Radikalisme, Terorisme, dan Status Quo
Pendahuluan
Dunia sosial politik zaman sekarang sedang santer membahas isu radikalisme. Isu ini hangat dibicarakan oleh kalangan politikus, pejabat, sampai ke para akademisi sekalipun. Isu radikalisme semakin memanas kala, pada tahun 2017, Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu Ormas yang digunakan sebagai dasar hukum pembubaran ormas-ormas radikal, salah satunya ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Sampai sekarang (2019), pembahasan mengenai radikalisme belum berhenti diangkat. Hal ini dibuktikan dengan program-program dari para menteri Kabinet Indonesia Maju yang banyak diisi dengan isu penangkalan radikalisme. Salah satunya adalah program Menteri Agama, Fachrul Razi.[1] Isu radikalisme malah semakin diperkuat.
Di satu sisi, mencuatnya isu radikalisme ini bernilai positif. Isu ini memicu pembahasan mengenai radikalisme dan kewarganegaraan menjadi lebih terbuka dan semakin menyadarkan masyarakat. Namun, di sisi lain, pembahasan mengenai radikalisme, ekstremisme, terorisme, dan hubungan di antaranya yang diangkat oleh pemerintah sangat problematis.
BNPT Menjelaskan Radikalisme
Pada tahun 2016, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melansir publikasi yang dimuat di situs Ristekdikti berjudul Strategi Menghadapi Paham Radikalisme-ISIS. Dalam publikasi ini, BNPT menyebutkan bahwa radikalisme adalah “suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem”.[2]
Melalui pengertian ini, BNPT menganggap bahwa semua aksi yang “mendambakan perubahan secara total” adalah aksi radikalisme. Selain itu, ia juga menempuh jalan “lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem”. Seseorang yang mempunyai keinginan seperti ini bisa masuk ke dalam kategori radikal.
BNPT juga mengutip pernyataan A.M. Hendropriyono, Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Menurut Hendro, terorisme menemukan ladang suburnya untuk tumbuh di kalangan “masyarakat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan”.[3]
Menurut pengertian di atas, aksi terorisme bisa lahir dari pandangan fundamental ekstrem atau radikalisme keagamaan seseorang. Seseorang yang memahami agama secara fundamental ekstrem dan radikal akan sangat mungkin menjadi ladang subur bagi tumbuhnya terorisme dalam dirinya. Sehingga pada akhirnya, orang itu dapat melakukan aksi-aksi terorisme yang tidak diinginkan.
Penggunaan kata radikalisme dan ekstremisme yang dikesankan saling bertautan ini bisa dibilang cukup bermasalah. Istilah radikalisme sebenarnya beredar luas di negara-negara dunia. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, bahkan mengingatkan BNPT untuk berhati-hati dalam mendefinisikan isitilah ini.[4]
Dalam pandangan BNPT, penanggunalan terorisme berlandaskan pada istilah radikalisme yang mengandung perspektif negatif. Adapun BNPT sendiri tidak menyangkal bahwa pengertian radikalisme juga bisa mengandung perspektif positif.[5] Tapi justru di sana lah letak persoalannya.
Mengapa BNPT melakukan cherry picking dalam mendefinisikan radikalisme? Jika pengertian radikalisme bisa mengandung perspektif positif dan negatif, mengapa BNPT hanya menggunakan pengertian dalam perspektif negatifnya? Terlebih lagi, pengertian ini dijadikan salah satu acuan dalam mengkategorikan sumber permasalahan terorisme di Indonesia.
Ini tentu bukan persoalan yang sepele. Apalagi isu ini sudah merebak ke mana-mana. Apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari penyelewengan makna radikalisme ini oleh pemerintah?
Radikalisme dan Ekstremisme
Perlu diketahui bahwa radikalisme, ekstremisme, dan terorisme adalah 3 istilah yang berbeda. Ketiganya bisa saling terkait, atau hanya dua di antaranya, atau bahkan tidak ada kaitannya sama sekali. Perdebatan mengenai hubungan antara ketiga istilah tersebut belum berhenti sampai sekarang.
