Kesusastraan Hemingway: Tegangan Benang Pancing di Antara Perempuan dan Kecipuk Ikan

Ageng Indra
Penulis Muda
Published in
6 min readMay 27, 2019

Versi yang lebih ringkas dengan judul berbeda pertama kali dipublikasikan di kolom Berdikari.

Martha Gellhorn dan Ernest Hemingway di Leicester, Havana Harbor, Kuba. [1939]. Sumber dari sini.

Suatu ketika Ernest Hemingway dikoyak kritikus, tepatnya saat baru memasuki kepala lima dan menerbitkan Across the River and into the Tress. Kritikus Edmund Wilson, misalnya, menganggap novel itu sebagai pertanda kemunduran yang bakal sulit diperbaiki. Selain Wilson, ada 150 lebih ulasan di media massa yang juga merespons dingin buku itu; jumlah yang sekilas tampak cukup untuk membuat karir Hemingway mencapai titik beku.

Seburuk itukah novelnya? Supaya adil, perlu disebut juga, Gabriel Garcia Marquez menyebut buku itu sebagai karya Hemingway yang “paling mempesona dan manusiawi”. Biarpun begitu, Mario Vargas Llosa menegaskan poin yang memang kentara: buku itu seperti karya seorang medioker yang coba mengimitasi The Sun Also Rises, novel yang ditulis Hemingway ketika masih muda.

Saat menulis Across the River and into the Tress, Hemingway sedang memasuki puber terakhirnya. Ia berkenalan dengan gadis 18 tahun bernama Adriana Ivancich. Gadis asal Venice ini masuk dalam buku Hemingway itu dalam dua cara: secara eksplisit sebagai ilustrator sampul cetakan pertamanya, secara eksplisit sebagai tokoh utama wanita.

Melibatkan perempuan — serta perasaan terhadap perempuan tersebut — merupakan kebiasaan Hemingway dalam menulis novel, dan sampai tingkat tertentu hampir bisa disebut kebutuhan. Sebagai contoh, sosok Chatherine Barkley dalam Farewell to Arms diambil dari Agnes von Kurowsky, kepala perawat berdarah Jerman-Amerika yang ditaksir Hemingway saat tangan kirinya tertembak di Itali. Sementara Lady Brett Ashley dalam The Sun also Rises, kemungkinan, menyalin pribadi Lady Duff Twisden yang sering jadi teman nongkrongnya di Paris. Scott Fitzgerald sampai pernah berseloroh dengan ironi, “Hemingway butuh perempuan baru untuk setiap novel yang ditulisnya.”

Jika bertolak pada kebiasaan itu, kehadiran Adrina sebetulnya alami dan bukan hal yang perlu dipersoalkan. Maka dari itu, masalahnya, saya kira, adalah: Hemingway tidak sadar bahwa dirinya yang sudah tua tidak seterampil dirinya yang masih muda ketika menulis dengan cara serupa. Biar bagaimanapun, hantaman para kritikus rupanya tidak mendorong keluar Hemingway dari tempat yang bersih dan terang pada peta kesusastraan dunia.

Hemingway cuma butuh dua tahun untuk menerbitkan tolak balanya yang kelewat manjur: Old Man and The Sea. Setelah dimuat majalah Life anno 1951 dan terbit sebagai buku pada 1952, cerita pendek yang panjang itu memenangkan Pulitzer Prize 1953, dan, pada 1954 mengantar Hemingway ke podium Nobel Sastra. Hemingway jadi salah satu pengecualian yang menerima Nobel karena satu karya penting, bukan seluruh karya sepanjang hidup seperti lazimnya penerima Nobel sastra lain.

Old Man and The Sea mengisahkan seorang Santiago, nelayan tua yang sudah 84 hari tidak menangkap ikan seekorpun. Melaut seorang diri di hari ke 85, kail pancingnya ditarik seekor marlin besar. Ia berhasil membunuh ikan itu dan mengikatnya di samping sampan. Namun sebelum kembali ke pantai, ia berhadapan dengan ikan-ikan hiu yang mengincar daging marlin di samping sampannya. Ia sampai di pantai dengan

marlin yang hanya tersisa kepala dan tulangnya.

Kurt Vonnegut pernah berpendapat, ikan-ikan hiu yang mengoyak marlin tangkapan Santiago, bisa jadi dimaksudkan Hemingway sebagai para kritikus yang mengoyak Across the River and into the Trees. Ini menarik. Namun, dalam Memancing: Sepilihan Karya Jurnalistik Ernest Hemingway, kita bisa menemukan bahwa cerita itu, kalaupun memang dimaksudakan demikian, tidak terlahir dari imajinasi Hemingway, tapi dari peristiwa sungguhan yang ia dengar bertahun-tahun sebelumnya.

Pangkal cerita Old Man and The Sea semula hanya ditulis sepanjang satu paragraf dalam artikel bertarikh 1936, “Di Air Biru: Surat dari Gulf Stream” (p.69). Versi yang didengar Hemingway sebetulnya lebih putus asa: nelayan tua Kuba itu ditemukan di tengah laut oleh nelayan lain saat sedang menangis di atas sampannya, separuh gila lantaran marlin yang ditangkapnya setelah dua hari melaut tanpa pulang sudah tidak berdaging lagi.

Sementara pada Old Man and The Sea, Santiago menepikan sendiri sampannya ke pantai, menggulung layar dan memanggul tiangnya tanpa bantuan siapa pun. Ia juga kalah dari para hiu, tapi Santiago mencapai sesuatu. Akumulasi dari deskripsi perjuangannya selama di laut, menjadikannya pribadi yang lebih tangguh.

