Merefleksikan Semangat Pendidikan Karakter Dari Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Wildan Abdul Kadir
Pengajar Belajar
Published in
9 min readMar 6, 2023
Created in Canva Education

Halo teman pengajar belajar, bagaimana kabarnya? Semoga baik — baik saja ya kan. Disini aku mau bawain tema yang sangat menarik menurut aku dan mau aku sharing kan bersama teman — teman pengajar belajar semuanya. Tema yang aku bawain yaitu Merefleksikan Semangat Pendidikan Karakter Dari Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Apa yang teman PB pikirkan tentang kalimat pendidikan? Pasti ketika kita semua mendengar kalimat “pendidikan” pasti yang terbesit di dalam otak kita adalah tentang sekolah formal, perguruan tinggi dan lembaga kependidikan lainnya. Namun arti dan hakikat dari pendidikan itu sendiri tidak sesimpel itu. Lalu apa yang dimaksud dengan pendidikan?

Pendidikan jika kita definisikan menurut UU SISDIKNAS no 20 Tahun 2003 yaitu berbunyi, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Sedangkan menurut Ki Hadjar Dewantara sendiri ia menjelaskan bahwa Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

Dari kedua definisi diatas, penulis bisa mengambil kesimpulan bahwasannya pendidikan itu seyogyanya bisa dan mampu menjadikan manusia tumbuh menjadi manusia yang seutuhnya, baik pikirannya, jiwanya dan raganya. Lalu pendidikan juga semestinya bisa melahirkan generasi yang mencintai bangsanya dan memiliki idealisme untuk memperbaiki kehidupan dalam berbangsa. Namun berdasarkan fakta di lapangan pendidikan di Indonesia menurut penulis masih belum bisa dikatakan telah mencapai hakikat dari pendidikan tersebut, kenapa? Karena masih banyak sekali siswa — siswi yang merasa “tertekan” dari pelajaran — pelajaran yang diberikan di sekolah, dan tenaga pendidiknya pun masih banyak yang belum memahami hakikat pendidikan secara utuh. Maka dari itu Ki Hadjar Dewantara hadir untuk memberikan solusi yang sangat solutif untuk permasalahan — permasalahan di dalam ranah pendidikan Indonesia.

Raden Mas Soewardi Surjaningrat atau biasa kita kenal Ki Hadjar Dewantara merupakan salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Ki Hadjar Dewantara melakukan pergerakan kemerdekaan Indonesia melalui berbagai bidang, diantaranya bidang politik, jurnalistik dan pendidikan. Sang aktivis pendidikan tersebut dilahirkan pada hari Kamis Legi tanggal 2 Ramadhan 1881 H atau tanggal 2 Mei 1889 M. Ki Hadjar Dewantara merupakan seorang yang lahir di kalangan bangsawan dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ayah nya bernama Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat, putra dari Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Hardjo Surjo Sasraningrat yang mempunyai gelar Sri Paku Alam III. Beliau secara garis keturunan masih satu keturunan dengan para sultan yang ada di Kesultanan Yogyakarta, karena Sri Paku Alam III yang merupakan kakeknya Ki Hadjar Dewantara itu menikah permaisurinya yang berasal dari kerabat keraton Yogyakarta, dengan kata lain secara genealogis Ki Hadjar Dewantara itu merupakan seorang ningrat.

Namun, gelar ningratnya tersebut dilepas oleh Ki Hadjar pada saat usianya menginjak genap ke 40 tahun. Beliau merubah namanya yang semula Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjadi “Ki Hadjar Dewantara”. Alasan beliau merubah dan melepaskan gelar ningratnya itu supaya bisa lebih bebas dekat rakyat, baik itu secara fisik maupun hatinya. Selain itu, alasan beliau melepaskan seluruh gelar kebangsawanannya itu agar tidak timbul sekat antara dirinya dengan rakyat, bahkan sebelum gelar kebangsawanannya itu dilepas Ki Hajar Dewantara tidak ingin dihormati layaknya keturunan bangsawan lainnya, Ki Hajar Dewantara menganggap bahwa derajat manusia itu sama.

Seperti yang kita tahu bahwa, Ki Hadjar Dewantara merupakan salah satu tokoh kunci bagi bangsa Indonesia dalam upaya mencapai kemerdekaan. Beliau merupakan salah satu dari banyak tokoh perintis kemerdekaan bangsa Indonesia, dan beliau juga lah sang penyuntik gelora nasionalisme dosis tinggi bagi generasi muda pada masanya dalam hal “bagaimana menjadi bangsa Indonesia secara utuh” melalui bidang pendidikan. Beliau merupakan orang yang memiliki jiwa kepemimpinan yang religious, tegas, pemberani dan visioner.