Pada dasarnya, tidak ada pengertian yang pasti untuk kata radikal ataupun radikalisme. Penggunaan kata radikal pertama kali digunakan di bidang kesehatan. Dalam ranah politik, penggunaan pertama kata ini biasa disematkan kepada Charles James Fox yang pada tahun 1797 menyatakan “radical reform” terkait hak-hak pemilihan.[6] Semenjak saat itu, istilah radikal menjadi istilah umum, dalam ranah politik, bagi upaya-upaya untuk mengubah parlemen pemerintahan secara mendasar.
Suatu studi yang dilakukan oleh Astrid Bötticher, ilmuan politik asal Jerman, menyajikan pendapat yang bagus mengenai hubungan radikalisme dan ekstremisme dalam ranah akademis. Berdasarkan kajiannya, istilah radikalisme dan hubungannya dengan ekstremisme sering disalahartikan.[7]
Menurut Bötticher, mencoba mendefinisikan konsep yang buram dan sering disalahgunakan seperti ini adalah bagaikan “exercise in futility”. Suatu hal yang sia-sia. Apalagi jika harus mendefinisikan istilah tersebut tanpa tendensi politik.
Bötticher berpendapat bahwa radikalisme dan ekstremisme setidaknya dapat dibedakan melalui 10 cara yang ia tuliskan dalam jurnalnya. Rata-rata justru tidak seperti yang diartikan oleh BNPT. Salah satunya adalah bahwa penganut radikalisme cenderung “use political violence pragmatically and on a selective basis”, hanya menggunakan kekerasan secara pragmatis dalam kondisi tertentu dan jika benar-benar dibutuhkan. Di lain sisi, pengertian akan penggunaan kekerasan seperti yang dijelaskan oleh BNPT di atas lebih tepat disandingkan dengan istilah ekstremisme yang dijelaskan oleh Bötticher.
Jika kita lihat di KBBI, radikal memiliki pengertian: 1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); 2) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); 3) maju dalam berpikir atau bertindak. Pengertian nomor tiga jelas merupakan pengertian positif. Sementara itu, ekstremis memiliki pengertian: 1) orang yang ekstrem; 2) orang yang melampaui batas kebiasaan (hukum dan sebagainya) dalam membela atau menuntut sesuatu; 3) pejuang pada masa perang kemerdekaan melawan Belanda.
Mengutip kembali Bötticher, “Both radicalism and extremism are situated at some distance from the middle ground — politically moderate, mainstream positions in democratic societies. The centrist position in the political playing field might, however, be shifting too which makes the exercise of defining the radicalist and extremist outliers more difficult”.[8]
Dengan kondisi di atas, pengertian kontekstual istilah radikal dan ekstremis malah bisa berubah-ubah sesuai dengan pusat diskursus politik yang sedang berkembang di masa itu.
Demokrasi Indonesia
Pengartian yang dilakukan oleh BNPT ini sayangnya diamini oleh banyak pihak, termasuk presiden sendiri. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan presiden dan kabinetnya untuk memberantas radikalisme.
Jika pada pengertian dasar yang diambil, pemerintah sudah keliru, lantas apa yang membuat pemerintah bersikeras bahwa upaya yang dilakukannya benar-benar karena tujuan untuk memberantas radikalisme? Fakta kekeliruan ini menimbulkan pertanyaan lain juga. Apakah pemerintah sedang berupaya mempertahankan kepercayaan publik dan mempertahankan status quo mereka?
Pertanyaan itu sangat wajar ditanyakan mengingat beberapa pekan terakhir terjadi peristiwa yang bisa dibilang menjadi simbol ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh ribuan mahasiswa pada tanggal 24 September lalu menjadi pertanda hilangnya kepercayaan publik pada pemerintah.
Hal tersebut menjadi menarik saat memperhatikan data kepercayaan publik terhadap pemerintah. Berdasarkan data yang dilansir oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2016, Indonesia termasuk yang paling tinggi dalam hal Public Trust in Government. Dengan presentase 80%, Indonesia bahkan mengalahkan Jerman dan Selandia Baru di angka sekitar 55%.
