Keteladanan yang Tak Lekang Oleh Waktu dari Sosok Buya Hamka

Bagus Poetra
Penacava
Published in
5 min readJun 25, 2018

Pada diri Rasulullah, telah Allah tambatkan teladan yang mulia untuk dicontoh umat manusia. Para sahabatnya mengambilnya sebagai teladan terdekat mereka, mengangkat mereka sebagai generasi terbaik yang pernah ada.

Allah juga menurunkan teladan bagi setiap ummat di setiap masa dan setiap tempat. Teladan yang dekat dan bisa dicontoh langsung sesuai dengan budaya yang berlaku di masyarakatnya. Teladan yang tidak terlalu berbanding jauh dari orang-orang yang melihatnya. Di Indonesia, teladan ini bernama Haji Abdul Malik Karim Amrulloh, atau biasa kita kenal dengan sebutan Buya Hamka.

Ilmu yang Mengangkat

Hamka digelari Buya yang berarti panggilan bagi orang yang ilmunya tinggi dari daerah Sumatera Barat. Hamka sendiri memiliki dua gelar doktor yang ia terima dari penghargaan kampus hebat. Ia menerima gelar doktor honoris causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universitas Al Azhar Kairo. Yang paling menarik adalah bahwa Buya menerima gelar tersebut tanpa sampai menamatkan sekolah dasarnya.

Buya melanjutkan pendidikan ilmu agama di sekolah yang didirikan oleh ayahnya. Buya juga merupakan seorang otodidak ulung. Ia mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, tidak terkecuali seni dan sastra. Hal ini membuat ia berhasil menjadi orang yang tidak terbatas oleh zaman. Pemikirannya selalu berkembang sesuai dengan masanya. Beliau juga menekuni bidang jurnalistik, filsafat, sosiologi, dan politik.

Kekayaan pengetahuan yang ia miliki menjadikan ia termasuk salah satu penulis paling produktif dalam sejarah Indonesia. Tercatat sekitar 113–118 buku yang telah ia telurkan dari hasil pemikirannya. Di antaranya adalah Tenggelamnya Kapal Van der Wick (1937), Di bawah Lindungan Ka’bah (1936), Merantau ke Deli (1940), dan lain-lain. Karyanya yang dianggap paling fenomenal adalah Tafsir Al Azhar yang ia selesaikan ketika mendekam di dalam penjara di masa pemerintahan Soekarno tahun 1964–1966.

Ketangguhan Hati Sang Buya

Sebagai seorang ulama, keteguhan aqidahnya membawa ia bersitegang dengan beberapa orang yang tidak suka dengannya. Buya pernah bergabung di kancah politik nasional melalui Partai Masyumi. Namun, pada tahun 1960, Partai Masyumi dibubarkan secara paksa tanpa dasar yang kuat oleh pemerintahan. Karena dikira melakukan upaya pemberontakan terhadap NKRI. Beberapa tahun setelahnya, Buya dihukum penjara oleh Presiden Soekarno karena dianggap memberontak.

Buya bukanlah seorang yang bermental lemah. Buya tidak berhenti berkarya ketika mendekam di penjara. Di sana, ia berhasil melahirkan Tafsir Al Azhar yang dianggap tafsir berbahasa melayu satu-satunya yang sederhana dan mudah dicerna.

Setelah mendekam selama dua tahun, Buya mendapat kabar dari seorang utusan bahwa Pak Karno telah meninggal dan meminta Buya untuk mengimami salat jenazahnya. Setelah dengan angkuhnya berani memenjarakan Buya, Soekarno pada akhirnya luluh meminta Buya untuk menemani saat terakhirnya. Sayang sekali Soekarno sudah lebih dulu meninggal sebelum sempat menemui Buya Hamka.

Berbeda dengan reaksi yang kita prediksi keluar dari hati Buya seperti sombong, enggan menerima permintaan Soekarno, ataupun merasa sakit hati, Buya dengan tulusnya merapikan pakaian dan berjalan menuju persemayaman Pak Karno yang ketika itu sudah terbaring kaku. Buya menyalatinya dengan ikhlas. Berbagai ulama mempertanyakan sikap Buya terhadap orang yang telah memenjarakannya itu, namun Buya hanya menjawab, “Mungkin dia pada akhir hayatnya bertaubat nasuha”. Berhentilah semua pertanyaan itu.

Sosok Pramoedya Ananta Toer juga pernah mengklaim Hamka sebagai plagiator. Ia berusaha menjatuhkan karakter Hamka dengan banyak cara. Buya ketika itu tidak banyak menanggapi dan hanya diam.

