Lumut Muhammad

Bagus Poetra
Penacava
Published in
2 min readJun 23, 2018

Tidak ada yang meragukan kecakapannya. Ia adalah sebaik-baik pemuda dari keturunan Hasyim. Ia tampan, gagah, dan dapat dipercaya. Tidak ada rekam jejaknya melakukan kesalahan.

Lalu ia tumbuh dan hidup menjadi manusia yang bijak hingga sampailah suatu masa ia menerima wahyu dari Rabbnya.

Maka seketika itu pula segala citra itu tak berguna di muka para pemuka. Segalanya mereka serang demi mempertahankan kedudukan mereka. Jelaslah mereka tidak mau menerima kebanaran dari Muhammad karena itu kan membuat mereka kehilangan jabatan. “Apa kata dunia” mungkin pikirnya jika mau menerima islam.

Maka berawallah perjuangan Muhammad sebagai “perintis” kebijaksanaan diin Islam. Ia bagaikan Lumut yang tidak menyerah menyerang bebatuan cadas.

Lumut-lumut ini yang tidak berhenti meski musim berkalatan. Tetap hidup di tempat sulitnya menemukan kehidupan. Tak ayal para saintis menyebut mereka, “pelopor”.

Selayak itulah Muhammad berjuang. Mempelopori gerakan Ahad, Ahad. Bahwasanya Tuhan Ialah Ahad, Esa. Tiada dipersekutukan dan tiada berbilang. Hendaklah hancur segara berhala karena mereka bukanlah Tuhan sebenarnya!

Di tengah kerasnya bebatuan hati Quraisy itu, sedikit demi sedikit retak dan luluh lah para petingginya. Tersebut lah nama Abu Bakr, Utsman bin Affan, Hamzhah bin Abdul Muthalib, dan yang menakjubkan Umar bin Khathab.

Dan berlalulah masa hingga kedaulatan islam Allah kukuhkan di Madinah, di Kotanya Rasul. Sampai dua puluh tiga tahun perjuangan dengan keringat dan darah membuahkan hasil manis. Dibukanya Mekkah untuk Islam dzahir.

Begitulah Muhammad, yang bagiku bagai Lumut yang merambat. Ia pelopor, menyempurnakan akhlaq manusia. Tak gentar meski nyawa taruhannya.

Muhammad, alangkah rindunya kaum ini menemuimu, Wahai Pelita Bulan.

--

--

Bagus Poetra
Penacava

Civil Engineer | Renewable Energy | Ordinary Science Guy | Writing, Philosophy, and Music |