Karantina Rumah Tak Efektif, Indonesia Lebih Cocok Karantina Kampung

Bagus Poetra
Penacava
Published in
5 min readMay 18, 2020
liputan6.com

Kebijakan PSBB pemerintah dalam menghadapi wabah mulai dipertanyakan. Semenjak diterapkan kurang lebih satu bulan yang lalu, kebijakan ini dirasa belum efektif dalam menekan angka penularan virus.

Kebijakan PSBB sebenarnya tidak sama seperti kebijakan lockdown di luar negeri. Kebijakan lockdown menekankan warga untuk tetap diam di dalam rumah masing-masing. Sementara itu, PSBB masih mengizinkan beberapa jenis kegiatan agar tetap dijalankan. Hal ini tentunya untuk mempertahankan kondisi ekonomi Indonesia yang sangat rapuh jika harus dihentikan secara masif.

Walaupun berbeda dengan lockdown, PSBB yang dipahami oleh kebanyakan warga Indonesia adalah kebijakan yang kurang lebih sama seperti kebijakan lockdown, yaitu agar tetap berada di rumah. Hal ini dibuktikan dengan kampanye umum dengan tagar #dirumahaja yang sering disuarakan baik oleh pemerintah, artis, maupun para pegiat media sosial.

Setelah dijalankan, PSBB ini ternyata belum benar-benar efektif dalam menekan arus penularan. Hal ini dapat dilihat dari grafik pertambahan jumlah kasus harian Indonesia. Dilansir oleh website Kompas, bisa dilihat bahwa grafik tersebut bahkan belum mencapai titik ekstrem atau titik puncaknya dan masih menanjak naik.[1] Data ini menunjukkan bahwa arus penularan, meskipun telah diintervensi kebijakan PSBB, belum mengalami penurunan. Padahal jika mau dibandingkan dengan negara lain, rata2 dalam satu bulan arus pertambahan telah melambat bahkan menurun.[2]

Kebijakan PSBB yang dirasa belum efektif ini bisa jadi disebabkan oleh beberapa faktor. Yang pertama, PSBB ini belum benar-benar dipahami oleh orang-orang. Karena terlalu sering diasosiasikan dengan kebijakan lockdown luar negeri, bisa jadi masyarakat tidak memahami arti sebenarnya dari lockdown tersebut. Warga juga tidak memahami dengan baik rincian atiran PSBB sehingga tidak tahu harus melakukan apa. Sosialisasi barangkali telah dilakukan oleh pemerintah daerah sampai ke rukun warga masing-masing, tetapi belum bisa dipastikan sebarapa mengerti warga akan aturan yang tertera.

Yang kedua, faktor ekonomi. Masyarakat Indonesia banyak sekali yang menggantungkan hidup dari pekerjaan harian. Para pekerja bangunan, supir angkutan, pedagang, dan umkm akan sangat terdampak dengan kebijakan PSBB karena membuat mereka tidak bisa bekerja. Pedagang, misalnya, mencari uang dari berjualan keliling setiap harinya. Uang yang ia dapatkan pada hari itu adalah hasil kerja yang dilakukan di hari yang sama. Jika ia tidak bekerja, ia tidak mendapatkan uang, lalu tidak bisa makan. Kita juga tidak bisa memastikan bahwa mereka memiliki tabungan darurat. Faktor ekonomi ini menjadi faktor yang sangat rasional, mengingat setiap orang juga membutuhkan makan setiap harinya dan tidak semuamya bisa bekerja dari rumah, seperti yang dikampanyekan.

Yang ketiga, faktor generalisasi kebijakan. Pada dasarnya, pemerintah pusat membebaskan kepada pemerintah daerah untuk menerapkan aturan PSBB berdasarkan keadaan masing-masing. Akan tetapi, karena kurangnya prosedur standar yang baik dalam kondisi krisis seperti ini, pemerintah daerah kurang lebih menjalankan kebijakan yang mirip di setiap tempatnya. Hal ini menimbulkan ketidakefektifan karena kondisi masing-masing daerah belum tentu sama seperti yang lain. Daerah kota, yang lebih memiliki banyak pekerja kantoran, mungkin bisa melaksanakan PSBB karena orang-orang bisa ‘dipaksa’ untuk bekerja dari rumah. Namun, daerah desa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani atau pedagang di pasar sepertinya akan kesulitan jika harus menerapkan PSBB yang mirip seperti di kota. Meskipun secara ideal kita berpikir seharusnya diterapkan perlakuannyang berbeda kepada kedua daerah tersebut, pada praktiknya aturan yang diterapkan ternyata tidak jauh berbeda.

