Islam dan Komunisme di Meja Makan Sarekat Islam

Suhai(ri) Ahmad
Penulis Muda
Published in
6 min readDec 28, 2022
dokumen pribadi

Membayangkan seorang Muslim taat sekaligus pengamal ajaran marxisme pada masa kiwari seperti membayangkan seseorang memasak sayur dengan berbagai olahan yang rasanya sulit terbayangkan atau bahkan tidak mungkin. Hal ini dikarenakan bayangan keduanya menyatu dalam satu sajian seolah terhapus dan bahkan tak boleh ada lagi satu perbincangan di meja makan sejak huru-hara akhir September 1965.

Padahal, setelah satu dekade lebih politik etis diterapkan di Hindia Belanda, komunisme pernah berjabat tangan dan bahkan menyatu dalam diri Sarekat Islam. Seseorang bisa menjadi muslim dan seorang marxis sekaligus tanpa harus takut dipersekusi oleh khalayak ramai dan menjadi musuh bebuyutan pemerintah kolonial Belanda. Seorang muslim dan seorang marxis bisa saja satu tongkongan untuk sekadar ngelinting atau bahkan menyusun siasat melawan pemerintah kolonial Belanda.

Saling-silang Islam dan komunisme itu direkam dengan baik oleh Soe Hok Gie saat menyelesaikan karya sarjana mudanya, Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917–1920.

Sarekat Islam Semarang lahir dari kondisi masyarakat Hindia Belanda yang serba melarat. Saking melaratnya, hanya dua hal yang dilakukan oleh para petani di Semarang: pergi ke kota mencari pelarian dengan bekerja sebagai buruh kota atau membakar ladang yang ditanaminya sendiri sebagai bentuk protes karena kebijakan upah murah pemerintah kolonial.

Selain kebijakan tersebut, Semarang juga menjadi salah satu episentrum wabah pes. Nyaris seluruh pemukiman di wilayah ini terletak di rawa-rawa yang dipenuhi tikus penyebab wabah. Banyak hunian dipenuhi lumpur dan kurang sinar matahari. Karena itu, selain sengsara dengan kebijakan upah murah, rakyat di wilayah ini harus bersiasat untuk bisa selamat dengan wabah. Sebab, jika tidak, mereka hanya bisa dua cara untuk mati: mati karena kelaparan atau mati karena wabah.

Dari dua faktor yang disebut sebagai zaman melarat inilah — sama-sama membuat rakyat Hindia Belanda di Semarang sengsara inilah menjadi faktor penting untuk melahirkan sebuah keadaan radikal-revolusioner. Kemunculan Sarekat Islam di Semarang punya titik relevansi dengan kondisi sekitarnya dan menjadi alat gempur menakutkan bagi pemerintah kolonial Belanda.

Semaoen, salah satu tokoh Sarekat Islam Semarang yang baru saja berusia 19 tahun menjadi sosok penting saat proses radikalisasi ormas Islam yang satu ini. Semaoen saat itu menjadi pentolan penting yang bisa berdebat dan berapi-api dengan siapa pun tanpa tedeng aling-aling.

Kemunculan Semaoen tak bisa dilepaskan dengan kemunculan Henk Sneevliet, pendiri sekaligus ketua Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya pada Mei 1914. Sneevliet dikenal sebagai penerjemah ulung atas kemenangan Revolusi Rusia pada 8 Maret 1917 dengan judul Zegepraal (kemenangan). Walaupun artiket tersebut sebenarnya sudah diperlunak oleh rekannya di ISDV, tetapi karena isinya dianggap memprovokasi, tulisan itu membuat Belanda panas dan Sneevliet dikenai delik pasal karet kolonial karena dianggap menghasut rakyat dan tuduhan yang mengada-ada. Sneevliet dipenjara.

Sekitar November 1917, sidang Sneevliet dilangsungkan. Pengadilan tersebut penuh dengan berbagai kalangan, termasuk kalangan Boemi Poetra yang di antaranya ada Semaoen dan Mas Marco Kartodikromo.