Dalam tiga tahun, banyak yang terjadi. Tapi tentu tidak masuk akal jika hanya dalam tiga tahun, kepercayaan publik yang tadinya paling tinggi itu turun drastis. OECD memang belum melansir data terbaru. Akan tetapi, penilaian kepuasan masyarakat terhadap pemerintah bisa ditinjau melalui cara lain.
Melihat beberapa kejadian yang mengiringi Pemilu 2019, Indonesia menjadi perhatian dari banyak pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satunya adalah lembaga think-tank internasional Freedom House yang mengukur tingkat kebebasan warga Negara di dunia.
Berdasarkan observasi Freedom House, sebenarnya Indonesia termasuk negara yang masuk dalam kategori “free” atau “sepenuhnya bebas” pada tahun 2005 sampai 2012. Akan tetapi, semenjak tahun 2013, kualitas kebebasan Indonesia mengalami penurunan.[9] Dari data terbaru, Indonesia sudah masuk ke dalam kategori “partly free” atau “sebagian bebas”.[10]
Dalam penjelasannya, Freedom House mengukur nilai kebebasan suatu negara melalui beberapa parameter. Parameter tersebut dinilai dengan skala 1 sampai 4. Penilaian tersebut kemudian diakumulasi menjadi tiga kategori utama: tingkat kebebasan, hak-hak politis, dan kebebasan sipil.
Beberapa parameter mendapatkan penilaian yang buruk dengan nilai 1 pada skala 4. Parameter-parameter itu adalah perlindungan terhadap upaya pemberantasan korupsi, kebebasan beragama atau berkepercayaan (dan tidak) di publik dan tertutup, pemberlakuan proses hukum dalam masalah perdata dan pidana, perlindungan dari kekerasan dan penyiksaan ilegal oleh aparat hukum, dan kesetaraan hukum untuk setiap golongan. Banyak juga parameter kebebasan yang bernilai 2 pada skala 4 yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Menurut Saiful Mujani, Peneliti Utama Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), pemenuhan hak sipil di Indonesia masih cukup baik sementara pemenuhan kebebasan sipil cukup menurun.[11] Masih dari lembaga yang sama, data terbaru menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kepuasan terhadap demokrasi di Indonesia. Pada bulan April 2019, 74% rakyat merasa puas terhadap demokrasi sementara pada Mei-Juni, angka tersebut berubah menjadi 66%.[12] Penurunan ini bersamaan dengan proses pelaksanaan Pemilu yang berlangsung sejak bulan april sampai mei.
Penurunan kualitas demokrasi ini juga dibaca oleh Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, peneliti dari Australian National University (ANU). Aspinall dan Mietzner menyebutkan penurunan ini sebagai “slow but notable democratic decline”.[13] “Politik yang tak bebas, pelemahan dasar-dasar parpol, dan polarisasi sektarian”, menurut mereka, menjadi sebab menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia. Tren seperti ini terjadi semenjak tahun 2016 dan berlanjut hingga pemilu 2019.[14]
Dari fakta-fakta tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa kualitas demokrasi Indonesia memang mengalami degradasi. Hal ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Kebangkitan para populis di negara-negara Eropa dan Amerika juga menjadi pertanda degradasi demokrasi di seluruh dunia. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah, bagaimana narasi radikalisme berhubungan dengan penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah? Untuk menjawab itu, maka perlu kita tinjau ulang narasi terorisme dan ekstremisme di Indonesia serta pengertian radikalisme yang berkembang di dunia.
Melemahnya Narasi Terorisme
Semenjak serangan pada tahun 2001, Amerika Serikat yang menjadi sasaran saat itu menggalakan narasi “War on Terror”. Siapa yang menjadi targetnya? Tidak lain adalah kelompok teroris islam ekstrem. Perang terhadap terorisme ini menjadi narasi yang terbukti berhasil menarik perhatian pemerintahan dunia dan membuat mereka berbondong-bondong mengikuti Amerika Serikat menyiarkan isu tersebut.
