Fanatisme Manusia Menghasilkan Bangsa dan Peradaban

Bagus Poetra
Penacava
Published in
10 min readAug 8, 2018

Asal-Usul Kelompok Manusia Awal

Sejak mampu memproduksi pangan sendiri, manusia mulai menciptakan tatanan di dalam kesatuan mereka dalam bekerja. Produksi pangan menuntut proses irigasi, penanaman bibit, pemanenan, dan lain-lain yang mengharuskan adanya penempatan pekerja di setiap posnya. Bukan hanya urusan dalam produksi pangan, pengemasan, pengiriman, dan lainnya juga memerlukan penempatan pekerja.

Pada masa berburu-mengumpulkan, manusia tidak memerlukan banyak penempatan dalam pekerjaannya. Ketika itu, manusia masih berada dalam kawanan. Jika sudah sampai umur tertentu, seseorang dalam kawanan itu hanya memiliki satu tugas bersama: berburu. Tidak banyak yang bisa dilakukan selain berburu karena mereka cenderung nomaden — berpindah-pindah. Tidak ada waktu luang untuk melakukan sesuatu selain berburu karena hasil buruan mereka adalah makanan untuk hari itu juga.

Ilustrasi: Jaguar Paw pada film Apocalypto (2006)

Berbeda dengan masa berburu-mengumpukan, ketika manusia memproduksi makanan melalui pertanian, kesatuan mereka hidup dengan berbagai pekerjaan baru selain mencari — atau dalam hal ini memproduksi — pangan. Hal ini disebabkan inovasi yang dimungkinkan dari produksi massal pangan. Seorang petani dapat menghasilkan makanan untuk lebih dari dirinya sendiri. Itu artinya, ia bisa menopang makanan untuk orang lain yang tidak bekerja mencari makan sehingga orang lain dapat melakukan pekerjaan di luar mencari pangan. Pekerjaan ini selain dilakukan sebagai cara untuk mendapatkan makanan, juga lahir karena kebutuhan pengelolaan produksi makanan yang apik.

Di kalangan sejarawan, perdebatan mengenai mana yang muncul lebih dahulu— produksi pangan atau tatanan kompleks — masih ramai. Meskipun begitu, semuanya sepakat bahwa produksi pangan dan tatanan kompleks masyarakat muncul dalam waktu yang berdekatan.

Semenjak populasi sebuah kelompok manusia bertumbuh, yang tadinya hanya hidup dalam satuan kawanan nomaden, manusia kini menetap dan membuat struktur baru yang lebih kompleks dan berkembang. Lahir para seniman yang waktunya digunakan untuk mengembangkan kebudayaan kelompoknya. Lahir pula para prajurit yang, meski makanannya ditopang para petani, bertugas untuk melindungi mereka dari serangan hewan atau mungkin manusia lain. Yang tidak kalah penting adalah kelahiran kasta sosial yang memungkinkan adanya penguasa.

Jared Diamond menyebutkan bahwa tahap pengelompokkan manusia terdiri atas 4 masa: kawanan (band), kesukuan (tribe), kedatuan (chiefdom), dan negara (state). Sebuah kawanan terdiri atas 5–80 orang, sebagian besar atau semuanya “merupakan kerabat dekat sedarah atau karena pernikahan” menurut Jared. Suku terdiri atas jumlah yang lebih besar, “bukan hanya lusinan orang”. Hal yang mulai wajar terdapat di masa kesukuan ini adalah hunian tetap. Untuk Kedatuan, ukuran populasi satu kelompok bisa mencapai beberapa ribu atau puluhan ribu orang. Semenjak berubah menjadi kedatuan, komunitas manusia memasuki tahap yang tidak biasa dilihat karena interaksi yang terjadi melibatkan banyak sekali keluarga yang tidak saling mengenal sebelumnya. Orang-orang harus mengendalikan diri untuk bekerja sama dengan orang yang tidak dikenal yang bisa membunuh mereka kapan saja. Selain itu, era kedatuan menjadi titik awal perubahan kepemimpin egaliter menjadi terformalisasi. Sementara kedatuan terdiri dari berbagai suku yang saling bergabung, negara memiliki populasi melebihi 50.000 orang, mencakup lebih dari sekadar kumpulan suku atau kedatuan — dan akan kita ulas di sini. Berikut adalah tabel yang menunjukkan karakteristik setiap klasifikasi masyarakat:

Tabel 1. Macam-macam masyarakat (Jared Diamond, Guns, Germs, and Steel, 1997). *Istilah egaliter pada bagian ini bukan dalam arti semua anggota “memiliki derajat yang setara dan bersumbangsih setara terhadap keputusan yang diambil”. Tetapi lebih kepada kepemimpinan yang bersifat informal.

