Tentang Si Cowok Kucel Berkacamata

Bagus Poetra
Penacava
Published in
7 min readJun 18, 2024

Konon katanya lima tahun yang lalu pernah muncul seorang cowok miskin di Bandung. Perawakannya junkies alias jangkung ipis. Dia jarang ganti baju kecuali kalau mau ketemu dosen. Sepatunya bikin orang nanya “Lo mau ke sawah pake boot segala?”. Kalau jalan grasak-grusuk kaya lagi ngejar KRL. Yang udah kenal biasanya manggil dia dengan sebutan “Bagoy” atau pendeknya “Goy”.

Selepas udah gak tinggal di Asrama, dia luntang-lantung hidup di Salman. Pergi dari satu sekre ke sekre yang lain, dari satu pojok kamar aktivis, ke pojok yang lain, cuma buat “numpang idup”. Sehari-hari kalau lagi ada duit biasanya makan fancy di kantin salman pake dada ayam sama sayur kol. Kalau lagi miskin mah paling cuma makan nasi dikasih sambel pecel, itu juga pake pisin kecil. Konon begitulah dia hidup selama berbulan-bulan menunggu jadwal sidang akhir yang tidak kunjung hadir (karena tugas akhir yang gak selesai).

Kamar Aktivis Asrama

Di suatu hari, cowok kucel berkacamata ini diajak ngobrol sama seniornya untuk garap suatu program di Salman. Program pelatihan yang katanya mentereng buat akhi-akhi dan ukhti-ukhti yang sering ngalor-ngidul ngerjain kegiatannya Salman (istilahnya mah kader). Dipikir-pikir kayaknya si senior ini waktu itu belum sarapan deh sehingga kurang bisa berpikir kenapa sih harus ngasih tawaran penting ke cowok kere yang jarang mandi. Karena penasaran, akhirnya diterimalah tawaran itu.

Persiapan programnya 4 bulan. Dalam setahun ada 2 kali kegiatan. Artinya pengerjaannya bisa makan waktu sekitar 8–10 bulan. Sengaja lah waktu itu si Bagoy ambil sembari ngerjain tugas akhir yang progressnya udah kaya nunggu perbaikan jalan bolong di kampung, lama banget. Lagian itung-itung memperpanjang numpang idup dan makan di lokasi yang deket banget ke kampus.

Setelah mereka deal, akhirnya disusunlah rencana. Mulai cari orang sana-sini yang cocok untuk bantu garap bareng biar gak sendiri-sendiri amat ngerjainnya. Pertama nyari otaknya dulu, katanya sih namanya SC atau Steering Comittee (atau Sangat Caleuy?). Setelah dapet kemudian rutin deh ketemu sama guru besarnya yaitu Ustadz Adriano Rusfi atau orang-orang biasa manggil beliau “Bang” Aad. Lanjut kemudian persiapan sambil nyari tenaga tambahan buat dorong mesin programnya atau bahasanya mah OC atau Operational Committe (atau Orang Caleuy?).

Bang Aad di LMD 200

Kegiatan SC di awal sebenernya gampang banget. Cuma ketemu Bang Aad, ngobrolin garis besar pelatihan, dan kadang-kadang piknik ke Lembang berkedok pelatihan panitia. Mulai hangatnya adalah setelah lewat bulan pertama. Banyak target yang harus dicapai, survei ke lokasi ini itu yang waktu itu jaraknya puluhan kilo dari Bandung. Belum juga harus bisa nerjemahin ceramah Bang Aad ke uraian teknis yang bisa dimengerti sama panitia lain.

Tapi bukan anak Salman kalau gak mau ikhtiar. Meskipun puyeng, panitia maju terus dan berusaha ngerjain persiapan sebaik mungkin meski dengan kesibukan masing-masing yang gak kalah penting, bahkan kadang bisa jadi lebih penting, dari program ini. SC kerja siang malem muter otak untuk nurutin keingin Bang Aad sebagai “Grand Syaikh”-nya pelatihan ini, OC banting tulang survei sana-sini, ngumpulin logistik, nyari pemateri, ngurus administrasi sampe hal tetek-bengek yang harus dikerjain dari pagi ketemu pagi.

