap kota di pesisir Asia Timur. Ia berangkat dari Troy menuju Acre, Damaskus, Gaza, hingga ke Mesir. Di Mesir ia mendirikan Alexandria. Kota yang dinamai atas dirinya. Di berbagai penjuru lain, banyak Alexandria lain didirikan juga. Ia membuat seluruh telinga yang mendengar kabarnya terkejut. Alexander menaklukan Achaemenid Persia! Alexander menaklukan Persepolis! Alexander telah berubah menjadi Alexander Agung (Ing. Alexander The Great).

Kemudian selama penaklukan, ia banyak mengganti perwira militernya dengan orang Persia. Katanya, itu adalah strategi untuk mengetahui berbagai informasi militer Persia dan mengalahkannya. Ia juga menikahi putri-putri Persia. Pernikahannya bahkan digelar dengan adat Persia yang semarak. Orang-orang yang melihat Alexander tertegun sekaligus tidak tahu mau bilang apa. Di mata mereka, pangeran Yunani telah berubah menjadi pangeran Persia yang baru. Semenjak kemenangan telak mereka atas Persia, Alexander semakin dekat dengan kebudayaan Persia dan semakin membuat pengikutnya kebingungan. Prajurit Yunani yang mengikutinya telah kelelahan menjalankan ekspedisi militer ambisius itu. Lagipula, Achaemenid sudah runtuh. Sekarang apa?

Kebingungan mereka semakin bertambah setelah Alexander memutuskan untuk mengerahkan pasukan ke India. Di tengah kekalutan suasana, Alexander menggelar pesta di Samarkand. Ia kini dikerumuni orang-orang yang memuja-mujanya. Padahal mereka tidak tahu perjuangan Alexander sejak di Makedonia, tetapi mereka menjilat-jilat kekuasaan Alexander dan menyeru-nyeru, “Alexander yang agung!”. Alexander larut dalam hingar-bingar pesta dan semakin lupa diri. Ia berbangga dengan pencapaian besarnya. Ia pikir kepemimpinannya telah membuahkan kemenangan besar bagi dirinya dan kaumnya. Alexander pongah dan semakn lupa asalnya, Yunani.

Tidak ada yang paling resah dengan perubahan sikap Alexander selain sahabatnya sendiri, Kritus. Ke manapun Alexander menatap, orang-orang menyanjungnya dengan hormat, “Yang mulia Alexander”. Ke manapun kecuali pada Kritus. Bersama Krituslah ia menghadapi segala perjuangan besar selama ekspedisi. Bersama Kritus, ia memimpin veteran Hoplite melawan ganasnya kereta kencana Darius. Dan tidak ada yang lebih peduli, tulus, dan cinta kepada Alexander melebih Kritus saat itu. Kritus membantah segala pujian kepada Alexander. “Alexander tidak ada apa-apanya tanpa ayahnya! Alexander tidak akan berhasil tanpa teman-temannya!”. Para hadirin yang bermuka dua itu menatap Kritus dengan tatapan tajam. Bahkan Alexander sendiri pun naik pitam.

“Beraninya engkau membandingkan kehabatanku dengan ayahku?!”

“Insaflah, Sahabatku! Makedon dapat menjadi sehebat ini bukan karena jasamu, tapi jasa Ayahmu! Ia yang membawa pembaruan besar, bukan engkau!”

Alexander yang semakin arogan tidak diam saja. Ia segera bangkit dan mencuri sebuah tombak dari tentaranya. Ia hunuskan ke dada sahabat terbaiknya hingga tembus ke punggungnya. Maka Kritus tewas seketika itu pula.

Kejadian yang sangat cepat itu juga dengan cepatnya mewaraskan Alexander kembali. Sahabat yang membelanya sejak lama telah mati di tangannya. Ia telah membunuh satu-satunya orang yang peduli kepada kebaikan dirinya. Tiga hari tiga malam ia menangis menyesali perbuatan bodohnya itu. Sahabat yang berani menawarkan nyawa untuknya ternyata tewas di tangannya sendiri. Ia menjadi semakin buruk dan sejarah pun menyaksikan bahwa kepemimpinannya akan timur dan barat, Yunani dan Persia, tidaklah bertahan lama. Segera setelah ia meninggal, raja-raja berebut kekuasaan dan kesatuan negara yang baru saja dibentuk Alexander menjadi terpecah belah.