Sebenarnya, istilah negara yang dimaksud Jared di sini tidak memiliki pengertian mengenai sistem pemerintahan apapun yang ada. Istilah negara yang dibahas oleh Jared menunjukkan konsentrasi populasi besar dengan ciri-ciri tertentu sebagai masyarakat kompleks. Karena begitu banyak teori mengenai kemunculan dan definisi negara itu sendiri, bahasan yang akan diulas mengambil makna bahwa negara yang dimaksud di sini adalah seperti yang dikatakan Jared sebagai masyarakat kompleks.

Pada negara-negara awal, kebanyakan kepemimpinan berevolusi dari yang tadinya bersifat egalitarian ke yang akhirnya bersifat terformalisasi. Dalam kawanan dan di banyak kasus kesukuan, menurut Jared, kepemimpinan masih diberikan kepada orang yang dilihat memiliki kekuatan atau keberanian. Kelompok manusia belum memilih sebuah kasta atau keturunan tertentu untuk dijadikan sebagai pemimpin utama. Barulah setelah kelompok manusia terkumpul menjadi ribuan orang, manusia mulai menentukan sebuah kepemimpinan yang tersentralisasi.

Fanatisme Sebagai Pengikat Loyalitas

Seperti yang kita ketahui, negara-negara awal menerapkan sistem dinasti dalam menentukan pemimpin mereka. Mereka mengangkat orang dalam sebuah garis keturunan tertentu untuk menjadi kepala negara. Kita menyebutnya Raja, Kaisar, Sultan, dan sebagainya. Melalui keluarga orang-orang ini, manusia mengikatkan fanatisme mereka.

Dari sinilah kita mulai pembahasan tentang fanatisme itu sendiri. Zaman sekarang, orang cenderung menganggap fanatisme itu buruk. Mereka berpikiran bahwa fanatisme melahirkan rasisme, chauvinisme (paham membesarkan ras sendiri), dan diskriminasi lainnya yang bersifat buruk. Pada kenyataannya, fanatisme inilah yang sebenarnya menjadi pengikat kesatuan kelompok manusia dalam masyarakat kompleks yang tadi kita bahas. Tanpa disadari, kita sendiri bisa jadi masih memiliki fanatisme dalam benak kita.

Mengapa fanatisme menjadi faktor utama? Ibnu Khaldun menyebutkan di Muqaddimah bahwa tidak mungkin lahir sebuah bangsa, kerajaan, atau kesatuan negara tanpa dilandasi oleh fanatisme. Fanatisme adalah faktor esensial yang mendasari loyalitas masyarakat terhadap kesatuan negara. Dengan fanatisme ini, rakyat bersatu mendukung pemerintahan.

Ilustrasi: Lukisan Ibnu Khaldun

Fanatisme memiliki bermacam-macam objek. Pada tahap kawanan, manusia belum mengenal fanatisme hingga bisa memunculkan pemerintahan yang terstruktur. Kelompok kawanan masih bergerak dalam ukuran kecil dan belum menggunakan tatanan yang rumit.

Pada kasus kesukuan, orang-orang mengikatkan fanatisme mereka kepada keluarga mereka dalam suku. Fanatisme kesukuan melahirkan kepemimpinan yang berlandaskan keluarga. Hanya keluarga dalam suku yang bisa menjadi kepala suku. Karena pada tahap ini masyarakat masih menerapkan sistem egalitarian, memang kepala suku dipilih dari orang yang paling baik di dalam suku. Namun, kesetiaan mereka tidak akan berubah dari darah yang sama.

