Bapak yang Gagah

Bagus Poetra
Penacava
Published in
2 min readJun 25, 2018
Pak Syarif Hidayat (kiri)

“Perempuan itu dilihat dari apa yang ada pada dirinya. Laki-laki itu dilihat dari apa yang dipegangnya (prinsip dan perbuatan).”

Sejenak saya tenggelam ke dalam realitas beliau ketika dengan semangatnya beliau berbicara di depan para aktivis. Pak Syarif Hidayat membawa benak saya berjalan mengelilingi luasnya kolam pandangannya dan mengajari arti penting dari nilai-nilai yang ia coba tanamkan selama ini.

Akal dan hati yang saling tertaut pada dirinya itu berbicara dengan mata yang berbinar-binar. Ia menjabarkan arti ‘ilah’ secara hakikat. Ia pun memaparkan pandangannya akan isu yang sedang hangat sekarang. Ia menunjukkan ‘kemerdekaan’ pikirannya. Bukan bebas tanpa batas, melainkan liar nan terarah.

Semenjak saya bergabung dengan Masjid Salman ITB, beliau adalah tokoh yang paling saya kagumi. Ketika berbicara, beliau mantap. Beliau tidak pernah tidak siap. Seakan-akan terlahir siap (born ready). Beliau tidak pernah plin-plan dan selalu teguh ketika mengambil keputusan. Sosok yang paling cocok memimpin kapal perubahan bangsa, bagi saya.

Umurnya sudah kepala enam. Itu membuatnya dipenuhi aura karisma dan kebijaksanaan. Beliau sering-dan sangat senang-berbagi pandangan kepada para juniornya. Sebagai mentor, beliau adalah orang yang penuntut. “Saya akan dorong sampai kalian muntah!” adalah kalimatnya setiap kali berbicara di depan kami. Beliau menjadi guru yang sangat kuat untuk murid-muridnya.

Pagi ini ia banyak berbicara dalam lingkup yang luas. Tapi saya menangkap benang merah dari semua perkataan beliau. Beliau meminta kita untuk sabar. Namun artian sabar dalam pandangan beliau benar-benar jauh dari pengertian sabar yang diketahui masyarakat umum. Beliau meminta kami untuk bisa membaca permasalahan mendesak pada umat dan tidak melulu memersoalkan hal-hal primordial. Beliau mewanti-wanti kami untuk berkarya sebaik mungkin dan membantu memerbaiki pendidikan bangsa ini yang sekarang, menurutnya, belum bisa menghasilkan manusia yang bermanfaat bagi sekitarnya.

Beliau juga berpesan untuk terus menjadi hanif, yang dalam artian lebihnya-menurutnya-adalah terus mengembangkan diri menjadi lebih baik. Seperti Ibrahim yang terus bertanya dan terus mencari jawaban. Ibrahim tidak hanya bertanya. Ia juga mencari jawaban atas setiap pertanyaannya tentang eksistensi Tuhan.

Rabb adalah Tuhan dalam artian yang menciptakan alam semesta dan berkuasa. Di kesempatan tadi, Ia mengingatkan untuk menjadikan rabb kita sebagai ilah (baca: sesembahan) kita. Karena itulah hakikat dari kalimat Tauhid yang agung itu.

Di akhir kalimatnya ia berkata, “Kalimat Allah itu sudah mulia. Kita hanya, mungkin, membantu memuliakannya. Bisnya sudah pasti berangkat ke surga. Sekarang apakah kita mau ikut atau tidak.”

Pak Syarif Hidayat, sosok gagah yang akan berumur panjang dalam kehidupan kami. Beliau punya tempat khusus di hati saya.

--

--

Bagus Poetra
Penacava

Civil Engineer | Renewable Energy | Ordinary Science Guy | Writing, Philosophy, and Music |