Old Man and The Sea adalah puncak dari salah satu corak cerita yang sering berulang dalam karya Hemingway: seseorang menghadapi tantangan dan setelahnya, tak peduli menang atau kalah, ia memperoleh sesuatu, seperti menjadi lebih berani atau lebih menghargai dirinya sendiri. Dan tentunya, Hemingway jarang, bila bukan tidak pernah, menjelaskan hal semacam itu secara tersurat dalam karya fiksinya. Ia, seperti kita tahu, menggunakan teknik gunung es, yang mengarahkan pembaca untuk berasumsi demikian tanpa mengatakannya secara langsung.

Sejumlah artikel yang terhimpun dalam Memancing, memperlihatkan bahwa Hemingway melatih kemampuan itu selama bertahun-tahun, bukan hanya dalam karya fiksi, namun juga dalam karya jurnalistik.

“Melaut: Surat dari Kuba”, yang ia tulis pada 1949, dimulai dengan deskripsi cuaca di tengah laut. Hemingway menyebut lokasi, jam, arah cahaya, serta gejala tubuh seperti keringat dan sakit mata, untuk menyiratkan “panas” tanpa menyebut kata itu.

Ketika deskripsi semacam itu dinarasikan oleh Hemingway, salah satu efek yang paling kentara dalam kumpulan artikel ini adalah timbulnya antusiasme. Tengoklah “Tempat Terbaik untuk Memancing Trout Pelangi”. Hemingway menulis, “kita harus membayangkan gambar-gambar yang memudar berurutan dan cepat berikut ini ini:” (p.3), lalu memberi masing-masing porsi satu paragraf untuk deskripsi gambar hutan dan kolam, serta dua pria kelelahan yang memasuki gambar. Kedua pria itu beristirahat dengan tenang. Hingga tiba-tiba, seekor trout sebesar lengan melompat dari kolam untuk menangkap belalang. Pada halaman berikutnya, penyebutan dua pria itu berubah menjadi “kami” yang, tidak lagi merasa lelah, segera menyiapkan pancing.

Antusiasme serupa bisa ditemukan pada artikel yang lebih lawas, 1922, “Memancing Tuna di Spanyol”. Hemingway menggambarkan memancing sebagai aktivitas yang melelahkan, lantas menggunakan imaji segerombolan ikan untuk mengubah keadaan, dan mengakhiri dengan rasa lelah yang kemudian hilang setelah menangkapnya.

Dalam narasi Hemingway, memancing menimbulkan antusiasme karena ia digambarkan dengan begitu maskulin. “Kalau kita berhasil menangkap seekor tuna setelah bertarung selama enam jam, bertarung melawannya sebagai seorang laki-laki melawan ikan dengan otot-otot lelah dan tegang tanpa henti, dan akhirnya menyeretnya ke samping perahu,” tulisnya, “kita akan disucikan dan tampil tanpa malu-malu di hadapan para dewa lama dan mereka akan menyambut kita.” (Hlm.9) Dan inti dari aktivitas maskulin itu adalah perebutan kuasa dalam pertarungan melawan ikan. Sebab, “ada kepuasan saat menaklukkan makhluk yang menguasai laut tempatnya hidup ini. (Hlm.75)

Karya-karya jurnalistik Hemingway memperlihatkan bahwa ia tahu lebih banyak ketimbang apa yang ia tulis. Bila kembali pada Old Man and The Sea (sebab karya itu yang paling bertautan dengan artikel dalam Memancing), kita menyaksikan Santiago yang malang, setelah mati-matian mengalahkan marlin, kehilangan tangkapannya lantaran diserang hiu.

Dalam “Sungai Biru Besar”, Hemingway menjelaskan bahwa sejak 1931 ia tahu cara mencegah ikan dimangsa hiu. Rahasainya adalah tidak beristirahat. Karena setiap kali pemancing beristirahat, ikan juga akan beristirahat dan menjadi kuat lagi. Dengan begitu, ikan marlin tak perlu langsung dibunuh, tapi cukup dipermainkan hingga ia kelelahan dan putus asa, lantas menariknya ke atas kapal. Bila ia mati dan menjadi bangkai, hiu akan mendekat.

Santiago, bisa dibilang, melakukan secara berlawanan hampir setiap petunjuk yang dijabarkan Hemingway dalam artikel itu. Dan karena itulah ceritanya begitu meyakinkan.

Puncak pencapaian kesusastraan Hemingway adalah akumulasi dari kegemaran dan wawasan terhadap hobinya yang paling purba: ia sudah memancing sejak berusia 5 tahun. Dan bagaimana sebagiannya terekam dalam Memancing, menegaskan bahwa sesusastraan Hemingway berada dalam tegangan yang tak melulu soal perempuan, bahwa ada beragam cinta yang bisa menggerakkan jarinya menulis, seperti cinta kepada kecipuk ikan di ujung benang pancingnya.

Referensi
“Gabriel Garcia Marquez Meets Ernest Hemingway.”
Kurt Vonnegut. 2016. Gempa Waktu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Vargas Mario Llosa. 2011. Touchstones. New York: Farrar, Straus and Giroux

IDENTITAS BUKU
Judul: Memancing: Sepilihan Karya Jurnalistik Ernest Hemingway
Penulis: Ernest Hemingway
Penerjemah: An Ismanto
Penerbit: Circa
Tahun terbit: 2019
Cetakan: Kesatu
Tebal buku: vi+78 hlm

--

--

Ageng Indra
Penulis Muda

Editor dan penerjemah lepas, juga penulis ninja. Mukim di Bantul, Yogyakarta.