Lalu pada tahap kedatuan, kepemimpinan sudah tidak bisa dilepaskan secara bebas kepada orang umum yang, meskipun memiliki kompetensi dan kapabilitas, tidak berada di keturunan tertentu. Loyalitas ribuan orang dalam satu kedatuan diikat kepada satu kepala suku. Hal ini terlihat pada bangsa Polinesia pada saat dipimpin oleh Kamehameha. Suku-suku yang terpisah samudera dapat dipersatukan dengan loyalitas kepada keluarga datu yang memimpin. Beberapa kedatuan bahkan menggunakan kepercayaan spiritual sebagai justifikasi kepemimpinan mereka dengan mengatakan bahwa pemimpin mereka adalah reinkarnasi dewa, memiliki kekuatan ghaib, dan sebagainya. Kerajaan di Mesoamerika seperti Aztec dan Maya — jika kita kategorikan ke dalam kedatuan — pun menerapkan hal seperti ini. Montezuma sebagai Maharaja Aztec dianggap sebagai dewata yang sakti bagi rakyatnya.

Kemudian pada tahap negara, fanatisme ini dibagi menjadi dua bagian. Fanatisme pada objek konkrit dan pada objek abstrak. Fanatisme pada objek konkrit secara umum menggunakan dinasti sebagai pengikat kesetiaan. Penduduk berbagai tempat di Eropa zaman pertengahan tergabung dalam satu monarki besar. Mereka menganggap raja mereka sebagai wakil Tuhan di dunia. Paham ini melahirkan sistem pemerintahan Monarki Absolut. Orang-orang Eropa di zaman ini menjadikan kesetiaan mereka kepada raja setara dengan kecintaan mereka kepada Tuhan.

Fanatisme seperti ini bertahan secara umum di dunia hingga abad ke-19. Setelah itu, manusia menemukan gagasan baru mengenai ideologi dan nasionalisme. Nasionalisme adalah gagasan yang belum dikenal dan sangat membahayakan untuk dinasti. Alasannya adalah karena gagasan ini mempersatukan orang-orang dalam ikatan kepada objek yang abstrak yaitu negara (Ing. Nation) dan menghilangkan kesetiaan masyarakat kompleks kepada keturunan orang-orang tertentu. Menurut, Kohn, kesetiaan ini lahir atas dasar keinginan bersama.

Perubahan paradigma masyarakat mengenai fanatisme ini mendasari berbagai perubahan radikal dan revolusioner di berbagai wilayah dunia pada abad 18 hingga 20. Di Perancis, Napoleon Bonaparte berhasil menggerakkan kaum petani untuk membelot dari raja-raja dan membentuk sebuah negara Perancis berasaskan Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan (Perancis Liberte, Egalite, Fraternite). Di Russia, selama Perang Dunia 1 atau “Perang Besar”, kaum bolshevik yang dipimpin Lenin dan Trotsky melancarkan revolusi untuk menggulingkan Dinasti Tsar Russia dan mendirikan negara Uni Soviet dengan ideologi bolsheviksisme mereka. Di Indonesia, Soekarno dan para pejuang kemerdekaan berupaya melepaskan diri dari kolonialisme Kerajaan Protestan Belanda menggunakan gagasan nasionalisme — meskipun pada kenyataannya tidak hanya paham nasionalisme yang berkembang di Indonesia. Berbagai contoh ini menjadi contoh yang jelas akan perubahan paradigma masyarakat di era atomik yang menandakan terhapusnya monarki di dunia. Bahkan kerajaan inggris pun pada akhirnya tidak punya pilihan dan harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Inggris kemudian mengubah konstitusi mereka dan mendirikan parlemen untuk mengimbangi semua perubahan itu.

Pada taraf yang ekstrem, nasionalisme ini diiringi oleh rasa cinta berlebihan kepada objek fanatismenya. Hal ini yang terjadi kepada mayoritas warga Jerman di Perang Dunia 2. Hitler dan partai Nazi-nya mengangkat kepercayaan bahwa bangsa Jerman adalah bangsa agung yang ditakdirkan untuk memimpin dunia. Nasionalisme ekstrem seperti ini yang telah melahirkan perang paling berdarah dalam sejarah umat manusia. Meskipun begitu, semua proses perubahan komunitas masyarakat kompleks yang dijelaskan tadi begitu jelas menampakkan apa yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun. Tidak mungkin lahir sebuah komunitas masyarakat kompleks tanpa adanya fanatisme. Fanatisme adalah hal yang pasti ada dalam pembentukan masyarakat kompleks.

