Love for Sale: Cinta Betulan atau Cuma Prostitusi?

Ageng Indra
Penulis Muda
Published in
7 min readOct 6, 2019

Ulasan film ini pertama kali dimuat di karepe.co pada 2018

Seni kontemporer, langsung maupun tidak, mengambil peran besar dalam menggeser cara orang mencintai dari zaman ke zaman. Kita bisa mengurutkan lukisan, drama, novel, hingga musik dan film berdasarkan peradaban yang melahirkannya, untuk melihat bagaimana karya-karya itu merecoki gaya percintaan yang diterima masyarakat. Pada zaman Victoria, sepasang kekasih menikah karena perjodohan, dan cinta muncul setelahnya. Sementara di abad ini, orang mengejar cinta romantis, ingin menikah dengan orang yang sudah dicintai sejak awal.

Mengingat bahwa kecenderungan kelas menengah adalah penentu kecenderungan zaman, bioskop — dan belakangan internet — tak bisa lepas tanggung jawab ketika muda-mudi, misalnya, mengharapkan hubungan semanis Cinta-Rangga, atau Dilan-Milea. Satu dua judul film, jelas tak cukup untuk menanggung beban zaman, tapi lain lagi jika bicara sejarah puluhan tahun film romantis. Terutama, film-film romantis Hollywood (dan yang berkiblat padanya). Biarpun film semacam itu amat banyak jumlahnya, visinya tak begitu beragam. Sebab, hampir pasti, bisa disangkut-pautkan dengan, katakanlah, substansi Pretty Woman. Intinya cuma, orang baru dan akan bahagia kalau sudah bertemu belahan jiwa. Gitu-gitulah.

Love For Sale, saya kira tidak jauh berbeda dengan film romantis pada umumnya, biarpun karakter utamanya bapak-bapak — dalam artian sebenarnya. Tapi, sulit bagi saya untuk tidak tertarik padanya ketika sadar: film arahan Andibachtiar Yusuf ini memperhalus cinta yang tabu menjadi cinta yang bisa diterima.

Richard Achmad seorang bujang lapuk berusia 42 tahun. Ia mengelola usaha warisan keluarga, sebuah percetakan di bilangan Jakarta Pusat. Ruang geraknya tak banyak. Tempat tinggalnya berada persis di lantai atas tempat kerja. Di rumah, ia bergoler menonton siaran bola sambil memeluk kura-kura peliharaan, hanya mengenakan singlet dan sempak putih berlubang. Di kantor, ia bos pemarah di mata pegawai, dan orang pelit di mata pelanggan. Dengan nyaris sempurna, Gading Martin memerankan pria yang gaya hidup dan sikap kekinya itu, oleh film ini, terjelaskan hanya dengan frasa bad sex life.

Pada kesempatan yang tidak sering, Richard bertemu kawan-kawannya. Pada satu kesempatan, usai nobar bola di Jakarta Selatan, mereka bikin taruhan yang menggoncang status quo kehidupan Richard. Ia ditantang bawa pacar ke kondangan salah seorang temannya.

Berlandaskan gengsi, Richard mulai cari gandengan. Korban pertama adalah Keke. Ia perempuan yang merasa telah melewati usia ideal menikah. Perempuan itu benar-benar serius ketika kopi darat dengan Richard. Saking seriusnya, ia ingin Richard bertemu ibunya, langsung saat itu juga, di pertemuan pertama mereka. Richard ketakutan dan diam-diam kabur.

Merasa mentok, Richard mengajak Danty, salah satu pegawainya. Belum jelas Danty mau atau tidak, Richard memecat perempuan itu. Pasalnya, Richard malu, ajakannya diketahui pegwai-pegawai lain. Dua perempuan itu pun tak muncul lagi sampai film berakhir.

Kalau sudah terbiasa dengan pola, kamu tentu bisa menebak, perempuan berikutnya yang Richard incar juga akan menghilang begitu tak punya kepentingan lagi dengannya. Nyatanya, Richard dan perempuan itu memang terikat perjanjian yang membatasi berapa lama mereka bersama. Sebab, Arini adalah perempuan yang dikontrak Richard dari Love For Sale.

Menegaskan Narasi Cinta Kelas Menengah

Karena diperankan Della Dartyan, Arini adalah perempuan cantik. Setidaknya, sulit berkata sebaliknya ketika standar kecantikan ditentukan habis-habisan oleh budaya populer seperti saat ini. Tapi, Arini bukan penganut romantisme yang hanya mau mencintai belahan jiwanya. Ia memperlakukan Richard, yang hanya pelanggan, layaknya kekasih betulan. Layaknya ia betulan cinta.

