Kepalang Cinta

Sebuah catatan kecil tentang cinta #1

Alfin Rizal
Penulis Muda
3 min readOct 27, 2019

--

“Urusanku cuma satu; berprasangka baik padamu. Kalau kenyataannya kau tak sebaik sangkaku, itu urusanmu.” —@adimasnuel

Kalimat itu kudapatkan dari twit Adimas Imanuel – penyair Solo itu – beberapa tahun lalu. Sekalimat yang bikin aku termenung sejenak. Ternyata, memang wilayah ‘urusan’ prasangka bahkan sering bikin tak berdaya. Sering ketukar-tukar porsinya. Porsi orang lain dianggap porsi kita, e… porsi kita akhirnya nggak ada yang ambil alih. Menimbun prasangka buruk yang tanpa sadar memburukkan perasaan kita sendiri. Capek sendiri. Lelah karena ulah sendiri.

Dalam percintaan pun mestinya juga dipahami ada porsi semacam itu. Tapi, apakah memang ada lelaki/perempuan yang sepasrah Dilan, ketika dengan penuh keyakinan ia bilang pada Milea:

“aku mencintaimu itu urusanku, kau mencintaiku atau tidak, itu urusanmu.”

Cinta yang menyelimuti sepasang kekasih (memang) akan membawa beban banyak. Sejak mengenal seseorang, lalu menentukannya sebagai gebetan, calon pacar, hingga menjadi pacar, barangkali beban pertama dan utamanya ialah rasa memiliki. Hal yang wajar ketika kita merasa harus memiliki sebanyak mungkin apa-apa dari seseorang yang kita sayang. Waktunya, perhatiannya, lucunya, kehidupannya, bahkan keputusan-keputusan pribadinya.

Tapi, coba simak cuitan Mpro Picoez kemarin…

“Kau cinta dia, katamu. Satu pesanku: Kau mencintainya untuk membuatnya bahagia, bukan sebaliknya. Bukan mencintainya untuk membuatmu bahagia semata.” —Picoez

Dengan terjemahanku yang sederhana, Kamu mencintainya untuk membuatnya bahagia, bukan membuatnya jadi punya ‘beban’ lagi untuk membahagiakanmu. Membuat bahagiamu semata, tegasnya.

Lagi-lagi aku tersenyum menyadari betapa selama ini kita selalu banyak menuntut perihal perih dalam sebuah hubungan percintaan. Kita dibius dan diperbudak rasa takut kehilangan. Seolah-olah, ketika kita mencintainya – dengan atau tanpa sepengetahuannya – ia tak boleh mengabaikanmu. Tak boleh meninggalkanmu. Hashh… Ramashooook!

Dari dulu hingga sekarang, persoalan yang terjadi di dunia perpacaran ya begitu-begitu saja. Tapi berapa kali pun luka yang sama diulang-ulang, jumlah tangisan tak kunjung menuai penyesalan. Menyesal, sih, tapi kemudian waktu memberi fakta lain, bahwa: kamu baru mulai, di depan, masih banyak sekali cerita indah yang akan memelukmu. Itulah harapan.

Seberapa takut kamu kehilangan kekasihmu? Barangkali bukan ketakutan. Tapi, ketidakrelaan. Kamu tidak rela kebahagiaanmu memilikinya harus terenggut. Tapi bukankah benar apa yang pernah Aan Mansyur twitkan, bahwa memang, kita tak pernah kehilangan orang yang kita cintai. Kita hanya kehilangan orang yang mencintai kita.

Maka sebenarnya ada sistem kerja yang salah ketika kita cuma berharap dicintai, dicintai, dan dicintai – sampai lupa cara terbaik kita membahagiakan pasangan ialah mencintainya tanpa memaksa melakukan apa pun termasuk mencintai kita.

Aku mencintai kekasihku, dan seperti yang kekasihku katakan – dan bukan urusanku ia berbohong atau tidak – ia juga mencintaiku.

Tapi, pada titik tertinggi aku menemukan bagaimana mencintainya, pada akhirnya ialah mengolah seluruh perasaan cinta yang kian hari membesar itu untuk kemudian kukembalikan pada Sang Pemilik Cinta, Maha Cinta Allah dengan segala rahman dan rahim-Nya. Tak perlu banyak orang tahu bagaimana cintaku mampu membangunkanku setiap hari dan memberiku kehidupan yang lebih bergairah ketimbang hari sebelumnya.

Sulit, memang. Tapi di KBBI, kata sulit berbeda maknanya dengan mustahil. Kita butuh melatih hati tanpa letih. Bersabar dan pasrah pada Yang Membolak-balikkan Hati. Maka, pada akhirnya, yang mampu kulakukan ialah mencintainya diam-diam. Merawat yang diam-diam. Mengutamakan yang diam-diam. Sebab, percuma lantang mengatakan cinta pada kekasih, sementara hati mudah sekali berselisih.

Bagaimana cara diam-diam mencintai kekasih? Ada banyak. Beberapa yang kulakukan adalah tetap menjaganya dalam doa. Atau menjaga diriku agar tak membebaninya, tak menyakitinya, dan tak membuatnya merasa sendirian. Ini bucin tingkat tinggi. Rela menjadi budak bagi cintanya sendiri – dengan atau tanpa memiliki segala milik kekasih hati. Dan, yang paling utama ialah: mencintai diri sendiri. Kamu hanya akan membuat orang lain yang menicintaimu bingung ketika kamu tak mencintai diri sendiri.

Setiap kita punya pilihan, setiap pilihan punya risiko, setiap risiko punya masalah, setiap masalah punya solusi, setiap solusi punya masalah, dan seterusnya dan seterusnya. Lalu, antara kau dan aku, apakah mesti saling kita pertanyakan siapa di antara kita yang masalah dan yang solusi?

Tentu saja mencintai bukan urusan benar dan salah. Tapi kerelaan kita dalam mensyukuri nikmat Tuhan. Kurasa, yang paling menyenangkan dalam percintaan begini, akarnya, ialah bagaimana Tuhan pamer kekuasaanNya setiap detik – lewat gebetan kita, lewat pacar kita, lewat luka-luka kita, dan lewat apa pun sehingga kita mestinya tahu, Tuhan mencintai kita diam-diam dengan cara melimpahkan cinta di hati hamba-Nya.

Sebagai penutup di catatan #1, aku pengin ngutip kecil bagian puisi Cecep Syamsul Hari. Ia pernah menulis dalam sajaknya, “seorang pencinta tak akan bersedih karena ia tahu kelak akan ditinggalkan.

Sorowajan, 2019

--

--