Kerumitan Menjadi Cina Peranakan

Suhai(ri) Ahmad
Penulis Muda
Published in
7 min readJul 4, 2024
dokumentasi pribadi

Menjadi Cina bukan hal mudah bagi sebagian etnis Cina peranakan di Indonesia. Ia sering kali dicurigai dengan berbagai hal yang penuh nuansa rasis dan penuh stigma. Pengalaman sejarah sejak Geger Pecinan pada 1704 membuat etnis Cina di Indonesia menjadi etnis terpinggirkan.

Namun, di sisi lain, etnis Cina selalu dijunjung karena beberapa di antaranya menguasai akses ekonomi nasional dan lokal, mulai dari zaman Hindia Belanda hingga Indonesia merdeka, terutama saat masa Orde Baru hingga tumbangnya pada 1998.

Di penghujung kekuasaan Orde Baru itu, berbagai kerusuhan terjadi di Jakarta dan membuat banyak ketakutan yang menyasar etnis Tionghoa. Dampak kerusuhan tersebut tak hanya membuat trauma banyak orang Cina atau Tionghoa di Jakarta, tetapi juga dirasakan oleh keluarga Anne Sakka yang berada di Temanggung, Jawa Tengah, yang secara geografis jauh dari Jakarta.

Pengalaman-pengalaman sejarah yang juga tertaut dalam diri Anne Sakka membuatnya memiliki gambaran traumatik terhadap identitas diri sebagai orang Cina. Cilik-Cilik Cina ini merupakan salah satu tesis akademiknya tentang kajian Cina, tentang Tionghoa Indonesia di Sanata Darma. Seperti halnya yang tertera di anak judul “Autoetnografi Politik Identitas”, buku ini berisi pengalaman Anne sebagai orang Cina dan pergulatannya dalam politik identitas peranakan Cina di Indonesia.

Karena itu, seperti yang dikatakan Katrin Bandel dalam pengantarnya, buku ini tidak berpretensi menyajikan posisi orang Cina atau Tionghoa di Indonesia, melainkan menggambarkan bagaimana seorang individu mengalami diskriminasi ras yang nantinya ditarik dalam sebuah sejarah panjang.

Di pengantar yang sama, Katrin juga bercerita dan memperbandingkan dengan dirinya sebagai orang Bule. Stereotip yang diterima Katrin cenderung dianggap superior, lebih cerdas, dan bahkan lebih kaya.

Hal ini kemudian berbanding terbalik dengan apa yang dialami Anne, walaupun dengan nada yang sama: lebih cerdas dan lebih kaya, ia kerap direndahkan karena menjadi seorang Cina dengan berbagai stereotipe. Hal ini tentu saja tidak lepas dari sejarah politik yang pernah dialami orang Cina di Indonesia.

Pada bagian pertama, Anne berkisah tentang muasal buku ini. Sebagian besar ide buku ini sudah dimulai saat ia menyelesaikan penelitian skripsi S1 Psikologi yang terpaksa dipangkas karena tak mungkin disatukan dengan tugas akhir.

Dalam bagian tersebut, Anne berkisah bahwa menjadi Cina bukan hal yang menyenangkan. Awalnya, berbagai stereotipe yang dialaminya menjadi hal biasa sampai suatu ketika ia mengerti bahwa ia dianggap berbeda. Bahkan, ketika ia sudah bisa berbahasa Jawa sekalipun, lingkungan sekitar masih menganggapnya sebagai liyan. Selain itu, dalam penelitian tersebut ia juga mewawancarai beberapa keluarganya dan menemukan banyak fakta mengapa keturunan Cina sering didiskriminasi. Usaha Mereka untuk berbaur dengan lingkungan sekitar sekaligus bisa menjadi hal sulit diterima dan mereka tetap disebut sebagai liyan walaupun sudah menjadi “jawa” sekalipun. Sekalipun mereka berganti nama Indonesia atau Jawa dan bisa berbahasa Jawa.

Selain itu, Anne juga memaparkan beberapa referensi rujukan terkait tema yang diangkatnya. Buku Black Skin White Masks karya Frantz Fanon bercerita tentang dirinya sebagai orang kulit hitam di Prancis yang mengalami rasisme. Fanon bercerita bagaimana orang seperti dirinya dianggap sebagai ras yang lebih rendah di lingkungan Prancis. Diskriminasi tersebut tak mudah hilang bahkan melekat walaupun dirinya sudah terdidik di kampus Prancis sebagai representasi Barat.