Fanatisme Islam

Dalam pemahaman islam secara umum, fanatisme adalah hal yang harus dihilangkan. Fanatisme (Arab. ashobiyah) adalah yang justru ditentang oleh ajaran Rasulullah saw. Lalu bagaimana dengan pernyataan Ibnu Khaldun tentang berdirinya suatu negara yang pasti didasari fanatisme? Pada dasarnya, pernyataan ini tetap benar setelah kita melihat berbagai contoh yang sebelumnya disajikan. Pernyataan ini pun tetap akan benar ketika kita melihat peristiwa yang terjadi dalam sejarah islam — katakanlah fathu makkah dan transisi khulafaur Rasyidin. Fanatisme macam apa yang membenarkan peristiwa Fathu Makkah dan transisi Khulafaur Rasyidin ketika dalam pemahaman secara umum ia dilarang dalam islam?

Untuk menjawabnya, kita perlu melihat berbagai kejadian selama peristiwa tadi. Peristiwa Fathu Mekkah (pembukaan kota Mekkah) adalah peristiwa yang bagi orang-orang Arab saat itu saja tidak dapat disangka-sangka. Orang Arab terhimpun dalam suku-suku dengan fanatisme suku yang sangat kental. Suku-suku ini, di beberapa kota, berhimpun menjadi kedatuan kecil atau dalam bahasa arab disebut kabilah. Sebuah kabilah terdiri atas beberapa suku yang juga terhimpun karena karena keturunan.

Orang Arab memiliki jiwa patriotik kuat. Peperangan yang terjadi atas nama suku atau kabilah hampir-hampir tidak bisa dihitung jumlahnya. Seseorang akan lebih mudah meminta bantuan kepada sukunya ketika itu berurusan dengan kehormatan suku. Sebaliknya pula, untuk mendekatkan satu suku dengan yang lain, pemimpin suku dapat memilih seorang laki-laki yang terlihat baik dari sukunya untuk dikawinkan dengan perempuan dari suku lain. Hal itu biasanya membuat hubungan kedua suku membaik — juga dipakai sebagai cara mendamaikan dua suku yang bertikai.

Ketika Rasulullah saw mulai berdakwah di Mekkah, tidak semua orang memusuhi beliau. Orang-orang dari keturunan Hasyim (baca: Bani Hasyim) masih melindungi beliau. Pada saat itu, ajaran islam baru dimulai dan perubahan fanatisme belum nampak. Selain itu, Rasul saw juga pernah menikahi Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Pernikahan ini secara strategis bertujuan untuk mendamaikan keluarga Abu Sufyan terhadap dakwah Nabi saw. Setelah pernikahan itu, Abu Sufyan pun sedikit demi sedikit meredakan permusuhannya untuk menjaga hubungan dengan menantu barunya, Rasulullah saw.

Setelah memahami kondisi di Arab kala itu, kita akan dengan mudah menyadari bahwa mempersatukan seluruh suku dan kabilah ini sangatlah sulit, jika bukan mustahil. Namun kenyataan sangatlah berbeda ketika kita melihat Fathu Mekkah. Saat melihat rombongan prajurit muslim memasuki wilayah Mekkah, Abu Sufyan bertanya pada sahabatnya, ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib. Ketika itu Abu Sufyan dan ‘Abbas sudah masuk Islam. Ia menanyakan satu-satu rombongan yang memasuki Mekkah, “Mereka dari mana, Ya ‘Abbas?”. Kemudian ‘Abbas akan menjawab bahwa mereka dari suku/kabilah ini dan itu. Kemudian Abu Sufyan berkata, “Ada urusan apa aku dengan mereka??”. Pertanyaan itu ia tanyakan untuk semua rombongan yang memasuki Mekkah dan ia selalu berkata demikian setelahnya, “Punya urusan apa aku dengan suku ini atau itu??”. Abu Sufyan tidak pernah memusuhi, bertikai, bahkan mungkin bertemu dengan orang-orang di banyak suku yang hadir ketika Fathu Mekkah, tetapi mereka semua berdatangan ke rumahnya dan menduduki tanahnya. Peristiwa ini tidak dapat dibayangkan oleh logika seorang kepala suku Arab di masa itu.