Arini butuh uang. Ayahnya sakit dan biaya pengobatan mahal. Richard sudah bayar di muka, dan karena hanya butuh Arini untuk ke kondangan, ia menyuruh perempuan itu pulang begitu pesta selesai. Arini, karena alasan yang menyangkut track record dan profesionalitas, meminta tetap bersama Richard sampai masa kontrak habis.

Seperti kebanyakan film, relasi terbangun pelan-pelan. Di sini, Arinilah yang aktif menunjukkan ketertarikan dan perhatian pada detil-detil karakter Richard. Secara transaksional, bisa dibilang Richard adalah majikan dan Arini pegawai. Wajar bila Arini lebih aktif, sebab mencintai adalah pekerjaannya. Tapi, Richard yang sehari-hari menuntut pegawainya di kantor, di hadapan Arini tak pernah mengeluhkan suatu apa. Ia menerima setiap inisiatif pasanganya dengan malu-malu mau.

Kita bisa beranggapan, “kerja” Arini lebih memuaskan ketimbang pegawai-pegawai Richard di kantor sehingga Richard tak perlu komplain. Dan, barangkali, Arini sebegitu “memuaskannya” sampai Richard tak lagi marah-marah pada pegawainya yang terlambat.

Saya menggarisbawahi satu adegan ketika Richard menghampiri pegawai-pegawainya yang sedang makan siang. Para pegawai yang sudah siap dimarahi — karena saking seringnya kena marah — keheranan melihat bosnya dengan kikuk coba mengakrabkan diri. Begitu Richard pergi, Pak Syamsul, pegawai paling senior nyeletuk, “Udah ngeseks kali ya?”

Richard belum ngeseks, setidaknya belum siang itu. Tapi, malamnya, ketika nonton tivi di atas sofa, Arini berinisiatif memberi Richard ciuman yang berujung di ranjang. Mesti ada tribut buat Copy of My Mind di sini. Punggung polos Della Dartyan, barangkali, bisa kita lihat karena Tara Basro telah lebih dulu menantang sensor lewat adegan serupa — meski masih pakai BH.

Narasi yang kita lihat pada perkembangan karakter Richard, pada akhirnya, setali dengan anjuran kolom tips seks di majalah-majalah: hubungan seks membuat hidup Anda lebih baik.

Meletakkan adegan “Udah ngeseks kali ya?” sebelum seks terjadi, menunjukkan bahwa membaiknya hidup tidak selalu karena seks. Tetapi, karena akhirnya Richard tetap ngeseks, dan pribadinya kemudian tetap semakin baik, argumen bahwa seks membuat hidup kian baik tetap sahih.

Bila kita tarik ke awal, terlihat jelas alasan kenapa Richard bisa bercinta: ia punya uang. Ia dan Arini hidup serumah tanpa seorang pun tetangga merecoki mereka dengan tuduhan kumpul kebo, seperti biasa terjadi di kampung. Kasih sayang hingga kenikmatan di atas ranjang bisa Richard peroleh karena ia pria mapan. Ia bisa mentransfer puluhan juta tanpa kehilangan kenyamanan hidupnya sehari-hari. Gambarannya, kalau mau dicintai, orang mesti suskses secara finansial.

Tetapi, tidak berhenti di situ. Kebutuhan Richard akan perempuan tidak muncul sendiri dari dalam dirinya, melainkan disuntikkan oleh orang-orang di sekitarnya — lewat taruhan. Jika melirik realitas di masyarakat, kita menemui banyak orang terdorong mencari pasangan karena pertanyaan, “Kapan nikah?”.

Perkembangan sikap Richard, yang kian diterima oleh pegawai-pegawainya sejak dekat dengan Arini, menyiratkan hal yang sama seperti kerabat yang bertanya “Kapan kawin?”: orang akan lebih diterima di masyarakat bila berpasangan.

Maka, narasinya bukan hanya cinta akan membuatmu bahagia, tapi juga orang-orang di sekitarmu menginginkanmu berada dalam “cinta”. Relevan dengan pandangan umum sekarang, bukan?

Memperhalus Prostitusi

Titik lemah film ini, bagi saya, mulai terasa ketika kontrak Love for Sale berakhir. Richard yang sudah percaya sepenuhnya dan ingin melamar Arini, mendapati cintanya pergi tanpa jejak. Latar belakang Arini yang Richard tau, satu persatu terbukti rekayasa. Mirip The Truman Show, tapi dalam skala yang jauh lebih kecil.

Kebohongan-kebohongan Arini, yang dibangun dengan menyewa aktor dan segala macamnya, sebenarnya tidak buruk. Meyakinkan malah. Yang tidak meyakinkan ialah respon Richard. Tidak seperti Truman yang merespon kebingungannya dengan perlawanan dan frustasi, Richard menerima keganjilan apa adanya tanpa perlawanan terhadap realitas.

