Islamic Science dan Perubahan Cara Pandang
Abad 19 sampai 20 merupakan masa yang paling berbeda dari semua masa dalam sejarah umat manusia. Setidaknya pada masa yang tercatat dalam sejarah. Perbedaan yang dimaksud adalah kemampuan manusia dalam memanipulasi alam dan menciptakan karya teknologi yang mengubah wajah zaman hanya dalam kurun waktu yang tidak lama.
Selama sekitar 300 tahun terakhir, peradaban manusia telah melalui zaman perkembangan teknologi yang luas dan masif. Buku-buku sejarah menyebutkan bahwa semuanya bermula di abad ke-18 ketika revolusi industri muncul di Eropa. Seiring berjalannya waktu, teknologi menggantikan sumber daya manusia dan menghasilkan produksi massal yang mengubah proses kerja, kesejahteraan, kekayaan, gaya hidup, bahkan paradigma manusia.
Saya, sama seperti orang biasa di Indonesia lainnya, dibesarkan dalam paradigma umum yang menganggap bahwa dunia itu ya seperti apa adanya sekarang. Tidak berubah, statik, dan menganggap bahwa teknologi ini adalah hal yang biasa untuk manusia. We still take it for granted, to be honest.
Semua orang yang mempelajari sejarah tau bahwa itu semua tidak betul. Manusia baru 100 tahun hidup beriringan dengan kendaraan bermotor dan baru beberapa puluh tahun hidup dengan telepon genggam. Kurang dari 150 tahun yang lalu, bahkan orang Eropa masih menggunakan kuda sebagai moda transportasi utama!
Meskipun demikian perkembangan teknologi ini bukanlah tanpa kekurangan. Berbagai permasalahan akibat 'liar'-nya perkembangan teknologi muncul di zaman sekarang. Permasalahan lingkungan seperti pencemaran udara, pembabatan hutan, dan polusi sampah kian hari kian parah. Selain itu permasalahan di sisi etika dan moral juga semakin marak. Permasalahan ini muncul dalam 300 tahun terakhir perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seluruh 300 tahun perkembangan sains dan teknologi tidak datang begitu saja. Perkembangan besar ini adalah akumulasi dari ilmu pengetahuan yang sudah ada bahkan sejak sebelum Nabi Isa as dilahirkan. Perkembangan teknologi ini merupakan bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Berbicara perkembangan ilmu pengetahuan, maka sebagai seorang muslim, rasanya tidak lengkap jika tidak membicarakan kontribusi agama islam di dalamnya.
Agama islam dan tradisi keilmuan adalah seperti pinang dibelah dua. Dalam kemunculannya, berkali-kali ajaran islam menekankan mengenai pentingnya mencari ilmu dan pentingnya berfikir. Bahkan secara eksplisit, Allah swt dalam beberapa ayat di Al Quran menyinggung dengan kalimat, "Afalaa ta'qiluun?", "Afaala tatafakkaruun?". "Tidakkah kamu menggunakan akalmu?", "Tidakkah kamu berfikir?". DI ayat yang lain, Allah menjajikan derajat yang tinggi untuk orang berilmu. "Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat", Al Mujadalah: 11.
Rasulullah saw memang tidak mengajarkan mengenai metode berpikir kritis, metode penelitian, ataupun kaidah ilmiah. Akan tetapi ia meletakkan falsafah dasar yang menjadi asas bagi kaum muslimin untuk meninggikan kedudukan ilmu sebagai hal yang esensial dalam berislam.
Dengan islam, ilmu dipandang sebagai instrumen untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Para ilmuwan muslim di zaman pertengahan mengembangkan ilmu pengetahuan karena kecintaannya pada Allah yang mengantarkan mereka untuk mencintai ilmu. Dengan falsafah inilah ilmuwan-ilmuwan muslim saat itu menjadi tersohor bahkan ke negeri-negeri di Barat
Orang-orang mengenal Ibnu Sina sebagai orang yang paling dicari oleh para tabib Barat karena kehebatannya dalam ilmu kedokteran. Hampir segala bidang dilingkupi oleh para ilmuwan muslim. Fisika, Biologi, Kimia, Sosial, Ekonomi, bahkan hingga Filsafat. Sekarang kita mengenal Ibnu Rusyd yang menerjemahkan banyak tulisan Yunani kuno tentang filsafat. Masih banyak nama lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu sebagai ilmuwan muslim yang tersohor.