Keberaniannya tersebut terpampang jelas disaat beliau mendirikan Perguruan Taman Siswa (pada tanggal 3 Juli 1922), yang menjadi tandingan bagi gaya pendidikan yang diselenggarakan oleh Kolonial Hindia — Belanda. Karena pada masanya, gaya pendidikan yang diselenggarakan oleh Kolonial Hindia — Belanda cenderung bersifat menjajah dan mengekang. Pasalnya, gaya pendidikannya itu lebih banyak memberikan perintah, mengancam dengan hukuman, banyak menuntut dan tidak menumbuhkan kesadaran siswa untuk mandiri. Akibatnya para anak didik menjadi tertekan lahir dan batinnya, sehingga para anak didik tersebut tidak berkembang dengan maksimal dan mentalitasnya dibentuk menjadi mental tunduk dan patuh pada yang berkuasa. Di sisi lain, gaya pendidikan Hindia — Belanda itu tidak berorientasi untuk membentuk budi pekerti yang baik, dan juga tidak menumbuhkan semangat nasionalisme, melainkan hanya menciptakan generasi buruh yang kelak akan diperbudak oleh kaum penjajah.

Dengan adanya Perguruan Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara dengan bebasnya menuangkan buah pikirannya di dalam dimensi pendidikan dan pengajaran. Sejak berdirinya Perguruan Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara benar — benar mengabdikan diri demi membangkitkan kesadaran setiap golongan pribumi akan hak — haknya sebagai manusia. Baginya, perjuangan sebuah bangsa yang terjajah dalam arti seluas — luasnya adalah dalam dan melalui pendidikan yang humanis dan nasionalis. Di Perguruan Taman Siswa ini Ki Hadjar Dewantara memakai sistem pendidikannya dengan memadukan sistem pendidikan Eropa yang modern dengan seni — seni Jawa Tradisional.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan dan pengajaran adalah daya upaya yang disengaja secara terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia. Pengajaran adalah salah satu bagian dari pendidikan. Artinya, pengajaran ialah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan dan memberi kecakapan, pengertian serta pelatihan kepandaian kepada anak, yang dapat berfaedah untuk hidup anak, baik lahir maupun batin.

Pengaruh pengajaran pada umumnya adalah mencerdaskan dan memerdekakan manusia atas hidup lahirnya maupun batinnya, sehingga ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang merdeka dan memiliki kecerdasan spiritual serta kecerdasan spiritual. Sedangkan yang dinamakan pendidikan pada umumnya menurut pengertian umum, kata Ki Hadjar Dewantara, adalah tuntunan di dalam hidup dan tumbuh pada anak. Maksudnya, yaitu menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya orang Indonesia itu tidak dengan memakai cara yang penuh paksaan dan kecaman, melainkan dengan cara yang penuh kecintaan dan kedamaian. Mengapa demikian? Karena orang Indonesia merupakan termasuk ke dalam bangsa timur. Ciri khas dari bangsa timur yaitu senantiasa hidup dalam khazanah nilai — nilai tradisional berupa kehalusan rasa, hidup dalam kasih sayang, cinta akan kedamaian, persaudaraan, ketertiban, kejujuran, dan sopan santun dalam berlaku — lampah, serta menghargai kesetaraan derajat kemanusiaan dengan sesama. Maka dari itu, nilai — nilai yang disebutkan diatas itu selalu ditanamkan melalui pendidikan sejak anak — anak berusia dini.

Berangkat dari keyakinan akan nilai — nilai tradisional tradisional di atas, Ki Hadjar Dewantara meyakini bahwa, gaya pendidikan yang relevan dengan kultur yang ada di Indonesia itu haruslah berdasarkan nilai — nilai kultural yang ada di Indonesia. Maka dari itu Ki Hadjar Dewantara menerapkan tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan ciri khas kultur Indonesia, semboyan yang pertama yaitu Ing Ngarso Sung Tuladha, artinya yaitu seorang pendidik selalu berada di depan untuk memberikan keteladanan kepada anak didiknya. Sudah seyogyanya seorang pendidik itu mempunyai sifat kepemimpinan untuk memimpin para anak didiknya dengan cara memberikan teladan yang baik. Semboyan yang ketiga, Ing Madya Mangun Karsa, artinya yaitu seorang pendidik harus selalu berada di tengah — tengah para muridnya untuk terus memotivasi dan menjadi teman belajarnya, agar anak didiknya itu memiliki niat untuk membangun ide — ide yang kreatif dan produktif dalam berkarya. Dan semboyan yang ketiga yaitu berbunyi, Tut Wuri Handayani. Tut Wuri Handayani memiliki arti seorang pendidik selalu mendukung dan mendorong para anak didiknya untuk berkarya ke arah yang benar bagi dirinya dan masyarakat.