Buku kedua yang dirujuk adalah On Not Speaking Chinese karya Ien Ang, seorang diaspora Indonesia keturunan Cina yang sudah pindah ke Belanda sejak 1967. Ang mengaku bahwa dirinya merasa bingung dengan identitasnya sendiri, apakah sebagai seorang Indonesia atau Cina. Hal itu penulis rasakan ketika di Barat ia bisa menganggap diri sebagai Cina, tetapi ketika ada di Taiwan yang sebagian besar ada orang Cina di sana, ia merasa asing karena tidak bisa berbahasa Cina. Ia kemudian menggunakan konsep hibriditas sebagai tawaran atas perjalanan hidupnya.

Penelusuran Anne kemudian membawanya pada tiga buku yang mengkaji orang-orang keturunan Cina pasca-Orde Baru. Setelah Air Mata Kering karya I. Wibowo, Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto karya Chang-Yau Hoon, dan Identitas Hibrid Orang Cina karya Darwin Darmawan.

Dari ketiga buku tersebut, Anne kemudian mengelaborasi berbagai kasus yang menimpa orang Cina sejak 1740 hingga hari ini. Terutama ketika peristiwa menjelang dan pasca 1965 bagaimana orang Cina selalu dikaitkan dengan Republik Rakyat Cina. Pada masa Orde Baru, orang Cina beberapa kali menjadi sasaran amuk massa yang awalnya tidak punya sentimen terhadap Cina. Perselisihan pribadi yang melibatkan orang Cina kemudian dijadikan alasan untuk mempersekusi orang Cina dalam skala luas. Berbagai cerita ini perlahan masuk dalam memori Anne walaupun ia tak mengalami hal itu secara langsung.

Ketakutan tersebut menyebar dan beririsan dengan berbagai kecurigaan kepada orang Cina. Hal ini kemudian membuat banyak orang Cina serba salah. Mau berbaur salah, membaur juga salah.

Pada bagian selanjutnya, Anne mencoba membaca rasisme di Indonesia melalui kacamata Fanon. Fanon sebagai seorang kulit hitam di Prancis selalu dianggap sebagai bukan orang Prancis.

Hal ini hampir sama dengan yang dialami orang Cina di Indonesia. Betapa pun dia lahir di pulau Jawa dan besar dengan bahasa Jawa, ia sering kali dianggap bukan Jawa atau bagian darinya. Usaha untuk “menjadi” itu selalu dicurigai dan bahkan dianggap tidak ada bagi lingkungannya.

Walaupun huru-hara berlangsung di Jakarta dan hampir sama sekali tidak terdengar dari pedalaman Jawa seperti di Temanggung, tempat Anne besar, tetapi ketakutan tetap menjalar. Hal semacam itulah yang kemudian membuat Anne membuat buku ini. Buku ini menggunakan pendekatan Autoetnografi, sebuah pendekatan etnografi yang masih cukup baru di Indonesia maupun di dunia akademik umumnya.

Dengan pendekatan tersebut, Anne bisa meneliti dirinya sendiri dan menjadikan segala emosinya sebagai peranakan Cina sebagai hal yang ilmiah dan hal valid untuk diteliti.

Setelah menjelaskan pendekatan dan teori yang digunakan, Anne kemudian beranjak menjelaskan panjang lebar terkait pengalamannya sebagai orang Cina. Dalam bagian terakhir ini, Anne menuliskannya seperti orang yang sedang berbalas surat dengan hari, tanggal, dan juga tahun.

Dalam percakapan yang seolah dilakukan dua orang tersebut, Anne mencoba mengelaborasi pengalamannya sebagai peranakan Cina sejak kecil. Ia ingat, ketika kecil pernah ditanya “Cilik-cilik Cina, suk Gedhe arep dadi apa?”

Pertanyaan tersebut awalnya diterima tanpa pretensi apa-apa dan sempat ditanyakan kepada orang tua Anne. Orang tua Anne kemudian menjawab pertanyaan tersebut agar Anne menjawabnya dengan menjadi koki atau apa saja yang dia inginkan. Pertanyaan tersebut kemudian menjadi awal dari kisah panjangnya sebagai seorang peranakan Cina.

Selain sulit diterima di lingkungan sekitar, orang tua Anne juga mempertimbangkan tempat anaknya sekolah. Pertimbangannya tidak melulu prestasi dan lokasi, melainkan juga apa ada sejarah pengucilan. Bila sekolah tersebut pernah ada sejarah pengucilan atau bullying terhadap orang lain, terutama Cina atau yang beragama Kristen, maka sekolah tersebut tak masuk dalam daftar sekolah yang dituju oleh keluarga Anne.