Terlepas dari kejanggalan-kejanggalan penyerangan yang terjadi di World Trade Center dan Pentagon, isu terorisme ini terlalu kuat untuk dihentikan. Di Indonesia sendiri, isu terorisme semakin laku dengan peristiwa Bom Bali 1 dan Bom Bali 2. Narasi terorisme di Indonesia terus subur hingga penangkapan Nurdin M Top dan sindikatnya.
Akan tetapi, setelah beberapa lama, narasi terorisme mulai luntur, bahkan di negara pengusungnya, Amerika Serikat. Setelah 18 tahun mengusung “war on terrorism”, apa hasil yang didapat oleh AS? Iraq yang menerima perang invasi habis-habisan oleh AS sekarang menjadi hancur lebur.
Kita dulu ingat bahwa propaganda massif AS terhadap Saddam Husein mampu menghasilkan disintegrasi di penduduk Iraq. Invasi yang dilakukan dengan dalih “demokratisasi” hanyalah topeng bagi AS untuk mengeruk kekayaan Iraq saat itu. Siapa yang paling menderita? Tentu warga sipil. Jutaan rakyat menjadi pengungsi di negeri sendiri. Apakah itu yang disebut perang “terhadap teror”, ataukah teror” itu sendiri?
Sejak peristiwa ini, banyak aktivis-aktivis kemanusiaan yang mempertanyakan kebijakan perang luar negeri AS. AS dinilai terlalu ikut campur dan melakukan hal yang sia-sia dan malah merugikan bangsa lain.
Di sisi lain, di Indonesia, kegagalan narasi perang terhadap teror juga terjadi. Orang-orang sudah mulai tidak percaya kepada pemerintah dalam hal pemberantasan terorisme. Narasi ini dinilai sebagai alat pemerintah untuk membuat-buat musuh khayalan sehingga seakan-akan negara harus bersatu untuk melawannya.
Dalam kasus Amerika Serikat, musuh AS seperti Nazi Jerman, Uni Soviet, dsb sudah lama hilang. Maka AS perlu membuat “musuh bersama” yang baru. Strategi seperti ini sudah lazim dilakukan, terutama oleh penguasa-penguasa yang ingin mengendalikan rakyatnya dengan mudah. Hitler melakukan ini kepada warganya. Ia mencap Yahudi sebagai biang kerok kemunduran negara. Donald Trump menggunakan narasi anti-imigran selama kampanye dan pemerintahannya. Untuk apa? Untuk memecah belah orang-orang dan membangun legitimasi kekuasaan.[15]
Ditambah dengan kualitas demokrasi Indonesia yang semakin menurun, kepercayaan publik yang semakin menguap, kondisi global yang menunjukkan tren negatif terhadap kepercayaan pada pemerintah, maka merupakan suatu konsekuensi logis jika pemerintah melakukan upaya untuk meningkatkan kembali legitimasinya sebagai penyelenggara negara. Sangat wajar jika pemerintah berupaya mengembalikan legitimasinya. Namun, dengan cara apa?
Karena narasi terorisme sudah “melempem”, dibuat lah narasi baru. Narasi yang mungkin lebih bisa diterima orang-orang dan lebih bisa membangun ketakutan di kalangan masyarakat awam sehingga mau kembali percaya pada pemerintah. Narasi baru itu bisa dibilang adalah radikalisme. Pemerintah telah, tanpa disadari, melakukan penyelewengan terhadap pengertian radikalisme dan terkesan menggunakannya untuk membangun kembali legitimasi kekuasaan.
Hal inilah yang perlu menjadi perhatian mendasar bagi orang-orang awam. Narasi radikalisme ini tidak bisa diterima mentah-mentah karena konstruksi pemikiran dan aktualitas keadaannya sangat problematis. Ini merupakan praktek Machiavellianisme yang lazim dilakukan negara ataupun tokoh di dunia.