Untuk menanggulangi hal tersebut, perlu ditinjau kembali kebijakan yang dilakukan. Jika kebijakan PSBB yang dipraktikkan ternyata hampir mirip dengan lockdown, maka perlu ditinjau bagaimana negara lain menerapkan lockdown. Salah satu faktor yang perlu dilihat adalah seberapa banyak warga negara tersebut yang mampu bekerja di rumah. Negara-negara yang memiliki jumlah pekerja rumah banyak tidak akan kesulitan dalam menjalankan lockdown. Selain itu, negara lain juga memiliki anggaran yang baik dalam menunjang sisa warga yang tidak mampu bekerja dari rumah. Ambil contoh Kanada, perdana menteri Justin Trudeau mengambil kebijakan untuk memberi kompensansi kepada warganya yang terdampak kebijakan lockdown. Ia juga memberi kompensasi kepada bisnis yang terdampak dan kepada bisnis yang berusaha membantu produksi alat-alat kesehatan seperti masker, APD, dsb.

Di Indonesia, kita melihat kondisi yang tidak sama. Pemerintah belum siap untuk memberi kompensasi kepada warganya yang tedampak kebijakan PSBB. Masyarakat sendiri pun tidak mayoritasnya mampu bekerja #dirumahaja, kecuali mungkin warga kota besar. Kebanyakan adalah warga yang memgandalkan pekerjaan harian untuk upah harian dan tidak mengandalkan gaji bulanan. Hal ini memberikan tantangan bagi semua warga dalam menghadapi wabah dan krisis ini.

Setelah mengamati beberapa kasus, ada sebuah kasus penerapan karantina yang cukup menarik perhatian. Sebuah desa menerapkan karantina bersama. Ketika ada warga ODP, mereka menanggung makanan orang tersebut sampai ia selesai karantina. Warga lain yang mampu bekerja memberikan sebagian rezekinya kepada warga yang tidak bisa bekerja. Hal ini sangat mencerminkan esensi Pancasila yaitu gotong royong dalam bermasyarakat. Melihat hal tersebut, masyarakat Indonesia bisa menirunya.

Dimulai dari desa atau kampung masing-masing. Masyarakat tidak perlu melakukan karantina rumahan, karena seperti yang kita ketahui, karantina rumah lebih cocok diterapkan pada negara dengan mayoritas warga yang mampu bekerja di rumah dan pemerintahnya mampu memberikan kompensansi. Alih-alih karantina rumah, masyarakat bisa melakukan Karantina Kampung. Masyarakat tidak melakukan perjalanan ke luar kampungnya untuk menahan penularan virus. Lalu bagaimana mereka bekerja? Bagi warga yang mampu bekerja di rumah, mereka bisa tetap melakukannya. Bagi warga yang harus keluar tapi tidak keluar dari kampungnya, mereka juga tetap bisa melakukannya asal menggunakan masker dan membawa desinfektan. Para pedagang asongan, petani, ataupun pekerja lain yang wilayah kerjanya maaih di kampung masing-masing dapat tetap bekerja.

Lalu bagaimana dengan warga yang benar-benar tidak mampu bekerja dengan batasan tersebut (hanya di kampung dan tanpa berkumpul-kumpul)? Mereka bisa ditanggung bersama oleh warga kampung lain yang bekerja. Pemerintah desa melalui rukun warga bisa membentuk mekanisme agar semua orang di kampung tetap bisa terpenuhi kebutuhannya. Tentunya ini memerlukan dukungan semua elemen desa/kampung agar mampu menyumbang dan berbagi dengan sesama yang tidak mampu mendapatkan kebutuhan selama karantina.

Dengan menarik esensi gotong royong dan menerapkan asas-asas kebudayaan di Indonesia, Karantina Kampung mampu menjadi alternatif dalam menghadapi wabah ini. Alternatif ini mempertimbangkan sel-sel desa yang merupakan sel penting dalam kemasyarakatan di Indonesia. Karantina kampung ini mampu tetap menahan arus mobilitas warga, tetapi juga tetap memperhatikan kesejahteraan warganya karena memiliki lingkup yang kecil tetapi tetap saling membantu gotong royong.

Semoga Indonesia mampu menghadapi wabah ini dengan baik dan masyarakat mampu bertahan melaluinya.

--

--

Bagus Poetra
Penacava

Civil Engineer | Renewable Energy | Ordinary Science Guy | Writing, Philosophy, and Music |