Menyadari Kesalahan Berpikir di Lingkungan Belajar

Anetta Mutiara
Pengajar Belajar
Published in
6 min readMar 13, 2023

Selama bersekolah, belajar berkelompok, ataupun sekedar berdiskusi, pasti kita dituntut untuk mengungkapkan pendapat hasil berpikir. Namun, pernahkah kamu mengidentifikasi kesalahan berpikir yang mungkin pernah terjadi di sekitarmu?

Nah, pada tulisan ini, saya ingin berbagi sudut pandang setelah membaca buku berjudul The Art of Thinking Clearly: 99 Sesat Pikir oleh Rolf Dobelli. Menurutnya, berpikir adalah fenomena biologis sejak terciptanya manusia — di mana otak bekerja untuk kita agar dapat tahan hidup. Dengan berpikir, kita bisa mempelajari suatu hal yang tentunya akan memudahkan kehidupan kita. Itulah mengapa, di dunia modern yang penuh distraksi saat ini, butuh fasilitas dan bimbingan agar proses belajar dapat berjalan dengan baik sesuai tujuan.

Sumber : gramedia.com

Adapun syarat berpikir bagi manusia adalah alat indera kita, informasi/fakta yang terindra, otak, dan informasi yang didapat sebelumnya. Jika salah satunya hilang, maka pikiran kita akan kurang sempurna. Berikut merupakan contoh-contoh kesalahan berpikir yang bisa kita temukan di sekolah:

