Paham atau Tahu?

Sudianto
Pengajar Belajar
Published in
3 min readApr 17, 2023

Di dalam pembelajaran, sebagai guru pasti kita sering bertanya kepada siswa, “Apakah kamu sudah paham?” Biasanya siswa akan menjawab sudah atau malah diam, petanda mereka mungkin masih bingung atau belum memahami sepenuhnya.

Pertanyaan tadi sangat umum digunakan oleh guru untuk mengetahui apakah siswa sudah benar-benar memahami apa yang diterangkan atau belum. Tapi dalam praktiknya, ini sebetulnya juga bisa menimbulkan kebingungan atau malah miskonsepsi bagi siswa itu sendiri karena dalam sehari-hari kita sering mendengar bila seseorang paham akan sesuatu, dia malah berkata saya tahu akan itu. Kata paham dan tahu seolah bisa digunakan secara bergantian sesuai selera penutur bahasa.

Dalam pengalaman saya mengajar, miskonsepsi ini terbukti ketika saya bertanya kepada siswa, “Apakah kamu sudah paham atau tahu?” Beberapa siswa menjawab, “Apa bedanya, Pak?” Padahal yang saya maksudkan waktu itu adalah paham bagaimana membedakan uncountable dengan countable nouns. Akibatnya, orang awam termasuk siswa dan bahkan mungkin guru beranggapan bahwa pemahaman dan pengetahuan adalah sinonim.

Menurut KBBI, paham berarti mengerti benar (akan); tahu benar (akan). Lalu, tahu artinya mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami, dan sebagainya). Dalam hal ini, ada penekanan kata benar dalam pengertian paham yang membedakannya dengan tahu.

Kemudian, berdasarkan KBBI, pemahaman diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memahami atau memahamkan. Sementara, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui; kepandaian. Tampaklah di sini, pemahaman memiliki arti yang lebih mendalam, lebih dari sekedar tahu dan ingat akan informasi tersebut. Maka, dapatlah disimpulkan paham itu berbeda dengan tahu.

Di dalam bukunya Understanding by Design, Grant Wiggins dan Jay McTighe menjelaskan secara rinci apa itu pemahaman. Mereka menyebutkan seseorang yang mempunyai pemahaman yang seutuhnya memiliki 6 ciri berikut yaitu seorang yang mampu:

  1. Menjelaskan: menjelaskan mengapa suatu fakta itu demikian, bagaimana berbagai hal bekerja dan berhubungan. Contohnya, kalau kita belajar bahasa Inggris, kita akan mengenal struktur bahasa. Kita akan mampu menjelaskan bagaimana dan manakah bentuk kata kerja yang digunakan untuk masa sekarang (simple present) dan masa lalu (simple past).
  2. Menginterpretasi: menemukan makna, signifikansi, arti dan nilai dari pengalaman manusia, data dan teks. Contohnya, memaknai cerita kepahlawanan R. A. Kartini dalam perjuangan wanita pada masa itu.
  3. Mengaplikasi: secara efektif menggunakan dan menerapkan pengetahuan dalam konteks yang beragam. Contohnya, melakukan kegiatan praktikum di lab biologi dengan mengikuti panduan dan prosedur yang sudah disampaikan oleh guru.
  4. Memiliki perspektif: melihat berbagai pandangan dengan kritis, melihat sesuatu secara meluas. Contohnya: berdiskusi mengenai Indonesia yang batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, dalam kaitan masyarakat yang pro maupun kontra kedatangan Israel ke Indonesia.
  5. Berempati: menaruh perasaan dan pikirannya pada perasaan dan pikiran orang lain. Contohnya, tragedi Kanjuruhan masih menyisakan ketidakadilan bagi para korban meskipun tiga terdakwa sudah divonis penjara. Selain masalah penegakan hukum yang tidak adil, kisah ini juga menarik untuk dibahas dengan siswa sehingga siswa bisa belajar berempati kepada korban atas musibah ini.
  6. Memiliki pengetahuan diri: mampu menilai diri secara sadar dan kritis. Seseorang bisa memahami apa yang dia tidak pahami dengan jelas dan spesifik. Contohnya, seorang siswa yang gagal di ujian belajar untuk lebih bijaksana dalam mempersiapkan diri untuk ujian. Dia mungkin menambah frekuensi belajarnya dan selanjutnya tidak sungkan untuk bertanya kepada teman atau guru tentang bagian yang belum dipahami.

Keenam ciri dan contoh tersebut hanyalah beberapa hal nyata yang bisa guru lakukan di dalam pembelajaran. Dengan demikian, sudah semestinya pembelajaran tidak lagi berpusatkan kepada pemindahan informasi pelajaran atau pengetahuan semata kepada siswa seperti yang pernah dikritik oleh Paulo Freire, dalam bukunya Pedagogy of The Oppressed. Ia menentang pendidikan ‘gaya bank’ yang artinya guru hanya mengisi pengetahuan yang diingat dan dihafal dengan patuh oleh siswa.

Seiring dengan kehadiran Kurikulum Merdeka, keenam konsep pemahaman juga sudah diterapkan contohnya dalam perubahan kompetensi dasar menjadi capaian belajar yang lebih sederhana tapi mendalam dan pembiasaan refleksi setiap akhir pembelajaran. Selain itu, guru juga sangat didorong untuk melaksanakan asesmen yang beragam sehingga tes tertulis tidak bisa hanya satu-satunya bukti pemahaman seorang siswa.

Justru asesmen berbasis kinerja dan produk sangat didorong untuk mengukur pemahaman siswa secara lebih otentik dan relevan dengan kehidupan siswa. Oleh karena itu, marilah kita hadirkan pembelajaran yang lebih bermakna kepada siswa dengan menerapkan keenam pemahaman tersebut di kelas.

An educator | a self-help-book enthusiast who likes to share his perspectives about education and life.

--

--

Sudianto
Pengajar Belajar

Used to work at FMCG company. Called to dedicate my passion in education. Curious to learn how to tailor current currriculum to the student's future life.