Suatu ketika, Buya didatangi sorang gadis bernama Astuti bersama calon suaminya yang merupakan seorang mualaf. Gadis itu bilang bahwa Ayahnya menyuruhnya untuk belajar agama bersama calon suaminya itu kepada Hamka. Buya terkejut karena tidak mengetahui siapa gerangan ayah si gadis itu. “Siapa nama ayah Kamu?” tanya Buya. Gadis itu menjawab, “Pramoedya Ananta Toer”.

Buya tidak bersikap angkuh dan menolak gadis itu. Alih-alih, ia menerima permintaan gadis itu untuk mengajarinya dan calon suaminya belajar agama. Sungguh merupakan ketangguhan hati dari seorang Hamka. Seorang yang bahkan tidak sempat menamatkan sekolah dasarnya.

Satu contoh lagi adalah kisah hubungan Buya dengan salah satu lagi tokoh besar bangsa Indonesia, Mohammad Yamin. Dalam suatu forum, Buya pernah menyampaikan, “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka..”. Hadirin terkejut, tidak terkecuali Bung Yamin. Bertahun-tahun Yamin marah dan tidak berhenti. Dalam waktu lama, ia memendam rasa benci kepada Buya atas perkataan Buya ketika persidangan konstituante saat itu.

Suatu hari, Buya menerima telepon kabar dari Chaerul Saleh perihal penyakit yang mendera Bung Yamin. Chaerul Saleh mengabari bahwa Yamin berpesan untuk menjemput Hamka ke rumah sakit. Ia ingin Hamka menemaninya di akhir hayatnya. Dari bertahun-tahun menyimpan kebencian kepada Buya, ia tidak ingin itu merusak hubungan mereka berdua sebagai sesama bung dari Talawi.

Buya termenung. Ia kemudian memutuskan untuk berangkat dan meminta diantar ke RSPAD tempat Yamin dirawat. Buya mendatangi ruangan Yamin. Ketika Buya datang, wajah Yamin berubah sedikit berseri. Ia menyongsong Buya. Buya menggenggam tangan Yamin, mencium keningnya. Kebencian bertahun-tahun itu telah menjadi bagai api yang dilibas aliran air yang sejuk. Semua perasaan marah itu sudah tidak lagi berbekas dalam suasana hari itu. “Terima kasih Buya sudi datang”, ujar Moh Yamin. Buya menemani Yamin hingga tiba akhir waktunya. Yamin yang dikenal bermusuhan dengan Hamka, meninggal dengan tenang dalam genggaman Buya.

Buya Hamka telah menjadi teladan yang dekat bagi umat muslim di Indonesia. Kepiawaiannya dalam berpolitisi tidak terhambat statusnya sebagai ulama. Pendidikan formalnya pun tidak menahan rasa hausnya akan ilmu pengetahuan. Ia bisa dibilang satu-satunya sastrawan yang berdiri melintasi empat zaman kesusastraan di Indonesia disebabkan karyanya yang tak sempit di satu zaman saja.

Buya Hamka juga menampilkan sosok seorang muslim sejati yang memiliki hati yang hanif dan bersih. Jiwanya yang pemaaf membuat Allah berkali-kali menunjukkan peninggian atas derajat Buya selama hidupnya. Orang-orang yang membencinya, mencacinya, bahkan hampir membunuhnya telah pada akhirnya luluh ke dalam genggaman Buya. Mereka memohon maaf kepada Buya dengan cara mereka masing-masing. Begitu mulianya seorang Haji Abdul Malik Karim Amrulloh.

Buya Hamka adalah teladan bagi kita para generasi muda. Sangat banyak perilaku dan keseharian Buya Hamka yang patut kita contoh. Karya-karyanya tak menunjukkan akan kandas bahkan dalam waktu puluhan waktu ke depan. Begitulah berkah ilmu seorang Buya Hamka. Karya-karyanya masih digiati sampai hari ini tiada habis-habisnya.

Jika menurut kita meneladani Rasul sebagai contoh masih terlalu jauh, bisa kiranya Buya Hamka kita contoh menjadi teladan sebagai perwujudan akhlaq mulia seorang muslim sejati.

Wallahu a’lam

Diunggah juga di website Masjid Salman ITB
http://kabar.salmanitb.com/2017/08/12/belajar-keteladanan-dari-sosok-buya-hamka/

--

--

Bagus Poetra
Penacava

Civil Engineer | Renewable Energy | Ordinary Science Guy | Writing, Philosophy, and Music |