Marlina si Korban Perkosaan yang Mandi di Babak Ketiga

Ageng Indra
Penulis Muda
Published in
7 min readOct 7, 2019

Ulasan ini pertama kali dimuat di Karepe.co pada 2018

Kesempatan kedua saya menonton Marlina dimulai sepersekian detik sebelum Markus kehilangan kepalanya. Tepatnya, ketika pinggul Marlina sudah naik-turun di atas Markus yang barangkali tengah berpikir, “Benar ‘kan, perempuan juga merasakan enak.”

Mengangkat isu dan gaya bertutur di luar zona aman pasar film mainstream, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) mengikuti pola distribusi film-film selingkarannya: tayang dulu di festival luar negeri, menang penghargaan, lalu tayang di jaringan bioskop Indonesia.

Model distribusi semacam ini agak problematis sebenarnya. Terlepas dari kebijakan bioskop yang tidak murah, strategi distribusi begini menyiratkan inferioritas kita sebagai bangsa negara dunia ketiga karena masih melandaskan patokan bagus pada pengakuan orang luar negeri.

Biarpun tak bisa dimungkiri, cara pendistribusian ini — terlepas dari untung tidaknya — cenderung lebih sehat karena usia film jadi lebih panjang. Film tidak cepat tayang di tivi atau muncul di internet selepas turun bioskop, tetapi bergerilya dulu lewat pemutaran-pemutaran kecil, terutama di kampus. Saya bisa menonton lagi, juga, karena ada nobar di UGM.

Mengambil latar di Sumba, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak bagi saya bukan sekadar membicarakan posisi subordinasi perempuan, tetapi juga memperlihatkan kebergantungan manusia pada peradaban.

Kuasa Patriarki

Marlina (Marsha Timothy) berturut-turut kehilangan dua laki-laki kesayangannya. Pertama anaknya (yang bahkan belum sempat lahir), kemudian suaminya (diperankan dengan anteng oleh Tumpal Tampubolon). Pemakaman anaknya sudah membuat ia berhutang sehingga jenazah suaminya hanya dimumi di dalam rumah.

Dua laki-laki itu — suaminya, terutama — sudah tidak hadir sejak film dimulai. Marlina ditempatkan oleh sutradara Mouly Surya sebagai perempuan yang lepas dari peran laki-laki sebagai pelindung. Lantas, apakah ia bisa melindungi dirinya sendiri?

Pertanyaan itu menghadapkan Marlina pada Markus (Egi Fadly) lelaki tua yang menyatroni rumahnya untuk menagih hutang. Melalui adegan yang begitu tenang, kita menyaksikan pelecehan dalam beragam bentuk, yang berujung pada pemerkosaan.

Pertama, pelanggaran ruang privasi. Markus memasuki rumah Marlina. Hal itu mungkin terjadi dengan tenang dan halus tanpa ada kekerasan fisik. Tapi, tampak jelas ada ketimpangan kuasa yang menekan psikologi Marlina sehingga ia tidak berani menghalangi Markus melewati pintu rumahnya.

Hanya dengan duduk di lantai dan memainkan junggo, Markus merenggut otoritas Marlina terhadap rumahnya sendiri. Marlina menjadi tidak nyaman dan terancam, tapi ia juga tidak bisa pergi meninggalkan rumahnya ditempati orang asing.

Kedua, pelecehan verbal melalui pertanyaan yang bersifat privat, seperti misalnya “Su berapa laki-laki yang kau tiduri?” Baris itu diucapkan dengan datar saja, bukan dengan membentak. Tetapi, karena relasi kuasanya tidak setara, pentanyaan itu menyerang martabat Marlina.

Dalam Babak Pertama, interaksi Marlina dan para lelaki yang menyatroni rumahnya menunjukkan bagaimana kekerasan juga bisa terjadi dengan begitu tenang dan halus; bagaiana kekerasan yang halus seperti itu sudah cukup berdampak untuk membenarkan pembunuhan yang Marlina lakukan. Meskipun ternyata, ia belum membunuh semua orang. Ada dua orang lain yang selamat karena mereka pergi mengangkut 10 kerbau, 10 babi, 10 kambing dan 7 ayam milik Marlina. Salah satunya adalah Franz (Yoga Pratama).

Franz menggambarkan bagaimana struktur bekerja dalam relasi kuasa. Sebelumnya, ketika Marlina memasak, Franz masuk ke dapur dan memberi Marlina tekanan — kecil saja, tapi intens — agar membiarkannya mencicipi sup. Tetapi, salah seorang yang lebih tua dari Franz keburu masuk dan memarahinya, “Anak kecil mau makan duluan!” Franz, yang di hadapan Marlina leluasa menunjukkan gelagat berkuasa, menjadi kikuk dan kehilangan keberaniannya di hadapan lelaki lain yang lebih tua darinya. Sepanjang film, Franz secara konsisten menjadi sosok yang selalu ingin menunjukkan kekuatannya kepada yang lebih lemah, tapi juga selalu takut pada yang lebih kuat.