Tak seperti sidang-sidang di masa sekarang, masa itu persidangan bisa menjadi arena debat yang cukup strategis untuk menarik simpati banyak orang. Kesempatan tersebut tak disia-siakan oleh Sneevliet yang dikenal sebagai orator ulung. Selain itu, Semaoen dan Mas Marco bisa belajar terkait mekanisme sidang yang belum pernah lihat sebelumnya. Surat-surat kabar milik kaum pergerakan memuat perdebatan dalam sidang tersebut di berbagai kolom.

Walaupun tampil dengan begitu mengagumkan, Sneevliet dituntut jaksa dengan hukuman 9 bulan penjara. Walaupun hakim malah menyatakannya bebas. Namun, karena dihukum bebas tersebutlah yang membuat Sneevliet malah lebih mudah dibuang.

Ketika Semaoen dan Mas Marco ikut persidangan Sneevliet, Semaoen sudah mendominasi SI Semarang bersama golongannya sejak Mei 1917. Beberapa bulan setelah persidangan Sneevliet, Semaoen berhasil menguasai redaksi koran Sinar Hindia, media yang dikelola oleh SI Semarang.

Bersama-sama tokoh-tokoh lain, termasuk Alimin, perlahan-lahan Semaoen mengubah haluan SI Semarang ke arah yang makin radikal. Ia mengubah Sinar Hindia menjadi Sinar Djawa yang makin panas memusuhi kolonial, kaum priyayi, dan para kaum kapitalis.

Sejak berhasil mendominasi SI Semarang, kelompok Semaoen sering melakukan pemogokan di berbagai lembaga dan pabrik. Dari paruh pertama 1917 hingga awal 1918, SI Semarang sering melakukan pemogokan dan menuntut para majikan untuk memenuhi hak-hak para pekerja.

Setelah berhasil menghimpun kekuatan internal, Semaoen menambahkan Darsono yang usianya tak jauh beda dengannya menjadi anggota SI. Darsono ditempatkan di Sinar Djawa di bagian telegram yang menghimpun berita atau isu dari luar Hindia Belanda.

Selain itu, Semaoen juga mengajak Mar Marco yang pernah ditemui di persidangan Sneevliet untuk juga bergabung dengan SI di bagian Sinar Djawa. Saat itu, Mas Marco baru saja kembali dari Belanda dan sempat dipenjara selama satu tahun.

Masuknya orang-orang dengan semangat radikal ini membuat mereka yang moderat perlahan tersingkir dan meninggalkan Sinar Djawa dan bahkan SI Semarang. Sejak itulah, SI Semarang makin garang dan galak terhadap pemerintah kolonial.

Berkumpulnya tiga orang yang dinilai berbahaya bagi kolonial ini membuat dinamika internal SI semakin panas. Perdebatan di Kongres Central Sarekat Islam (CSI) ke-II semakin runcing antara Semaoen dan Abdoel Moeis.

Sejak itu, SI terpecah 2 kelompok: Semaoen mewakil SI Merah dan Abdoel Moeis mewakili SI Putih. SI Merah disebut sebagai kelompok yang bahkan anti terhadap pemerintah, sedang SI Putih yang memilih jalan kooperatif saat berhadapan dengan pemerintah kolonial.

SI Semarang semakin radikal dan membuat pemerintah makin menekan organisasi tersebut. Orang pertama SI yang dikenai delik pasal menyebar kebencian kepadanya pemerintah adalah Darsono dan membuatnya dipenjara di Surabaya. Sementara Semaoen dituntut karena menerjemahkan tulisan Sneevliet. Mas Marco hampir dijerat oleh Asisten Residen karena menulis sajak yang menyatakan untuk mengusir kaum kafir kolonial. Sementara Partoatmodjo dihukum selama 3 bulan penjara.

Tekanan-tekanan hukum tersebut tak membuat orang-orang SI takut. Mereka malah semakin bersemangat dan semakin mengorganisir SI. Bahkan, pada paruh pertama 1919, SI berhasil membentuk seksi khusus perempuan yang saat itu punya anggota 3041 orang dan perihal ini belum banyak sejarawan yang membincangkannya.