  1. Sejak memilih sekolah, ada sebuah bias bernama ilusi tubuh perenang (swimmer’s body illusion), dimana banyak orang menganggap bahwa reputasi alumni yang bagus menandakan bahwa sekolah itu bagus baginya. Jika ditinjau dari banyak faktor, bisa jadi benar, bisa jadi tidak sepenuhnya benar. Sering kali kita keliru antara faktor seleksi dan hasil, di mana alumni sukses bukan semata-mata karena lulus dari sekolah itu, namun kerja keras dan faktor lingkungan di rumah juga punya andil yang tidak sepele. Sama halnya dengan siswa-siswi yang dianggap mengharumkan nama sekolah; bukan prestasinya lah yang membuat sekolah itu bagus, tetapi siswa bisa berprestasi akibat ada banyak dukungan dari sekolah, dan itulah yang menjadi alasan mereka bisa mengangkat nama sekolahnya. Masih banyak yang menelan bulat-bulat dan mengagungkan satu faktor yang dianggap bisa benar-benar membawanya sukses. Padahal jangan lupa dengan faktor lain: lingkungan rumah, bimbingan orang tua/wali, ketersediaan fasilitas, dll; juga berpengaruh kepada kesuksesan.
  2. Salah satu bias yang sering ada pada zaman ini adalah ad hominem, yaitu kritik yang diberikan secara subjektif kepada seseorang, bukan kepada gagasan yang diberikan. Seseorang yang belum terbuka menerima perbedaan pendapat, dapat menyerang suatu gagasan secara personal, sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Ini berlaku pada pembelajaran di mana seharusnya guru bukan satu-satunya sumber informasi sehingga semua orang punya kemungkinan salah. Guru dan murid harus sama-sama menerima pendapat, karena pada dasarnya sekolah adalah tempat belajar, dan tidak ada pembelajaran yang sukses tanpa kegagalan sedikitpun.
  3. Berinteraksi dengan teman tanpa bekal pendirian yang kuat, dapat menyebabkan siswa mudah terombang-ambing dengan tren dan pendapat orang lain. Hal ini dikarenakan siswa akan terus berhadapan dengan sekelompok teman di kelas yang rentan terhadap ilusi pengakuan sosial (social proof), kadang-kadang disebut “naluri kelompok”. Hal ini membuat siswa merasa bertingkah laku benar ketika bersikap sama seperti orang lain. Semakin banyak orang yang menunjukkan tingkah laku tertentu, semakin terlihat benar atau keren di mata teman-teman lainnya. Inilah yang menjadikan siswa sebagai sasaran empuk perbuatan tidak terpuji apabila tertular perbuatan seperti mencontek, berkata kasar, memaki, dsb.
  4. Ketika seseorang — baik guru atau murid — bersikeras mempertahankan pendapat yang dianggap benar dan membuang informasi baru yang bertentangan dengan kepercayaan dan keyakinan, hal tersebut bisa jadi adalah bias konfirmasi. Bias tersebut cenderung membuat orang tidak mengkonfirmasi ulang semua informasi yang didapatkan. Itulah mengapa tidak semua informasi harus ditelan mentah meskipun itu dari teman terdekat, ataupun guru paling senior sekalipun. Kita dituntut untuk berpikir dan mencari tahu dahulu sebelum menerima.
  5. Pernahkah kamu menahan diri untuk tidak mengatakan apapun dalam rapat? Hal itu juga pasti terjadi pada sebagian besar peserta didik: ikut berkata paham ketika ditanya, meski mungkin ada ketidaksesuaian antara pikiran dan hati yang mendengarkan, atau agar tidak dianggap bodoh karena bertanya. Ketika semua orang berpikir dan bertindak seperti ini, sedang terjadi pemikiran berkelompok (groupthink) yang dapat menghasilkan keputusan yang dianggap mufakat yang sebenarnya bertolakbelakang dengan kenyataan pribadi. Hal ini berhubungan dengan efek kemalasan sosial (social loafing), dimana usaha individu tidak dapat terlihat langsung dan bercampur dengan usaha kelompok. Ketika manusia bekerja bersama, kinerja individual menurun. Salah satu contohnya seperti ungkapan-ungkapan yang sedang ngetren seperti “Kalau mereka bisa, kenapa aku harus bisa juga?”, dan “kalau ada yang mudah, kenapa harus susah-susah?”. Padahal, sudah sepatutnya kita tidak membebankan suatu tugas hanya kepada satu orang saja. Dalam kelompok, seharusnya ada praktik demokrasi yang berjalan di sana. Itulah mengapa, banyak pelajaran yang disampaikan secara privat lebih efektif daripada klasikal.
  6. Berdasarkan pengalaman saya ketika SMA, ada beberapa teman saya yang kurang optimis menghadapi soal-soal ujian kelas 10 yang membuat mereka berkecil hati mendapatkan nilai tinggi untuk keperluan eligibilitas SNMPTN. Saat itu, mereka lebih memilih untuk merendahkan nilainya terlebih dahulu agar di semester-semester kedepannya dapat meningkat. Hal itu disebut ‘it’ll-get-worse-before-it-gets-better fallacy’ alias sesat pikir ‘buruk dulu baru baik’. Padahal, banyak orang yang menyetujui bahwa sistematika SNMPTN cukup tidak terprediksi, dan terkesan bermain peruntungan dengan nilai rapor tanpa adanya strategi yang matang. Ada kalanya sebagai siswa, kita hanya perlu fokus pada proses peningkatan pengetahuan dan pemahaman diri agar dapat menyelesaikan tujuan pembelajaran dengan tuntas, daripada hanya pada peningkatan nilai yang berupa angka belaka.