Di balik capeknya ngurus persiapan, salah seorang pembina bilang,

“Hal-hal penting ini diurus ya, kalau enggak nanti kamu yang tanggung jawab, kalau peserta kecelakaan dan gak ada ambulans atau rencana tanggap darurat, nanti kamu yang masuk penjara”.

Si Bagoy cuma bisa senyum dan bilang “Iya, Pak, siap!”, padahal waktu itu tinggal sisa 2 minggu sebelum kegiatan.

Akhirnya sampailah di hari H. Kalau kata bule mah “The Moment of Truth” cenah. Panitia stand by, peserta udah siap pembukaan, logistik udah dikumpulin. Pokoknya acara tinggal jalan. Bergeraklah semua rencana yang sebelumnya udah dipersiapkan. Dari pagi mulai acara ga ada masalah, semuanya bisa ditangani langsung. Mulai seru ketika hari kedua.

Peserta datang ke lokasi kedua, denger kuliah dari narasumber, makan, lalu istirahat malam. Besok hari ketika semua siap pindah ke lokasi selanjutnya, salah satu panitia inti nge-drop dan harus balik kanan. Konon katanya karena terlalu capek dan kurang istirahat setelah sebelumnya juga baru selesai ngurusin program lain. Akhirnya berkuranglah tenaga yang bisa bantu kegiatan.

Hari kedua, ketiga, keempat, sampai seterusnya, masalahnya bukan semakin mudah, malah semakin bikin pusing. Dari muncul konflik sama panitia lain, peserta yang hampir dibubarin, sampai Bang Aad yang batal hadir di penutupan, ada semua. Ternyata memang jalanin program 9 hari 8 malam nonstop itu benar-benar menguras lahir dan batin panitianya.

Tapi kan the show must go on. Maka dijalanilah semuanya hingga finish line dengan sekuat tenaga semaksimal mungkin. Konflik harus didamaikan, kekurangan logistik harus disiasatin. Rencana yang berubah ya harus diakalin supaya tujuan programnya tetep tercapai meskipun pelaksanaannya gak sesuai rencana awal. Hingga akhirnya selesailah pelatihan ini ditandai dengan dilantiknya kader baru.

Selesai satu batch, muncul batch yang lain. Tapi kali ini lain karena alasan nunggu sidang akhir sudah gak berlaku dengan kelulusannya si Bagoy. Dia harus tetep bertugas sambil berstatus sebagai fresh graduate. Kalau kata orang sih jadi pengacara, pengangguran banyak acara. Karena gak kunjung dapet kerjaan, akhirnya dia tetep garap SPECTRA sambil terus lamar sana-sini dan berharap ada yang nyantol.

Seperti biasa proses persiapan program berlangsung sama. Mulai dari cari tim, nyusun jadwal kegiatan, nyari narasumber, nyari relasi ke lokasi target, dsb. Tapi kali ini dibantu oleh cowok berkaca mata lain yang namanya Mas Faqih. Kalau Bagoy tugasnya ngurus konsep, Mas Faqih ini yang tugasnya ngurus lapangan. Jadi sekarang tenaganya double.

Mas Faqih

Mereka berdua kerja sama bareng dengan tim lain untuk nyusun program, tapi dengan banyak evaluasi dari batch sebelumnya sehingga harapannya sih bisa banyak pengembangan dari kesalahan-kesalahan kemarin. Sekarang panitia dibikinin aturan, administrasi dibikinin tata cara, kemudian pelaksanaan ada standarnya. Pokoknya dibikin lebih rapih dari sebelumnya deh.

Menjelang kegiatan, persiapan panitia semakin intens. Narasumber dipastikan siap, lokasi dipastikan sudah dikasih izin, logistik dicek ulang, panitia dipastikan sehat dan siap bertugas.

Beberapa hari menjelang hari H, muncul pemberitahuna ke email cowok ini. Isinya undangan untuk wawancara kerja dari perusahaan yang sebelumnya dia lamar di Jobstr*et. Harusnya seneng ya, cuman ini jadi masalah karena waktunya adalah hari pertama kegiatan pelatihan dan lokasinya di Jakarta.

Dipikir-pikir, ya lebih penting wawancara dong karena menyangkut urusan pribadi, tapi waktunya bertepatan di momen penting dan krusial kegiatan yang saat ini lagi jadi tanggung jawab, jadi sama-sama penting juga. Alhasil setelah diskusi, Mas Faqih siap untuk gantikan sementara posisinya supaya bisa berangkat wawancara.