Siapa yang Sebenarnya Berjasa?

Di balik segala dongeng yang sering orang dengar tentang Alexander, ada berbagai kenyataan yang ternyata memilukan untuk diketahui. Contohnya seperti kisah tadi. Selain kenyataan memilukan, ada pula kenyataan yang membuat pemahaman kita mengenai cerita ini menjadi berubah total. Kenyataan itu sebenarnya sederhana: Alexander bukanlah pahlawan utama.

Ya. Alexander memang seperti yang dikatakan oleh Kritus, “tidak lebih hebat dari Ayahnya”. Para sejarawan memiliki berbagai informasi mengenai bagaimana Makedon bisa bangkit sebagai bangsa digdaya dalam kurun waktu yang cepat itu. Informasi ini, lebih mengejutkan lagi, tidak berfokus pada ekspedisi Alexander, melainkan inovasi Ayahnya, Philip II. Philip telah melakukan sejumlah pembaruan dalam tubuh tentara Makedon.

Tentara Yunani secara umum, pada masa itu, masih berfokus pada infanteri. Kavaleri cukup jarang digunakan. Infanteri mereka biasanya terkonsolidasi dalam kesatuan yang bernama Phalanx. Sebuah Phalanx biasanya terdiri atas 8 baris dengan beberapa belas orang dalam setiap baris. Setiap orang membawa tombak dan perisai sebagai senjata utamanya. Kesatuan Phalanx bertempur dengan mengandalkan kerapatan barisan dan kekuatan mereka menghunus tombak ke barisan Phalanx lawan. Biasanya, pertempuran diisi dengan adu kuat beberapa baris phalanx. Philip yang ketika itu masih menjadi tawanan di Athena mempelajari dengan baik sistem ini dan membuat beberapa pembaruan ketika ia kembali ke Makedon sebagai raja.

Beberapa pembaruan yang esensial adalah sebagai berikut. Pertama, Philip memperpanjang ukuran tombak yang digunakan. Selain sebagai upaya memperkuat serangan, panjang tombak ini akan memungkinkan lebih banyak orang yang terkena serangan dalam sekali tempur phalanx. Selain itu, ia juga mengubah baju zirah Hoplite (Infanteri phalanx standar Yunani) Makedonia menjadi lebih ringan dan fleksibel. Hal ini memungkinkan penggunaan tombak yang lebih baik.

Ilustrasi. Sketsa barisan Phalanx Hoplite

Tidak hanya di tubuh infanteri, di dalam kesatuan kavaleri, Philip juga menerapkan inovasi. Kavaleri yang pada awalnya jarang digunakan dilatih menjadi lebih sering bertempur. Kavaleri Makedon, dengan pelatihan eksklusinya, menyandang nama Hetairoi yang artinya “Kavaleri Rekan” (Ing. Companion Cavalry). Hetairoi digunakan dalam berbagai perang Alexander di masa setelahnya sebagai pengimbang kekuatan Phalanx di bagian sayap medan perang.

Philip juga mempersiapkan ekonomi dan administrasi politik yang baik untuk mendukung ekspedisi militer jangka panjang. Pada dasarnya, ambisi untuk menaklukan Persia adalah ambisi Philip. Ia melakukan berbagai persiapan yang baik setelah naik tahta. Namun sayangnya, Philip tewas dibunuh sebelum ia mampu mewujudkan cita-citanya. Oleh karena itu, Alexander, yang ketika itu baru berusia 20 tahun naik tahta menggantikan ayahnya, kemudian melanjutkan ambisi yang belum selesai untuk menyerang Persia.

Kepemimpinan dan Kepengikutan: Dua Sisi Koin yang Sama

Alexander menganggap ialah yang paling berhak atas gelar pahlawan Makedon. Padahal, ia ternyata hanya menjadi estafet dari ambisi besar ayahnya. Segala hal berat yang perlu disiapkan telah dilakukan ayahnya. Alexander ternyata hanya menerima barang jadi dari kepemimpinan ayahnya. Apa yang kita pikir sebagai buah kepemimpinan ahsan seorang Alexander ternyata menyimpan cerita lain. Philiplah penggeraknya. Alexander tak ubahnya seperti supir sedangkan Philip lah sang mekanik.