Mandi di Babak Ketiga

Pagi setelah memenggal leher Markus, Marlina menenteng kepala pemerkosanya untuk dibawa ke kantor polisi. Ketika menunggu tumpangan — yang lewatnya bisa dua-tiga jam sekali — Marlina bertemu perempuan hamil bernama Novi. Sepanjang perjalanan, Novi amat blak-blakan menceritakan kehidupan seksualnya dengan suaminya — tentu tanpa pernah diminta.

Yunus Pasolang, selaku sinematografer, menangkap bagian ini dengan menghadirkan lanskap bebukitan Sumba yang mengelilingi sepanjang jalan aspal, lengkap dengan satu-satunya truk yang melintasinya. Sementara, Novi terus menyerocos tentang gairah wanita hamil tanpa sosoknya terlihat secara langsung di dalam frame — persis kebiasaan Abbas Kiarostami dalam membingkai film-filmnya, seperti di Taste of Cherry (1999) dan The Wind Will Carry Us (1999).

Bagi saya, shot ini penting dalam Marlina karena bagian ini menegaskan bahwa — sebelum dan sesudahnya — Novi hanya curhat soal kehidupan seksualnya ketika jalan aspal akan tertangkap di dalam frame: baik saat ia dan Marlina menunggu truk maupun saat buang air di bebatuan.

Jika jalan aspal kita anggap sebagai simbol peradaban modern, secara ektrem bisa ditafsir bahwa kebebasan perempuan menyampaikan ekspresi seksual selalu terkait dengan peradaban modern.

Tafsir ini didukung oleh babak ketiga. Saat Marlina mengadu pada polisi, petugas yang menerima laporannya memberi tanggapan dengan tendensi menyalahkan, “Kalau dia tua dan kurus, kenapa kau biarkan dia perkosa kau?”

Marlina pun akhirnya memberi pernyataan yang tidak sesuai kejadian. Kebohongannya mesti dilihat sebagai respon karena merasa dipojokkan. Otoritas yang ia andalkan malah melakukan victim blaming. Yakni, kebiasaan yang bercokol di kepala orang misoginis, di mana korban dianggap ikut bersalah saat diperkosa karena membiarkan hal itu terjadi atau bahkan memberikan respon biologis. Karena hal ini, Marlina kehilangan kepercayaan diri untuk mengklarifikasi.

Polisi, pada akhirnya, tak bisa diandalkan karena laporan pemerkosaan memerlukan visum, dan alat untuk itu tidak ada. Atau setidaknya, butuh waktu sampai sebulan. Padahal agar bisa divisum, korban pemerkosaan tidak boleh mandi. Kalau pun tidak mandi sampai satu bulan, belum tentu bekas pemerkosaannya masih akan terlihat, apalagi kejadian itu tidak terjadi secara brutal.

Mouly Surya begitu lihai membangun situasi yang memojokkan Marlina, sekaligus memperlihatkan betapa tidak memadainya cara dan perspektif dalam menangani korban pelecehan seksual selama ini.

Sepulang dari kantor polisi, kita melihat Marlina mandi di pinggir laut. Kita tidak melihat Marlina mandi sebelum berangkat sehingga, bisa jadi, ia belum mandi sejak semalam. Yang berarti, ia bisa langsung visum seandainya fasilitanya ada.

Biarpun begitu, Marlina gagal menjadi perempuan yang bisa kita anggap punya pengetahuan seksual memadai. Sebab, Marlina mengatakan “Visum?” dengan kebingungan saat di kantor polisi, seolah ia tidak mempersiapkannya.

Terlepas dari itu, narasi besar Marlina sampai babak ketiga menggambarkan bahwa hak-hak perempuan, dari keamanan hingga kebebasannya, bisa diperoleh ketika peradaban modern memfasilitasinya. Sebab, jika ditarik lebih luas lagi, manusia memiliki hak karena perabadan mengakui itu.

Ironisnya, negara — yang sayangnya kian mencitrakan diri sebagai satu-satunya tanda keberadaan peradaban modern — masih kurang memperhatikan hak-hak perempuan, apalagi di daerah seperti “Sumba”-nya Marlina.

Pembalasan Dendam dan Penayangan di Luar Negeri

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak mendapat respon positif di festival luar negeri sebagai pelopor genre satai western. Marlina mengikuti pakem-pakem film koboi, tetapi kaya muatan budaya setempat.