Radikalisme Secara Historis
Di masa kini, istilah radikal sudah mendapatkan kesan negatif di permukaan. Padahal sepanjang sejarah munculnya istilah tersebut, orang-orang yang dilabeli radikal justru merupakan orang-orang pembaharu yang pro terhadap kemanusiaan.
Mari kita ambil contoh lagi di Amerika Serikat. Di abad ke-19, orang-orang yang antiperbudakan dilabeli “radical abolitionist”. Mereka ini dianggap gila karena mau mengubah sistem sosial yang saat itu sudah menjadi hal yang lazim yaitu perbudakan. Jumlah mereka sedikit. Mereka dinilai delusional dan gila karena berpikir untuk mengubah sesuatu yang sudah bersifat mengakar.
Upaya mereka, seiring dengan berjalannya waktu, terbantu dengan kebijakan pemerintah saat itu. Ditambah dengan peristiwa Perang Sipil Amerika, upaya penghapusan perbudakan ini menjadi semakin terwujud. Akhirnya dalam beberapa tahun, mereka-mereka yang tadinya disebut radikal ini berhasil berkontribusi menghapuskan perbudakan di Amerika Serikat.[16] Perlu dicatat bahwa penyebab Perang Sipil Amerika saat itu tidak secara langsung dipicu oleh para radikal ini, akan tetapi merupakan bagian dari pergulatan politik di ranah pemerintahan.
Selain itu, masih di AS, radikalisme justru berkembang di kalangan pemerintahan. Dalam hal ini beberapa senator seperti Alexandria Ocasio-Cortez, Ayanna Presley, dsb. dianggap radikal ketika mencoba untuk mengangkat isu kebijakan universal healthcare. Penerapan kebijakan pelayanan kesehatan universal ini, di Amerika Serikat, dikenal sebagai kebijakan sosialis. Perlu diketahui bahwa kebencian Amerika Serikat terhadap ideologi Sosialisme telah berakar sejak Perang Dunia 2. Oleh karena itu, ketika AOC dan yang lainnya mengangkat isu pelayanan kesehatan universal, mereka dianggap sosialis dan membawa pemikiran radikal.
Dalam konteks Indonesia, label radikal malah pernah disematkan kepada para pahlawan seperti Sukarno sendiri. Menurut Muhidin M. Dahlan dalam artikelnya yang dimuat di situs Tirto, pada masa itu, radikal adalah “menyatakan ‘kemerdekaan itu hak’ dan ‘penjajahan harus dihapuskan’”.[17] Menurutnya, dalam konteks historis, radikal adalah “sebuah gaya hidup dalam pembibitan kemerdekaan bangsa dan pembentukan negara. Radikal itu lingua franca dalam sejarah pembebasan nasional. Nama-nama pahlawan perintis kemerdekaan yang selama ini hilir-mudik dalam buku pelajaran para siswa, justru menyandarkan semangat mereka pada satu kata yang keren: ‘radikal’”.[18]
Jadi, istilah radikal, berdasarkan contoh-contoh di atas, justru seharusnya memiliki konotasi positif, bukan negatif seperti yang dijelaskan BNPT pada publikasinya. Mengenai ini, BNPT sendiri memang sudah menyanggah bahwa BNPT hanya mengenali perspektif negatif dari radikal atau radikalisme. Akan tetapi, itu bukan argumentasi yang dapat membuat BNPT, atau secara umum pemerintah, terlepas dari tanggung jawabnya yang telah menyelewengkan pengertian radikalisme dan mengasosiasikannya dengan terorisme dan ekstremisme.
Kesimpulan
Kita semua tidak perlu berkecil hati. Sebenarnya, problematika penyelewengan istilah seperti ini, apalagi terhadap istilah radikal atau radikalisme, sudah umum terjadi secara global. Dengan narasi yang didominasi oleh pemerintah ini, pemahaman masyarakat awam mengenai istilah Radikal, Radikalisme, dan Terorisme akan sangat mudah bias jika tidak disajikan narasi pengimbang. Oleh karena itu, meskipun hal ini sudah lazim terjadi, pengimbangan narasi tetap diperlukan untuk meluruskan yang benar.