Persia adalah horror bagi Yunani. Meski Yunani kuno terdiri atas berbagai kerajaan, semuanya berjanji untuk saling membantu jika menerima ancaman dari Persia. Sebelum masa Alexander, Persia pernah beberapa kali menaklukan wilayah Yunani. Sempat terjadi akulturasi budaya selama beberapa waktu. Selain itu, permusuhan Persia dan Yunani sudah berlangsung ratusan tahun saat itu. Orang-orang Yunani pada dasarnya sangat tidak suka kepada Persia. Akan tetapi, mereka tidak bisa menemukan cara untuk bersatu, padahal Persia selama ini selalu datang dalam kekuatan yang tersentralisasi. Oleh karena itu, wajar jika kisah Alexander dijadikan epik yang diagung-agungkan.

Kemudian sampailah kepada telinga bangsa kita tentang dongeng Alexander ini, sampai kita memiliki nama khusus untuknya, Iskandar. Kita melihat bahwa kepemimpinan Iskandar terpusat kepada kehebatannya memimpin legiun perang. Nyatanya, tidak ada yang namanya kemenangan dengan kepemimpinan hebat saja. Yang ada adalah kerja sama kelompok orang dipadu dengan inovasi dan strategi yang cerdas. Bukanlah berarti kepemimpinan itu tidak perlu. Yang perlu dicermati adalah, perjuangan ini bukan milik sang pemimpin saja. Perjuangan ini justru milik para prajuritnya.

Rasulullah, mengenai Konstantinopel, pernah bersabda bahwa yang menaklukannya adalah “sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik prajurit”. Ini setidaknya mampu menjadi isyarat bagi kita bahwa perjuangan ini membutuhkan dua pihak yang saling bekerja sama: pimpinan dan prajurit. Tidak akan jaya Al Fatih tanpa 250 ribu prajuritnya yang setia sampai mati mengikutinya. Tidak akan berhasil Al Muzaffar Saifudin Quthuz tanpa kesatuan mamluk dan lainnya yang setia menaati perintahnya. Tidak akan lahir Indonesia berkat perjuangan Soekarno, Yamin, Hatta, atau Tjokroaminoto saja. Indonesia justru dibasahi aliran sungai darah para pejuangnya.

Begitu pula Alexander. Apa yang kita pandang sebagai keberhasilan satu orang, pada kenyataanya merupakan buah dari keberhasilan banyak sekali orang. Dimulai dari ayahnya, Philip, kemudian tentaranya, para Hoplite dan Hetairoi, lalu barulah kepada dirinya sendiri, Alexander mampu menggoreskan cerita besar pada buku sejarah umat manusia. Itu semua berkat kerja sama banyak orang, bukan hanya Alexander saja.

Di kepemimpinan masa depan, janganlah kita terlena seperti Alexander yang melupakan jasa para sahabat dan prajuritnya. Janganlah kita juga menjadi prajurit yang tidak taat pada atasannya. Dr. Adriano Rusfi pernah berkata, “Leadership itu datang bersamaan dengan followership. Ia tidak bisa dipisahkan”. Kepemimpinan yang baik lahir bersamaan dengan jiwa “sendika dawuh” yang tulus. Untuk memimpin, kita juga perlu paham bagaimana bersikap di bawah pimpinan.

Sebagai agen penggerak bangsa dan narasi zaman, penting untuk kita menyadari tentang ini. Pemimpin mungkin akan dikenang sebagai Pahlawan. Akan tetapi, para prajuritnya lah yang menteskan darah paling banyak. Perjuangan sejatinya ini milik semua orang.

Tabik

Inspirasi:

Buya Hamka, Panggilan Bersatu, 2018
Berbagai ceramah Dr. Adriano Rusfi
AHA Time LMD 184 2016
Youtube, channel Kings and Generals
http://www.history.com/topics/ancient-history/alexander-the-great

Sumber gambar:

https://www.empireonline.com/movies/alexander/review/
http://raf.heavengames.com/history/military/history%20of%20the%20Phalanx%20Hoplite

--

--

Bagus Poetra
Penacava

Civil Engineer | Renewable Energy | Ordinary Science Guy | Writing, Philosophy, and Music |