Dinamika SI Semarang semakin kuat dan kelompok Semaoen semakin masuk dalam lingkungan pusat CSI yang saat itu dipimpin oleh Hos Tjokroaminoto. Bahkan, ketika Tjokro ditunjuk menjadi anggota Volksraad, banyak dari anggota SI Semarang menolaknya karena dianggap lunak terhadap pemerintah kolonial.

Hingga akhirnya, gerakan kelompok Semaoen harus berhenti dan tidak bisa ikut kongres CSI ke-4 pada 26 Oktober — 2 November 1919. Semaoen dipenjara di Yogyakarta, Darsono dipenjara di Surabaya, dan Partoatmodjo dipenjara di Semarang. Hal ini bikin kelompok ini tak bisa melakukan banyak hal lagi di tubuh SI.

Walaupun begitu, kelompok Semaoen punya alternatif lain karena hampir seluruh anggota SI Semarang juga anggota ISDV. Saat banyak orang Hindia Belanda mendominasi keanggotaan ISDV, orang Belanda di dalam organisai tersebut perlahan meninggalkan ISDV. Hal ini membuat ISDV sepenuhnya dikelola kalangan boemi poetra.

Pada awal 1920, ISDV menerima surat dari Sneevliet yang menganjurkan organisasi tersebut bergabung bersama Komintren dengan 21 syarat. Salah duanya adalah memakai nama terang partai komunis dan menyebut nama negara sendiri. Setelah perdebatan yang tak terlalu panjang, usul tersebut disetujui.

Akhirnya, pada 23 Mei 1920, ISDV resmi berubah dan lahirlah Perserikatan Komunis pertama di Hindia Belanda dengan nama: Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai ini kemudian menjadi partai pertama dalam sejarah pergerakan nasional yang memakai nama negara dan bangsa yang kita kenal hari ini.

Buku tipis dari seorang sarjana muda di jurusan sejarah penting dibaca untuk melihat dinamika islam dan komunisme di masa lalu. Kedua elemen tersebut pernah ada dalam satu jaringan melawan kolonialisme hingga akhirnya berpisah. Semaoen bersama SI Semarang hadir sebagai aktivis independen yang disokong dari penjualan surat kabar, sementara itu, CSI yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto disokong penuh oleh pemerintah kolonial dan membuat CSI melawan dengan lunak.

Selain itu, buku tipis ini masih bisa menjadi bahan lanjutan untuk beberapa hal yang perlu dieksplorasi. Misalnya, seksi perempuan dalam Sarekat Islam Semarang yang memiliki 3000-a anggota.

Tidak hanya itu, buku ini begitu kental penggunaan tipologi Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa yang terkenal itu. Hal ini dimaklumi karena pada 1964 saat skripsi ini dibuat, pandangan tersebut ramai diperbincangkan.

Dalam buku ini, Gie juga menyampaikan bahwa gerakan nasional sebelum 1926, tidak secara langsung berkorespondensi dengan dunia internasional. Hal ini dikarenakan terbatasnya akses informasi dan hanya mengandalkan orang kedua seperti Sneevliet yang kemudian mengabarkan ke kaum pergerakan di Hindia Belanda.

Setelah 1926, korespondensi tersebut semakin kencang, terutama interaksi PKI dengan Komintren. Apalagi, saat Tan Malaka mulai bergabung dengan organisasi ini, informasi dari luar negeri semakin lebih mudah didapat.

Dari penelitian Gie ini, masih ada celah yang bisa digali dan barangkali belum ada literatur yang melengkapinya. Sayangnya, penelitian Gie selanjutnya tidak membahas peristiwa pasca 1926, melainkan langsung lompat ke 1948 yang kemudian menjadi buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Samarinda, 28 Desember 2022

Diolah dari utas utas Twitter bersama #BacaBukuSejarahBareng

--

--

Suhai(ri) Ahmad
Penulis Muda

Pekerja Teks Komersial | Editor and Layout Freelance| Tukang bikin Indeks buku | Booklover | Traveler |