Dari Keniradaban menuju Pemberadaban

Bagus Poetra
Penacava
Published in
2 min readJan 11, 2020

Pembatas upaya biasanya berbentuk ruang dan masa. Tetapi tidak ada yang membatasi perjuangan melebihi perasaan bahwa kita tidak mampu. Selama 9 hari ini, telah terbukti bahwa kalian semua mampu. Meski berkali-kali saya bilang, “Yang tidak sanggup lanjut, pulang saja”, akan tetapi batas-batas khayalan itu tetap kalian hantam dengan keinginan keras untuk berkembang.

“No fate but what we make”,

kata Sarah Connor.

Takkan jadi nasib kecuali apa yang kita buat. Kemudian sebagaimana adagium Cina di masa Tiga Kerajaan,

“Without Chaos, Whence Comes Heroes?”.

Tanpa sengkarut, akankah lahir para pejuang?.

Para pemberadab, seribu puisi oratoris tidak akan berguna. Sejuta ilmu praktis tidak akan pernah lengkap. Miliaran uang di dunia ini juga tidak akan pernah cukup. Jika kita tidak pernah punya keinginan kuat. Bukankah yang tidak mensyukuri yang sedikit, takkan mampu mensyukuri yang banyak?

Berbagai petuah ini bukan menunjukkan bahwa si orator lebih baik. Ini bukan soal siapa yang terbaik. Ini soal harmoni rasa yang hendak disalurkan ke dalam jiwa-jiwa pemberani yang habis-habisan berupaya mengunjuk syukur di depan-Nya.

Terima kasih atas semangatnya. Terima kasih pula kepada semua elemen yang terlibat. Kepada Master Trainer, Ketua BMKA, Panitia, FORSALIM, Kang Jaja, Kang Alfi, dan pihak lain yang tak bisa disebut satu per satu. Sesungguhnya Allah Mahatahu akan amal kita semua dan amat besar ganjaran-Nya.

Akhiru kalam, mari terus benderang. Kita boleh meredup, tapi jangan mati menggenang. Mati dalam keadaan terbakar, mati dalam upaya membara. 9 hari 8 malam terlalu singkat. Tapi, apa bedanya dengan ratusan tahun yang panjang, jika tak ada manfaatnya?

Barakallahu lii wa lakum
Tabik

--

--

Bagus Poetra
Penacava

Civil Engineer | Renewable Energy | Ordinary Science Guy | Writing, Philosophy, and Music |