Terjebak Kebenaran Pribadi
Ada hal menarik yang saya perhatikan setiap saya pergi ke luar kota. Delapan bulan ini mobilitas saya cukup tinggi, bahkan di awal tahun ini hampir setiap minggu saya ke luar kota. Untuk wisata? Boro-boro. Saya bertugas melakukan survei teknis untuk pengadaan plts.
Setiap survei, saya melihat dan memperhatikan aspek-aspek lapangan yang ada untuk kemudian digunakan sebagai data awal perancangan sistem plts. Saya pribadi hanya support system karena pemain utamanya adalah para electrical engineer. Aspek lapangan yang saya perhatikan lebih mencakup ukuran struktur bangunan, sistem strukturnya, kemiringan atap, akses, traffic wilayah, dan kadang sampai ke assessment sederhana dari kekuatan strukturnya.
Sebagai anak bawang dan baru dalam dunia plts, tugas-tugas survei seperti ini mengasah cara berpikir saya. Saya dilatih untuk memahami sistem struktur suatu bangunan, juga bagaimana itu bisa dikaitkan dengan perencanaan pembangunan plts. Saat kuliah, saya belajar sistem struktur bangunan, tapi saya jauh lebih mengerti ketika diberi tugas langsung seperti ini.
Yang menarik adalah, ketika saya tidak sedang bertugas, pikiran itu terus muncul di kepala. Ketika mengantar ibu ke supermarket, ketika hang out bersama sahabat di mall, atau bahkan sekadar singgah di suatu tempat. Secara tidak sadar kepala saya langsung memikirkan aspek-lapangan dari gedung yang sedang saya lewati.
Saya selalu memperhatikan dan membesitkan pertanyaan di kepala, “Itu ukurannya berapa milimeter ya? Pakai baja tipe apa yah? Hmm apakah tukangnya meletakkan elemen ini dan itu pada rentang waktu yang sama, atau secara berurutan yah?”. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul secara instan di kepala, karena seringnya saya keluar kota untuk melakukan assessment bangunan.
Bagaimanapun hendak dihilangkan, kebiasaan itu ternyata selalu muncul. Wajar saja, karena memang pekerjaan saya sekarang menuntut saya demikian. Selalu memperhatikan dengan detail setiap struktur bangunan. Maka wajar pula kebiasaan tersebut terbawa ke kehidupan sehari-hari.
Lalu bagaimana dengan orang yang bekerja di firma hukum? Saya yakin ia juga mengalami hal yang sama. Ketika sedang membeli roti, mungkin ia membayangkan bagaimana izin usaha yang diajukan oleh si penjual. Atau saat sedang menonton bola, bagaimana sebuah stasiun tv menyelesaikan akta-akta perusahaannya. Saya bukan ahli hukum, jadi tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka. Haha.
Nampaknya ini juga terjadi pada semua orang. Setiap orang saya yakin, akan selalu melihat dari sudut pandangnya yang paling dominan, dan sudut pandang dominan ini saya yakin sangat dibentuk oleh pekerjaan (occupation, not just job) dari masing-masing individu.
Jadi ketika menafsirkan suatu negara, misalnya, seorang civil engineer seperti saya akan melihat sisi infrastrukturnya, sementara seorang konsultan pemerintah seperti kawan saya Nur Andi Prasetia akan melihat dari sisi politik dan kebijakan pemerintahnya. Barangkali seorang bio management scholar seperti kawan saya Mohammad Izzar Rosyadi akan melihat dari sisi carbon footprint dan ecological dari kehidupan hayati di negara itu.
“To A Hammer, Everything Looks Like A Nail”
Mungkinkah setiap orang melihat secara utuh completely dari seluruh sudut pandang? Orang bisa saja bilang mungkin. Tapi pertanyaannya adalah, “seberapa mungkin?”. Saya rasa kita akan kesulitan untuk menjadi superman seperti itu. Kita pasti akan membutuhkan orang lain untuk menjadi pembanding dalam setiap hal. Itulah mengapa saya yakin kita tidak akan pernah bisa hidup sejahtera tanpa mendengarkan saran/nasihat dari orang lain.
Jadi, setiap ada persoalan, kita mungkin bisa punya sudut pandang tertentu. Jangan pula menganggap bahwa sudut pandang kita paling betul, apalagi jika persoalan itu bukan merupakan bidang keahlian kita. Pepatah di barat berbunyi, “To A Hammer, Everything Looks Like A Nail”. Artinya, “Bagi sebuah Palu, semua hal terlihat seperti paku”!
Pepatah di atas jadi peringatan bagi kita, betapa sulitnya kita menjauh dari sudut pandang kita sendiri. Oleh karena itu, mari coba mulai dengar pendapat dari lawan bicara kita, dari pihak yang berbeda pendapat dengan kita. Mari coba tengok pernyataan apa yang hendak dikatakan dari orang yang oposisi dengan kita.
Bukan soal siapa yang benar. Hanya saja kita sendiri bisa jadi terlalu sempit melihat sesuatu karena terjebak oleh sudut pandang pribadi, tidak mau mendengar pendapat yang berbeda apalagi berlawanan.
Siapa tahu di tepi sungai satu lagi, ada makna lain yang bisa kita pelajari. Lagipula, untuk apa sih menganggap diri kita benar, kalau kita tidak mau belajar?
Di era Avengers ini, Superman bakal kelabakan.
Tabik