Datanglah waktu yang ditunggu. Peserta sudah berangkat ke lokasi, dia berangkat ke Jakarta. Peserta melakukan kegiatan awal, berpindah ke lokasi yang dituju dan mulai kegiatan di sana sampai malam hari. Setelah beres dari wawancara, dia buru-buru mencegat bis ke arah lokasi pelatihan yang jaraknya 250 km selama 7 jam perjalanan. Bis baru bisa sampai ke lokasi pukul 8 malam karena ada masalah di perjalanan. Syukurlah dia tetap bisa sampai selamat ke lokasi dan bergabung untuk melanjutkan pelatihan.

Berlalulah hari kedua, ketiga, dan seterusnya dengan berbagai masalah yang muncul. Syukurlah setelah adanya evaluasi dari batch sebelumnya, tim panitia dapat kompak menyelesaikan tugas tanpa masalah yang berarti.

Menjelang penutupan peserta dinasihati dengan suatu puisi indah ciptaan salah satu panitia yang tidak bisa hadir ke lokasi. Mata mereka tertutup dengan rapat, tapi telinga mereka terbuka dengan lebar mendengar untaian bait demi bait yang dialunkan. Suasananya khidmat, semua tenang dan sendu. Beberapa mata bahkan mulai berurai tangis saat puisi mencapai ujungnya.

Penutupan kala itu diiringi perasaan haru dari para peserta yang menghayati betapa bermaknanya proses pelatihan yang mereka lalui. Proses penting yang penuh dengan rasa dan hikmah. Proses yang mengubah peserta menjadi KADER SPECTRA.

…dan juga merubah cowok kucel di cerita ini menjadi orang yang baru…

Semua itu sebenarnya adalah cerita pribadi dari sudut pandang saya, si cowok kucel berkacamata yang numpang hidup di Salman selama tingkat akhir, ketika saya diminta bertugas sebagai Kapro Spectra 4 dan 5. Saya rasa pelatihan ini telah mengubah saya, sebanyak pelatihan ini telah mengubah peserta, bahkan lebih.

Itulah mengapa meski sebagian orang meremehkan program ini, saya tidak begitu mengamini mereka. Karena dari sudut pandang saya, pelatihan ini lebih dari sekadar output dan target. Pelatihan ini berisi makna yang mendalam bagi jati diri kita sebagai manusia dan hamba Tuhan Yang Maha Esa.

Program ini bermaksud menanamkan kemandirian jiwa kepada kita, sambil secara ironis menanamkan ketergantungan kita kepada Sang Pencipta. Karena itulah ruh yang hendak diajarkan, bahwa kemerdekaan manusia hanya hadir sebagai sebab dari kebergantungan pada Allah satu-satunya tempat bergantung.

Saat menjadi panitia, saya bukan hanya dilatih untuk lebih tangkas dan lihai dalam mempersiapkan kegiatan teknis, melainkan juga untuk lebih peka dan peduli dalam berhubungan dengan manusia. Saya memang tidak pernah mengalami menjadi peserta, tetapi entah mengapa saya pikir pendidikan yang dialami panitia saat menjalankan pelatihan terasa lebih dalam dan abadi.

Kondisi ini ditambah dengan posisi saat itu yang mengharuskan saya menyelesaikan tugas akhir, mencari kerja, dan berusaha agar tidak melulu menumpang lunta-lantung di kompleks Masjid Salman ITB. Semua ini memberikan penghayatan yang mendalam bagi pribadi saya.

Saya yakin semua yang terlibat di SPECTRA baik peserta maupun panitia mengalami hal serupa meskipun dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Suatu penghayatan penuh makna tentang jiwa, Tuhan, kemanusiaan, dan usaha untuk mencapai keadaban tingkat tinggi. Dan inilah yang menurut saya membuat SPECTRA sebagai one of a kind.

Nothing else feels like SPECTRA.

Jadi….

Kapan kamu daftar SPECTRA?

--

--

Bagus Poetra
Penacava

Civil Engineer | Renewable Energy | Ordinary Science Guy | Writing, Philosophy, and Music |