Pada masa sekolah ini, Anne pernah punya anggapan bahwa menjadi Jawa adalah tolak ukur agar bisa keluar dari lingkaran diskriminasi. Bahkan, ketika itu ia mengidealkan agar punya pasangan dari orang Jawa.

Pikiran ini muncul karena ia ingin melepaskan kecinaan dirinya dengan cara menikah dengan orang jawa. Menjadi Jawa diartikan sebagai jalan keluar dari segala keterbatasan dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari lingkungannya selama ini. Jawa dalam diri Anne digambarkan sebagai perilaku yang lebih halus, berbudaya, dan priyayi. Hal ini dirasakan Anne saat dirinya sudah muak karena menjadi seorang Cina.

Baginya, pengalaman rasial karena menjadi Cina adalah pengalaman yang sama sekali tidak enak. Menjadi Cina sering kali diposisikan sebagai juragan, bos, pemilik usaha tertentu dan pada saat yang sama, semua itu adalah pemicu kebencian terhadap Cina.

Anggapan posisi orang Cina yang lebih makmur secara ekonomi ini pun diperparah bahwa yang menjadi pegawainya adalah orang Jawa. Anggapan ini tidak bisa dikatakan salah sebab memang demikian adanya di lapangan.

Selain anggapan negatif dari luar, usaha Anne saat ingin menjadi Jawa dengan menggunakan bahasa halus malah ditentang oleh keluarganya. Anne kemudian sadar bahwa alam bawah sadarnya tidak bisa lepas dari takdirnya menjadi seorang Cina.

Bahkan, ketika ia masih terikat dengan orangtuanya, ia akan terus terlibat dalam berbagai ritual yang harus dilakukan oleh orang Cina, terutama ritual saat orang meninggal. Namun, di sisi lain Anne sudah sangat berjarak dan bahkan tidak tahu tradisi leluhurnya.

Usaha untuk terus menjadi tersebut membuat Anne lelah. Ia sudah capek menjadi Cina. Namun, di sisi lain, ia tak dapat menolak segala hal yang berbau Cina dan diasosiasikan dengan dirinya. Karena itu, hal ini yang kemudian membuat Anne antipati dengan segala perayaan Cina.

Walaupun tak bisa menolak hal yang sudah melekat pada dirinya, Anne tetap bisa berpikir jernih. Ia tidak mau terjebak pada istilah antara disebut Cina atau Tionghoa. Sebab, baginya dengan mengutip pernyataan Arief Budiman, bahwa istilah tak begitu penting.

Cina atau Tionghoa akan sama saja bila digunakan sebagai istilah penghinaan. Karena itu, kedua istilah tersebut seyogyanya harus digunakan dengan cara yang biasa.

Karena itu, dari semua pergulatan yang dialami, Anne mencoba melampaui definisi identitas yang sudah ada. Baginya, ia bukan lagi Cina, bukan lagi Jawa, dan bahkan bukan lagi Indonesia, selain hanya karena KTP.

Identitas baru inilah yang kemudian membawa Anne pada ruang negosiasi antara kecinaan yang melekat pada dirinya dengan kejawaannya yang melekat pada kultur tempatnya tumbuh.

Negosiasi tersebut akhirnya membawa Anne pada sebuah keputusan untuk berjualan, berdagang seperti yang orang tuanya lakukan. Walaupun melakukan hal yang sama, tetapi Anne punya kesadaran baru tentang konsep kecinaannya, walaupun hanya sebagian.

Buku ini menjadi bagian dari refleksi Anne untuk menerawang dirinya sampai batas terjauh tentang pergulatan identitas. Ada banyak hal yang kemudian membuat saya masuk dalam berbagai cerita, walaupun saya tak pernah benar-benar mengalami hal yang Anne ceritakan.

Buku ini menjadi salah satu buku tentang pergulatan peranakan Cina di Indonesia yang mencari identitasnya sendiri dan mengonsep ulang apa yang disebut sebagai Cina dan konsep lain yang mengitarinya.

Buku ini menjadi salah satu kajian etnografi yang menggunakan pengalaman personal sebagai objek yang diteliti. Sebuah penelitian naratif sehingga tak bikin pembaca pusing. Bahkan, pembaca bisa ikut larut dalam cerita yang disampaikan.

Buku ini membuat pembaca yang tidak lahir sebagai seorang Cina atau Tionghoa bisa turut empati dan bahkan belajar agar tidak melakukan diskriminasi atau stigma kepada sesama manusia.

--

--

Suhai(ri) Ahmad
Penulis Muda

Pekerja Teks Komersial | Editor and Layout Freelance| Tukang bikin Indeks buku | Booklover | Traveler |