Untuk memahami bagaimana Marlina mengambil unsur western guna menarget pasar luar negeri, kita perlu menengok fenomena yang terjadi pada awal perkembangan film di Hindia Belanda, sekira 1916–1940-an.

Pada masa itu, Hollywood adalah pemasok terbanyak film-film di Hindia Belanda. Narasi film Hollywood umumnya mengandung kekerasan, pemerkosaan, dan pembalasan dendam tanpa jalur hukum. Karena film-film itu diperankan oleh orang-orang asing, para elit di Hindia Belanda merasa cemas citra orang Eropa akan memburuk di mata para pribumi yang menontonnya.

Pemerintah tidak bisa menekan jumlah impor film Hollywood karena para pemasok dekat dengan konsul Amerika Serikat yang punya pengaruh pada perekonomian di Hindia Belanda.

Usaha pertama pemerintah adalah melakukan penyensoran — terbukti tidak efektif karena pekerja sensor waktu itu tidak bekerja secara profesional.

Maka, usaha berikutnya adalah mendorong produksi film dalam negeri, dengan tema seperti film Hollywood, tetapi diperankan oleh pribumi. Tujuannya supaya para pribumi merasa mereka sama saja dengan orang-orang amoral di film Hollywood. Untuk itu, dipilihlah aktor dan aktris dari golongan priyayi — karena mereka dianggap sebagai panutan penduduk pribumi waktu itu.

Undang-undang perfilman yang matang pada 1940 memberikan prioritas yang tidak main-main pada produksi film dalam negeri. Para produser bahkan disokong untuk memasarkan film mereka ke luar negeri. Tentu saja, untuk memperlihatkan pada dunia luar bagaimana sikap dan tingkah laku penduduk pribumi yang negatif.

Artinya, perkembangan awal industri perfilman kita dibangun oleh usaha tidak sadar kita untuk memperburuk citra kita sendiri.

Tujuh puluh tujuh tahun setelahnya, kita menonton Marlina yang juga menampilkan kekerasan, pemerkosaan, dan balas dendam di luar jalur hukum. Serta, dipasarkan ke luar negeri.

Tapi, kita mendapati hal yang bebeda. Marlina memiliki kesadaran hukum dan berusaha menyelesaikan permasalahan secara hukum. Hanya saja, negara gagal menangani permasalahan Marlina sehingga jalur di luar hukum menjadi pilihan yang terpaksa diambil.

Latar Sumba, lanskap alam, dan atribut kebudayaan lain, tidak menjebak sosok Marlina dalam eksotisme yang membuat penonton berjarak, apalagi menganggapnya sebagai orang primitif dengan kebudayaan lebih rendah.

Kesadaran hukum yang dimiliki Marlina adalah simpul yang membuat kita, penonton yang hidup di tengah peradaban modern, merasa Marlina tidak berbeda dengan kita. Ia manusia yang sama dengan kita.

Menampilkan adegan di kantor polisi ke luar negeri, film ini tidak mempermalukan kepribadian bangsanya. Bukannya seperti film pada masa kolonialisme Belanda, Marlina lebih seperti para anarkis di akhir abad 19 yang menekan negaranya dengan membentuk persepsi orang-orang di negara lain. Sebab, bukan masyarakat, tapi ketidakhadiran negaralah yang dikritik Marlina di hadapan penonton internasional.

Tentu, ada hal yang tidak hadir di Marlina, yakni bagaimana sistem masyarakat adat mengatasi permasalahan yang dialami Marlina. Saya tidak punya pengetahuan yang memadai soal masyarakat Sumba. Karenanya, penting sebenarnya untuk memperlihatkan apakah masayarakat punya cara sendiri yang sudah tepat untuk menyelesaikan masalah ini atau masyarakat itu juga perlu dikritik.

Karena dengan cara begitu, film ini akan bisa menawarkan landasan awal soal peradaban seperti apa yang mesti dibangun, bukannya menjebak kita pada ideologi pembangunan bahwa kehadiran negara adalah satu-satunya solusi — yang biasanya justru menyingkirkan masyarakat adat.

IDENTITAS FILM
Sutradara : Mouly Surya
Skenario: Rama Adi & Garin Nugroho
Pemain: Marsha Timothy, Egi Fedly, Dea Panendra, Yoga Pratama,
Genre : Satai Western
Durasi : 99 menit
Waktu Rilis : 16 November 2017

--

--

Ageng Indra
Penulis Muda

Editor dan penerjemah lepas, juga penulis ninja. Mukim di Bantul, Yogyakarta.