Namun, anehnya, tradisi keilmuan ini semakin redup semenjak abad ke-16 dan hampir pudar di zaman sekarang. Segala bentuk teknologi yang ada sekarang mungkin merupakan warisan dari perkembangan ilmu yang digagas oleh para ilmuwan muslim terdahulu. Akan tetapi, kian modern teknologi yang ada, kian kering pula itu semua dari nilai-nilai. Manusia sekarang tidak lagi berbicara ilmu sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi, ilmu sekarang digunakan untuk menghasilkan produk dan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Bahkan 'rezim' ilmu di masa kini berani membuat anggapan umum bahwa ilmu pengetahuan boleh terbebas dari keyakinan. Sungguh hal yang sangat berkebalikan dengan ajaran mendasar keislaman.
Hal inilah yang menjadi sumber masalah besar bagi peradaban barat modern. Jika perlu diuraikan dengan singkat, setidaknya ada dua hal dari epistemologi (baca: konsep mengenai ilmu) barat yang berbeda dari epistemologi islam yangjuga menjadi celah kerusakan tradisi kelimuan modern:
1. Pemahaman bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang bebas nilai, dan;
2. Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan Barat baru menyentuh sebagian dari ilmu yang seharusnya.
Pemahaman bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang bebas nilai ini dikritik oleh Syed Mohammad Naquib Alattas. Menurutnya, Ilmu pengetahuan itu tidaklah netral dan membawa agenda dari peradaban yang mengusungnya. Permasalahan kedua adalah berkaitan dengan cakupan epistemologi barat yang terlalu menjunjung tinggi rasionalisme dan empirisme (meskipun keduanya tetap dianggap berlawanan oleh Barat). Demarkasi ilmu yang dibuat oleh Vienna Circle telah membatasi ilmu pengetahuan hanya dari dua sumber itu saja. Alhasil, banyak ilmu pengetahuan selain sains dan matematika yang kemudian, untuk bertahan hidup, merelakan pergeseran metodenya menjadi rasional atau empiris. Lalu jika begitu, di mana tempat ilmu agama?
Pada umunya, tidak salah bahwa Barat mengakui sumber ilmu berasal dari rasio dan pengamatan. Akan tetapi, epistemologi Barat secara esensial telah menafikan hakikat dari alam ghaib. Alam metafisika yang tidak bisa dijelaskan secara rasional maupun empiris. Sebagai muslim, penafikan akan alam ghaib tentu bukan perkara yang ringan, dan bukan berarti dengan menafikan sesuatu maka sesuatu itu menjadi tidak ada. Oleh karena itu, dari falsafah saja, epistemologi Barat sudah berbeda, jika tidak dikatakan keliru, dari pemahaman islam.
Lantas, dengan mengetahui perbedaan tersebut, apa langkah praktis umat muslim dalam menghidupkan kembali epistemologi islam? Berbagai usaha sudah dilakukan oleh orang-orang yang tertarik di bidang keilmuan islam dari mulai usaha yang esensial hingga ke usaha yang terkesannya sedikit memaksa.
Kita pasti pernah mendengar Harun Yahya. Ia dan kawan-kawannya mencoba usaha yang terkesan sedikit memaksa untuk meng-'islamisasi' sains barat sehingga dekat dengan Islam. Ia dalam berbagai upayanya mencoba memberikan justifikasi ayat-ayat Al Quran dengan penemuan-penemuan saintifik yang terjadi di zaman sekarang. Tetapi upaya ini justru melahirkan masalah baru karena menganggap bahwa Al Quran perlu justifikasi sains untuk mendukung kebenarannya. Selain itu metode yang dipakai olehnya atau oleh orang-orang yang mirip dengannya justru terkesan 'mencocok-cocokkan' penemuan saintifik dengan agama. Kasarnya kita sebut dengan cocokologi.
Upaya lain juga muncul di kalangan aktivis muslim sepanjang abad 20. Tetapi sayangnya banyak yang terjebak ke perangkap 'cocokologi' ini sehingga malah membuat citra agama justru semakin rendah. Semakin harus membungkuk di hadapan sains.
Alhasil berbagai pandangan miring bermunculan. "Memangnya yang dimaksud dengan sains islam itu sains yang lingkarannya memiliki sudut 361 derajat ya?", "Apakah dalam sains islam, sudut siku-siku itu sebesar 97 derajat, atau bagaimana?". Pertanyaan-pertanyaan konyol seperti ini muncul dari kesalahan dalam memahami sains Islam secara hakiki.
Sains islam bukanlah sains yang 'diislamkan' dari segi teknisnya. Apakah perlu kita membuat istilah 'elektron islam'? Apakah ada yang disebut 'mesin islam'? Ini bukanlah tujuan dari islamisasi sains.