Masih senada dengan 3 semboyan pendidikan diatas, Ki Hadjar Dewantara juga menggagas teori — teori filsafat pendidikan lainnya, filosofi pendidikannya tersebut dibagi dengan 3 fatwa.

Fatwa Pertama : Tetep, Antep, Mantep. Arti dari filosofi Tetep, yaitu beliau mengajak para pendidik untuk memiliki ketetapan berpikir yang senada dengan nilai dan budaya bangsa, tidak condong ke budaya barat, ataupun terjerumus akan pola pikir yang salah. Kemudian makna dari filosofi Antep, yaitu pendidik dan anak didik harus memiliki keteguhan hati untuk terus meningkatkan kualitas/kompetensi, baik dirinya maupun lingkungan sosialnya. Dan yang terakhir untuk melengkapi dan membungkus itu semua harus dengan kepribadian yang Mantep, yakni kepribadian yang semakin mantap untuk dirinya maju dan mendekatkan kepada cita — cita yang ia impikan.

Fatwa kedua : Ngandel, Kandel, Bandel. Filosofis Ngandel memiliki makna yaitu pendidikan harus berdiri tegak diatas nilai — nilai kultural bangsa Indonesia yang luhur dan bermatabat, tidak condong kepada budaya barat yang cenderung bersifat bebas dan merendahkan nilai manusia. Seseorang khususnya seorang pendidik itu harus memiliki penddiran yang Kandel, yaitu memiliki komitmen kuat dan berani berjuang sesuai dengan prinsip hidup yang diyakini. Dan yang terakhir, setiap guru dan murid wajib memiliki sifat Bandel, yaitu jiwa yang tahan banting dan tidak mudah menyerah saat mengalami kegagalan dalam perjuangan meraih cita — cita.

Fatwa Ketiga : Neng, Ning, Nung, dan Nang. Dalam filosofis ini, Ki Hadjar Dewantara hendak membentuk karakter manusia yang religius (dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa). Sebab segala kepandaian dan kedalaman ilmu seseorang tidak akan ada artinya, jika tidak dilandasi dengan kesadaran bahwasannya semua ilmu pengetahuan tersebut berasal dari Tuhan. Sehingga pendidikan harus diarahkan untuk memperoleh kesenangan hati (Neng), membuat kita semakin ingat kepada Tuhan dalam keheningan (Ning), membuat kita semakin rendah hati lalu tekun untuk mengevaluasi kekurangan dari dalam diri kita (Nung), hingga ujungnya membuat hati kita mencapai ketenangan lahir dan batin.

Sebenarnya tugas yang paling berat dari seorang pendidik adalah ketika diberi amanah untuk mendidik budi pekerti atau moralitas dari anak didik yang akan dididiknya nanti. Mengapa demikian? Karena moralitas yang baik itu terbentuk dari sebuah pengetahuan yang benar, hasil penghayatan secara mendalam, serta pembiasaan baik yang berulang — ulang, yang mana disaat yang sama, manusia juga tak lepas dari jeratan hawa nafsunya yang selalu membuat manusia melenceng dari perbuatan baiknya. Maka dari itu, Ki Hadjar Dewantara menerapkan 3 teknik khusus untuk mendidik moralitas anak didiknya, yaitu disebut dengan Ngerti, Ngroso, dan Nglakoni. Tahapan yang pertama yaitu Ngerti. Disini pendidik diawali dengan memberikan pengertian sebanyak — banyaknya kepada anak didik tentang bagaimana berperilaku yang baik dan bagaimana perilaku yang buruk secara menyeluruh dan spesifik, sehingga mereka sadar bahwa kebaikan itu akan membawanya kebermanfaatan, dan keburukan itu justru merugikan dirinya dan orang lain. Selain itu, anak didik juga harus sering — sering diajak untuk belajar bergaul dengan lingkungannya supaya mampu memposisikan diri dengan tepat sesuai kebutuhan.