Kemudian kita perlu meninjau peristiwa transisi setiap pemimpin di masa Khulafaur Rasyidin. Sebelum Rasulullah saw wafat, beliau meminta Abu Bakr ra mengimami salat di Madinah. Hal ini dimaksudkan pula sebagai isyarat transisi kepemimpinan umat muslim kepada beliau. Ketika rasul saw wafat, orang-orang — terutama dari golongan anshor dan muhajirin — berdebat mengenai siapa yang paling tepat menggantikan kepemimpinan rasul. Setelah perdebatan panjang, mereka akhirnya bersepakat bahwa Abu Bakr lah orang yang pantas. Hal ini perlu diperhatikan karena pada transisi dari Abu Bakr ke Umar, Umar ke Utsman, Utsman ke Ali, semuanya memiliki ciri khas yang sama. Mereka semua dipilih berdasarkan kadar ketaqwaan, bukan berdasarkan keturunan, suku, maupun kabilah. Yang tidak kalah menakjubkan adalah kenyataan bahwa seluruh umat islam (pada masa itu masih didominasi orang Arab) dapat setia kepada keempat pemimpin tersebut.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari kedua peristiwa di atas tidaklah begitu berbeda dari perubahan paradigma yang terjadi pada masyarakat dunia di abad 19. Fanatisme konkrit diubah menjadi fanatisme abstrak. Dalam kasus islam, fanatisme abstrak ini berbentuk ukhuwah islamiyah — persaudaraan secara islami. Dalam ajaran Islam, ukhuwah islamiyah menafikan hubungan keluarga, keturunan, wilayah, atau apapun selain iman. Nasionalisme menyajikan fanatisme abstrak pada sebuah negara. Orang-orang nasionalis mengikatkan kesetiaan mereka atas dasar kesamaan wilayah tinggal. Berbeda dengan nasionalisme, Islam mengajarkan kesetiaan kepada Allah dalam bentuk ukhuwah islamiyah — siapapun yang beragama islam dan beriman kepada Allah adalah saudara dan harus saling bersatu.

Fanatisme abstrak dalam bentuk ukhuwah islamiyah inilah yang mampu menjelaskan mengapa dua persitiwa yang sangat mustahil, Fathu Mekkah dan Transisi Khulafaur Rasyidin, dapat menjadi kenyataan. Fanatisme jenis ini yang mempersatukan Islam menjadi satu kesatuan yang solid. Tidak hanya soal persatuan, ukhuwah islamiyah — atau secara umum ajaran islam — juga menjawab masalah hilangnya egalitarianisme ketika masyarakat kompleks bertransisi menjadi negara besar. Alih-alih menjadi pemerintahan yang eksklusif, ajaran islam pada awal kelahirannya membentuk negara yang secara penuh bersifat egaliter — meskipun semenjak masa Muawiyah ra negara islam kembali menggunakan sistem dinasti. Islam menempatkan kedudukan yang sama untuk semua pemeluknya dengan perbedaan satu-satunya hanyalah ketaqwaan atau rasa takut kepada Allah.

Epilog

Manusia terus menerus berkembang. Masyarakat sederhana yang puluhan ribu tahun lalu hanya berburu dan mengumpulkan makanan kini telah menjadi masyarakat kompleks yang mempertanyakan hakikat kehidupan. Dalam proses evolusi masyarakat kompleks, fanatisme hadir sebagai variabel yang esensial sebagai pembentuknya. Fanatisme pada dasarnya menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk bergerak sendiri. Pada banyak kasus, fanatisme menggiring manusia untuk bersatu. Pada kasus yang lain, fanatisme juga mendorong manusia untuk berpecah-belah. Fanatisme telah mengiringi evolusi persatuan manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Meskipun bentuknya berubah, fanatisme tetap ada dan akan selalu hadir dalam jiwa manusia. Dalam islam, fanatisme memiliki sisi lain sebagai persaudaraan islami. Di masa depan, fanatisme macam apa yang harus dimunculkan? Mari kita cari tahu bersama.

Semoga Allah memberkahi

Tabik

--

--

Bagus Poetra
Penacava

Civil Engineer | Renewable Energy | Ordinary Science Guy | Writing, Philosophy, and Music |