Pertemuannya dengan “Ayah Arini”, bagi saya, adalah adegan paling menggelikan — dalam artian negatif. Ketika jelas-jelas ayah Arini ternyata hanya aktor, dialognya dengan Richard masih berkutat di situ-situ saja, terkesan tidak natural, ter;alu dipaksakan. Bantahan orang itu, yang meruntuhkan realitas Richard, tidak membuat Richard melawan untuk mempertahankan realitasnya, atau diam karena mengerti realitasnya bermasalah. Richard hanya bingung. Kebingungan ganjil karena bukan berlandaskan pengembangan karakter, tapi bingung, semata, karena tuntutan cerita.

Ketika, lewat serangkaian cerita, akhirnya Richard paham cinta Arini hanya tuntutan pekerjaan, responnya adalah tertawa. Lalu, bahagia.

Dari kebingungan, langsung pada kepuasan dan penerimaan akan kenyataan. Fase penolakan, di mana kekecewaan mengambil peran, dilompati, atau lebih tepatnya, ditiadakan.

Cinta yang dihadirkan dalam Love For Sale, dengan begitu, hanya satu sisi mata uang. Yakni, cinta yang menimbulkan kebahagiaan. Padahal, cinta punya konsekuensi lain yang disebut penderitaan. Sisi destruktif cinta tidak muncul sama sekali. Padahal, sepanjang film, Richard kehilangan disiplin dan ketegasan: sering telat ngantor hingga menganggap remeh pesanan gara-gara menghabiskan banyak waktu dengan Arini. Sebab-sebab yang tersebar itu, tidak memperoleh akibat yang layak.

Arini, di sisi lain, juga tak pernah tampak sedih. Seolah tak ada tekanan psikologis yang memberatkan upayanya mencintai orang asing. Padahal, mencintai orang yang memang kita inginkan saja, masih ada susahnya. Arini terlalu tampak seperti orang terberkahi.

Absennya sisi destruktif cinta, membuat relasi Richard dan Arini makin persis narasi umum prostitusi. Bila dijabarkan, poin-poinnya: 1) bercinta karena transaksi; 2) tanpa ikatan serius, dan tidak berlanjut jadi serius; 3) pembayar tidak merasa kecewa ketika relasi usai, hanya puas. Maka, bukankah Richard dan Arini sebenarnya menjalin hubungan prostitusi, hanya saja jangka panjang?

Dalam hubungan prostitusi, apakah “cinta” yang diberikan benar-benar nyata, bukan lagi soal. Asal kepuasan tercapai, maka sudah cukup baik. Begitulah Richard. Cinta yang tak jelas lagi benar-benar ada atau sekadar meyakinkan, diterimanya semata sebagai hal baik.

Namun, bukan hanya Richard yang terbuai oleh kasih sayang Arini, tapi juga saya sebagai penonton. Tatapan mata Arini, beserta setiap inisiatif yang diambilnya, begitu meyakinkan seolah benar-benar ada cinta.

Namun, bukankah itu yang kita, para penonton, cari dari film romantis? Kita berharap film yang kita tonton cukup meyakinkan hingga membuat kita berpikir orang-orang di dalamnya benar-benar jatuh cinta? Berharap bahwa emosi yang fiktif antara karakter-karakter yang fiktif itu, berhasil menyentuh hati kita sehingga membuat kita merasakan emosi yang — tak mungkin tidak menyebutnya — nyata? Bukankah usai menonton film seperti itu, yang kita rasakan adalah kepuasan?

Love For Sale berpotensi menjadi film seperti itu di paruh pertama. Sayangnya, mengabaikan sisi destruktif cinta, membuat cinta fiktif di dalamnya kurang meyakinkan. Membuat saya gagal merasakan orgasme emosi begitu film selesai, dan malah sadar kalau itu cuma prostitusi. Karena, dalam Love for Sale, yang terjadi bukan cinta yang nyata tumbuh dari relasi prostitusi. Tetapi, relasi prostitusi diterima sebagai realasi percintaan yang nyata.

IDENTITAS FILM
Sutradara : Andibachtiar Yusuf
Skenario : Mohammad Irfan Ramly, Andibachtiar Yusuf
Genre : Drama, Komedi, Romantis
Durasi : 104 menit
Pemain : Gading Marten, Della Dartyan
Waktu Rilis : 14 Maret 2018

--

--

Ageng Indra
Penulis Muda

Editor dan penerjemah lepas, juga penulis ninja. Mukim di Bantul, Yogyakarta.