Pengertian radikalisme yang digunakan BNPT dan pemerintah telah membuat orang-orang awam tersibukan. Siapa yang menjadi terdampak? Di lapangan, orang-orang islam akar rumput dan para muslim yang menerapkan ajarannya secara mendalam lah yang terkena dampaknya. Dalam kamar sosial, orang-orang ini dicap radikal, tentunya dengan perspektif negatif akibat pengertian yang dibawa oleh BNPT. Padahal pengertian radikal malah bisa dibilang lebih didominasi perspektif positifnya daripada perspektif negatifnya.
Jika konotasi negatif ini dibiarkan berkembang di kamar sosio-kultural, masyarakat umum lama-kelamaan akan menganggap bahwa radikalisme adalah hal buruk. Kaum muslim ataupun agama lain yang hendak mengamalkan ajaran agamanya secara mendalam bisa terkena cap buruk. Apakah pemerintah mau masyarakat memberi label buruk bagi seseorang yang mengamalkan ajaran agamanya dengan baik?
Padahal, di sila pertama Pancasila, disebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila pertama jelas menjadi pertanda bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengutamakan Tuhan dan ajarannya. Oleh karena itu, memberi cap buruk kepada orang-orang yang mengamalkan ajaran agama dengan baik sama saja dengan mencap buruk orang yang menjalankan ideologi Pancasila secara mendasar.
Seorang radikal justru adalah seorang yang baik dalam berbuat. Mereka mempelajari sesuatu hingga sampai ke akarnya dan memahami falsafah dasar suatu ilmu pengetahuan. Menjadi seorang radikal berarti berusaha memiliki pandangan yang mengakar dan berupaya menjadi seorang insan yang memiliki kebijaksanaan. Dengan mengetahui bahwa radikalisme, secara historis, justru didominasi pengertian dengan perspektif positif, kita justru perlu menjadi radikal dan mengandalkan para radikal. Dari masa ke masa, para radikal mampu membawa umat manusia menuju progress perkembangan menjadi yang lebih baik.
Meninjau kondisi demokrasi di Indonesia, semoga pemerintah tidak benar-benar menggunakan isu radikalisme ini sebagai instrumen untuk mempertahankan status quo. Jika benar demikian, hal ini merupakan upaya penggeseran makna yang diselewengkan. Harapannya, pemerintah mau membuka ruang-ruang diskusi yang membahasa isu radikalisme ini, bukan hanya dalam koridor sosio-politik tetapi juga dalam koridor akademis.
…
[1] https://nasional.tempo.co/read/1266049/begini-rencana-fachrul-razi-atasi-radikalisme/full&view=ok
[2] Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme — ISIS, Jakarta: Kemenristekdikti, 2016, hlm. 1.
[3] A.M. Hendroprioyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi dan Islam, Jakarta: Buku Kompas, 2009, hlm. 13.
[4] https://nasional.tempo.co/read/1103273/bnpt-dikritik-soal-pemakaian-kata-radikalisme-oleh-sekjen-pbb
[5] Idem
[6] https://www.britannica.com/topic/radical-ideologist
[7] Bötticher, A., Towards Academic Consensus Definitions of Radicalism and Extremism, Perspectives on Terrorism, Amerika Utara, 2017
[8] Idem
[9] https://mediaindonesia.com/read/detail/251207-kualitas-demokrasi-indonesia-menurun
[10] https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2019/indonesia
[11] Idem no. 9.
[12] https://mediaindonesia.com/read/detail/244288-evaluasi-publik-20-tahun-demokrasi
[13] thejakartapost.com/news/2019/09/21/indonesian-democracy-at-its-lowest-point-in-almost-20-years-scholars.html#_=_
[14] Idem
[15] https://liberationist.org/dividing-people-is-the-best-way-to-lead/
[16] https://www.theguardian.com/commentisfree/2014/jan/20/we-need-radicals-for-social-change
[17] https://tirto.id/ramai-ramai-ngawur-menggunakan-kata-radikal-ek6S
[18] Idem