Adapun islamisasi sains sebenarnya, menurut Ustadz Wendi Zarman adalah sebagai berikut:
"Wacana sains Islam adalah wacana yang sangat filosofis yang berakar dari pemikiran mengenai hakikat ilmu di dalam Islam. Maka ketika berbicara ilmu sains, maka disitu terkait dengan apa makna ilmu, tujuan mencari ilmu, penggolongan ilmu, makna kebenaran, tingkatan wujud (realitas), saluran-saluran ilmu, makna alam (yang satu akar kata dengan ilmu), metodologi penarikan kesimpulan, adab-adab menuntut ilmu, dan lain sebagainya. Maka proses islamisasi ilmu alam (sains) tidak lain adalah mengislamkan persoalan-persoalan di atas dengan cara meletakkannya dalam kerangka pandangan hidup Islam (Islamic Worldview)."
Selain itu, makna sains islam juga dijelaskan oleh Ustadz Mohammad Ishaq yang dikutip dari makalah Dr Adi Setia sebagai berikut:
"1. Kajian terhadap sejarah perkembangan sains empiris dan teknologi dalam Peradaban Islām dan kaitannya dengan peradaban sebelum dan setelahnya.
2. Kajian yang berkaitan dengan filsafat sains Islām.
3. Kajian yang bertujuan untuk merumuskan konsep sains Islām sebagai program penelitian kreatif jangka panjang yang diperuntukan menuju penerapan ulang nilai kognitif dan etika islami pada sains dan teknologi dalam dunia kontemporer."
Dan beliau menambahkan satu makna lagi yaitu:
"4. Kajian, perumusan, dan penerapan pendidikan sains
Islām dalam berbagai jenjang pendidikan."
Oleh karena itu, islamic science yang dimaksud justru lebih menitikberatkan kajiannya pada wilayah filosofis, alih-alih pada wilayah yang terlalu teknis. Hal-hal inilah yang perlu diperhatikan jika kita berbicara mengenai islamisasi sains atau sains islam. Dengan mengetahui falsafah dasar dalam tradisi keilmuan islam, maka upaya perubahan cara pandang terhadap sains ini juga akan bisa dilaksanakan. Tentunya perlu dikawal oleh masyarakat yang bukan hanya menjunjung tinggi kedudukan ilmu, tetapi juga memahami asas-asas dalam tradisi keilmuan islam.
Identifikasi sumber masalah di atas tentu adalah hasil kajian para ahli yang patut untuk dipertimbangkan. Dengan mengenali sumber dan mengetahui resep penangkalnya, kita bisa menyembuhkan suatu penyakit dengan perawatan yang benar. Dengan mengenali penyakit-penyakit dalam peradaban Barat modern, umat muslim in syaa Allah akan bisa mencarikan resepnya dan menyembuhkannya dengan penanganan yang benar yang sesuai dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Karena sejatinya peradaban ini diwariskan oleh Allah kepada manusia. Manusia diberi tanggung jawab mengurusi dunia ini dengan sebaik-baiknya, dan umat muslim memiliki kehormatan sebagai umat yang dipilih untuk jabatan ini.
...
Membicarakan kontribusi agama islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan tidaklah akan lepas dari membicarakan sejarah seribu tahun proyek-proyek penelitian islam yang telah ada. Tulisan ini bukan upaya untuk romantisasi nostalgik yang hanya bersenang-senang dengan kebanggaan masa lalu saja. Justru harapannya tulisan ini mampu menjadi pemantik bagi kita semua yang mulai menganggap bahwa agama ini tempatnya bukan hanya di langgar, di surau, atau di masjid saja, akan tetapi juga dalam setiap aspek di kehidupan kita.
Tulisan ini saya buat sebagai bentuk penajaman kembali pemahaman saya setelah mengikuti program Kuliah Sains Islam yang diselenggerakan oleh PIMPIN Bandung. Terima kasih banyak kepada Ustadz Mohamad Ishaq dan Ustadz Wendi Zarman yang telah menjelaskan dengan baik 8 materi yang menurut saya penting diketahui oleh aktivis-aktivis muslim milenial, terutama yang berstatus sebagai mahasiswa maupun alumni. Semoga PIMPIN Bandung dapat terus berkembang berkontribusi menjadi lembaga yang reliable di bidang keilmuan islam ke depannya.
Billahi taufiq wal hidayah
Jazakumullah Khairan Katsiran
n.b.: Photo Credit by Panitia KSI