  7. Pernahkah kalian mendengar pendapat pro dan kontra terhadap sistem reward dan punishment dalam pendidikan? Hal ini merupakan sesuatu yang diwaspadai dalam menghindari incentive super-response tendency (kecenderungan tanggapan super terhadap insentif), yang menunjukkan bahwa perilaku manusia sangat cepat berubah ketika ada insentif yang ditawarkan. Ironisnya, mereka berubah semata-mata karena insentifnya, bukan pada tujuan besar yang mendasari pembelajaran tersebut. Tidak hanya berupa uang, tetapi bisa juga nilai bagus, hadiah menarik, atau perlakuan istimewa dari seorang guru. Hal ini dapat mendiskriminasi kepercayaan diri murid yang tidak pernah mendapatkan insentif.
  8. Sebagai makhluk yang pikirannya belum diberi kesempurnaan untuk memutuskan banyak hal, diberi banyak pilihan belum tentu baik bagi siswa. Namun, seiring berkembangnya zaman, akses terhadap banyak hal sangat terbuka lebar, sehingga memberikan siswa-siswi kelimpahan sumber informasi untuk diserap. Padahal, kelebihan pilihan dapat membuat seseorang tidak yakin, dan mengakibatkan ketidakpuasan jika tidak dipertimbangkan dengan baik. Istilah teknis untuk hal ini adalah paradoks pilihan (paradox of choice). Sebagai guru, ada kalanya baik untuk membuat mereka kepepet agar muncul ide-ide kreatif yang bisa saja muncul di tengah kesempitan pilihan. Karena sejatinya, tidak ada keputusan yang benar-benar sempurna, dan ada beberapa hal yang tidak membutuhkan perfeksionisme.
  9. Ada beberapa kasus siswa yang menganggap teman yang pintar dan cakap itu adalah sebuah mukjizat yang diturunkan khusus untuknya, sehingga mereka tidak menerima kenyataan bahwa mungkin sebenarnya ada usaha tidak tampak yang terjadi. Ini adalah efek silau (halo effect) ketika satu aspek tunggal menyilaukan kita dan mempengaruhi cara kita melihat keseluruhan gambar.
  10. Berkaitan dengan bias sebelumnya, adanya kompetisi di lingkungan belajar dapat berlanjut ke sikap iri yang berlebihan. Padahal, siswa perlu diberikan pemahaman untuk berhenti membanding-bandingkan pencapaian orang lain dengan diri sendiri. Ciptakanlah lingkungan agar mereka dapat mengeksplorasi kelebihan dan kompetensinya sendiri, dan siswa juga harus belajar untuk meregulasi rasa irinya menjadi motivasi berkembang untuk dirinya sendiri.
  11. Sebagai guru, kita harus menyadari bahwa murid akan bereaksi secara berbeda kepada situasi tertentu, tergantung caranya disampaikan. Sehingga, guru harus mempelajari tentang pembingkaian (framing) pada suatu informasi, yang jika digunakan secara tepat, dapat mempengaruhi pola pikir murid. Contohnya di dalam pembagian tugas di rumah, daripada menyebutnya sebagai masalah, orang tua bisa menyebutnya sebagai ‘kesempatan’ atau ‘tantangan’. ‘Penghalusan istilah’ semacam ini dapat memberikan hasil keputusan yang berbeda bagi anak, dan kita dapat membuat anak memiliki sudut pandang yang lebih positif terhadap suatu hal yang dirasa sulit.
  12. Waktu belajar sempat menjadi perbincangan seiring menyebarnya variasi jam sekolah di berbagai belahan negara. Tetapi, kita semua menyadari bahwa terdapat kejenuhan di titik tertentu yang membuat siswa menjadi malas dan terkesan asal masuk sekolah dan mengerjakan ujian sekenanya saja. Disinilah pentingnya memahami kelelahan keputusan (decision fatigue), dimana mengambil keputusan itu melelahkan. Itulah mengapa sebagaimana ujian, belajar juga harus diiringi dengan kegiatan dengan pilihan yang mudah (status quo), seperti permainan, sharing, dan diskusi tanpa menghakimi.
  13. Berkaitan dengan status quo, bagi mereka yang tidak terbiasa membuat keputusan, pasti akan mudah mengikuti pilihan yang benar baginya saja. Misalnya, seorang siswa rela mentraktir temannya sebuah mie instan agar dapat menggantikannya piket, padahal ia sebenarnya bisa menghemat sekitar Rp5.000,- untuk hal lain. Namun, bagi seorang pemalas, siswa tersebut merasa sangat keberatan jika diminta untuk membuangkan sampah di laci teman-temannya ketimbang mengeluarkan uang 5 ribu perak. Siswa tersebut adalah korban efek standar (default effect) akibat bias status quo, yaitu mengedepankan kenyamanan dan menolak kerugian. Bias ini mengungkapkan bahwa manusia punya kecenderungan kuat untuk berpegang pada situasi yang berlaku sekarang, sekalipun situasi itu merugikan. Sebagai pendidik, kita dapat merubah setelan standar itu, dan mengubah perilaku manusia agar berjalan sebagaimana mestinya.

Masih banyak istilah-istilah kesalahan berpikir yang dikemukakan Rolf Dobelli dalam bukunya. Jika dipikir, memang hidup manusia tidak akan luput dari kesalahan. Namun, karena pikiran atau akal adalah syarat untuk dapat belajar, maka dibutuhkan kehendak dan sistem pendidikan yang kuat untuk dapat diarahkan menuju tujuan pendidikan yang lebih baik dan berkarakter. Bagaimana pendapatmu?

Referensi :

Dobelli, Rolf. 2021. 99 Sesat Pikir. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

--

--