Lalu di tahapan yang kedua itu seorang pendidik harus bisa Ngroso. Disini pendidik dianjurkan untuk mengajak anak didiknya untuk menghayati dan merasakan efek dari semua ilmu pengetahuan yang telah dikuasai dalam kehidupan riel. Dengan kata lain mereka harus bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari sejarah, lakon, cerita tradisional, ilmu eksakta, ilmu non eksakta, dan keilmuan lainnya. Dan yang terakhir, pendidik dan anak didiknya harus Nglakoni apa yang telah ia pelajari. Nglakoni disini memiliki arti melaksanakan atau menerapkan apa yang telah dipelajari ke dalam kehidupan bermasyarakat. Disini tugas pendidik sebisa mungkin untuk mengajak anak didiknya untuk mempelajari bagaimana caranya hidup di masyarakat dan bagaimana caranya untuk menerapkan ilmu pengetahuannya di dalam dunia masyarakat.

Kesimpulan dari artikel kali ini penulis ingin membagi nya menjadi beberapa poin, berikut ini poin — poin yang bisa kita ambil dari artikel pada episode kali ini :

  1. Paradigma atau pola pikir pendidikan yang dibangun itu bukan sekedar penilaian akademis saja, melainkan berfokus kepada seluruh aspek atau bagian dari anak didik yang akan dididik oleh pendidik. Aspek — aspek yang perlu diperhatikan dalam pendidikan yaitu diantaranya, aspek moral, budi pekerti, kesosialbudayaan, aspek ketuhanan, dan aspek lainnya.
  2. Hakikat dalam pendidikan yang sebenarnya itu ialah bukan semata — mata untuk mentransfer ilmu pengetahuan dari seorang pendidik kepada anak didiknya, melainkan perlu melatih dan membiasakan anak didik untuk menerapkan moralitas yang baik kepada masyarakat dan senantiasa beriman kepada Tuhan yang maha esa.
  3. Tonggak utama dari pendidikan yaitu berada di seorang guru. Kebanyakan realitas dilapangan yang penulis amati biasanya para guru hanya sekedar transfer of knowledge saja dan tidak mengajarkan bagaimana caranya menjadi pribadi yang baik dan bagaimana caranya taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Singkatnya yaitu kebanyakan guru yang ada di Indonesia itu hanya sekedar pengajar dan tidak menjadi pendidik bagi anak didiknya.
  4. Pendidikan yang utuh itu tidak hanya berorientasi kepada mencerdaskan pikiran saja, namun beriorentasi kepada pembentukan karakter Jiwa. Wakil Presiden pertama pernah berpesan, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak juur itu sulit diperbaiki.” Beliau berpesan begini itu karena beliau menyadari bahwa tugas pendidik untuk mendidik karakter anak didiknya itu merupakan tugas yang sangat berat dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Sekalinya rusak, sangat susah untuk diperbaiki kembali.
  5. Keberhasilan dalam pendidikan merupakan pondasi keberhasilan dalam membangun bangsa. Karena baik dan buruknya sektor pendidikan, menentukan baik buruknya kualitas generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, Ki Hadjar Dewantara menilai pendidikan itu tidak cukup hanya sekedar mencerdaskan intelektual saja, namun lebih penting lagi harus berhasil dalam menanamkan karakter mulia agar bisa menjadi manusia yang seutuhnya yang kelak bisa diandalkan untuk membangun bangsanya.

Oke mungkin cukup dulu artikel episode kali ini, semoga kita semua bisa mengambil dan merefleksikan kembali untuk apa sih kita menjadi guru dan untuk apa sih kita mengabdikan diri di dunia pendidikan? Apakah hanya untuk sekedar pekerjaan saja, atau memang ingin mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa? Itu semua bisa dijawab ketika kita merenungi dan merefleksikan kembali dengan cara kita mempelajari dan menghayati kembali teori filsafat pendidikannya Ki Hadjar Dewantara. Karena pengajar yang hebat adalah pengajar yang belajar, yuk bakar kembali semangat dalam mendidiknya bapak ibu guru semuanya. ~

DAFTAR PUSTAKA

Samho, Bartolomeus. 2013 Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Tantangan dan Relevansinya. Yogyakarta : PT Kanisius.

Zunnurain, Iffah, Fanny. (2021). Konsep Pendidikan Karakter Dalam Teori Tripusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Akhlak. Skripsi. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri : Purwokerto. http://repository.iainpurwokerto.ac.id/10398/1/FANNY%20IFFAH%20Z%20_%20KONSEP%20PENDIDIKAN%20KARAKTER%20DALAM%20TEORI%20TRIPUSAT%20PENDIDIKAN%20KI%20HAJAR%20DEWANTARA%20%26%20RELEVANSINYA%20DENGAN%20PENDIDIKAN%20AKHLAK.pdf

Bekti, Deni. (2020). Meresapi Semangat Pendidikan Karakter Dari Ki Hadjar Dewantara. Jurnal Ulul Albab, Tahun ke 5 Edisi 44 Bulan Maret 2020.

--

--